Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh Dr. I Nyoman Sugawa Korry S.E., M.M., Ak.CA.

Pada awal abad ke-16 dan 17, berkembang pemikiran di Eropa khususnya di Inggris, yang pada akhirnya banyak memengaruhi motivasi sebagian warga masyarakat Eropa untuk mewujudkan tantangan menjadi harapan dan peluang. Pemikiran tersebut diprakarsai oleh kaum merkantilis, yang berpandangan bahwa kalau ingin menjadi negara yang kuat dan maju, maka kuasailah emas sebanyak-banyaknya.

Kemudian diikuti pula oleh pandangan Thomas Robert Maltus yang menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan jumlah penduduk akan mengikuti deret ukur dan tingkat pertumbuhan jumlah ketersediaan makanan akan mengikuti deret hitung. Artinya, ketidakmampuan bumi menyediakan makanan kepada penduduknya sudah tentu menjadi tantangan yang serius, begitu juga kalau ingin mempunyai jumlah emas yang banyak, pastilah tidak akan bisa terpenuhi, karena di Inggris maupun di Eropa tidak banyak tersedia cadangan emas.

Sebagai sebuah harapan dan tantangan, hal tersebut dijawab oleh mereka yang tergabung dalam barisan  kaum optimis, melalui upaya memperkuat angkatan laut, untuk melindungi perdagangan laut dan internasional, revolusi di sektor pertanian dan revolusi di sektor industri, termasuk dengan emigrasi besar-besaran ke berbagai belahan dunia, seperti Benua Amerika dan Australia. Dengan jawaban seperti itu, mereka bisa menjadikan ancaman, tantangan, dan harapan menjadi peluang.

Ilustrasi ini sengaja saya sampaikan untuk memberikan gambaran bahwa tidak ada sesuatu yang abadi di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan adalah sebuah keniscayaan, dan harus dihadapi, bukan untuk dihindari, apalagi untuk dimusuhi. Mereka yang adaptif, membangun semangat optimis, akan mampu mengatasi perubahan. Bukan tergilas oleh perubahan itu sendiri.

Begitu juga halnya dengan pembangunan di Bali, sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebagai bagian dari dunia internasional, Bali tidak bisa lepas dari pengaruh perubahan yang sedang maupun yang akan terjadi. Setiap perubahan pastilah melekat di dalamnya ancaman dan tantangan, sekaligus harapan dan peluang.

Baca juga:  Tantangan Etika Lingkungan

Untuk menjadikan ancaman, tantangan, dan harapan menjadi peluang, dibutuhkan pemikiran-pemikiran dan karya nyata kaum optimistis, yaitu kaum yang bersedia berada di zona ketidaknyamanan, melalui kerja nyata, penelitian berbagai bidang yang mampu melahirkan inovasi, kreativitas, proaktif, dan berani mengambil risiko, serta bertindak cermat untuk berusaha sebagai penyelesai masalah. Bukan kaum pesimistis, yang selalu ingin berada di zona nyaman, selalu memasalahkan masalah, serta menyuarakan berbagai ketakutan.

Revolusi industri 4.0 adalah konsekuesnsi logis dari perubahan sebagai sebuah keniscayaan. Diawali dari Revolusi Industri 1.0, dimulai pada paruh kedua abad ke-18, ketika penggunaan tenaga uap digunakan untuk mekanisasi produksi. Pergeseran dari masyarakat agraris menuju industri dimulai. Revolusi Industri 2.0, dimulai dengan fase industrialisasi abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang ditandai dengan masifnya produk-produk manufaktur dan pabrikasi di Negara-negara maju.

Revolusi industri 3.0, dimulai sekitar tahun 1960 di mana perangkat-perangkat elektronik dan teknologi informasi mendorong otomatisasi produksi. Selanjutnya, Revolusi Industri 4.0 lahir ketika dicetuskan dalam World Economic Forum (WEF) tahun 2015 oleh Kanselir Jerman Angela Merkel. Di samping itu pula, Klaus Schwab sebagai founder dari WEF terus mempublikasikan jargon revolusi industri 4.0 yang kemudian diikuti oleh para pemikir lainnya.

Melalui revolusi industri 4.0, dengan dukungan kemajuan pesat di bidang teknologi, akan membawa kita pada transisi revolusi teknologi yang secara fundamental akan mengubah cara hidup, cara kerja, dan relasi organisasi dalam berhubungan satu dengan yang lain. Revolusi industri 4.0 dicirikan oleh fusi berbagai teknologi yang mengaburkan batas dunia fisik, digital, dan biologi, dibangun berdasarkan asumsi dan perkembangan terakhir ekspansi horizontal teknologi digital yang meliputi cyber physical system (CPS), Internet of Thinks (IoT) big data, intelegensia buatan, robotik, serta aspek praktis yang mengikutinya, termasuk pabrik cerdas, 3D printing, otomatisasi, organisasi, kerja sama, mobilitas, distribusi, pasar, dan keterbukaan informasi berbasis digital.

Baca juga:  Hidup Berdamai dengan Krisis

Di balik gegap-gempita dan ingar-bingar dan antusiasme kalangan pemikir aliran optimisme menyambut revolusi industri 4.0, dan sebagaimana layaknya sebuah revolusi, diperkirakan revolusi industri 4.0 menyimpan jebakan yang sangat penting untuk diantisipasi. Hasil riset McKinsey & Company memperkirakan 47% pekerjaan akan menghilang dalam seperempat abad mendatang. Robot dan kecerdasan buatan bahkan menyingkirkan pekerjaan 800 juta tenaga kerja di seluruh dunia pada tahun 2030.

Berbagai profesi juga akan menghilang, digantikan oleh kegiatan mesin. Teknologi canggih ini juga akan menyebabkan marginalisasi sejumlah kelompok, memperbesar kesenjangan ekonomi, memunculkan risiko keamanan, dan merusak hubungan antarmanusia. Tanpa persiapan dan antisipasi yang terarah, terencana dan berkelanjutan, efek negatif tersebut akan merusak optimisme Bali di dalam melanjutkan pembangunan serta upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali.

Pembanguan Bali saat ini dan pada masa yang akan datang, masih tidak lepas kaitannya dengan pembangunan tiga strategi sektoral yaitu, pembanguan pertanian dalam arti luas, pembangunan pariwisata dan pembangunan industri kecil, yang dilaksanakan konsisten berbasis budaya dan lingkungan. Saat ini sedang dimatangkan pengkajian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Visi dan misi Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih menjadi bagian dari dokumen peraturan daerah yang segera akan dibahas dan disahkan bersama-sama denga DPRD Provinsi Bali. Memasukkan aspek antisipatif dampak revolusi industri 4.0 di dalam implementasi kebijakan pembangunan pertanian dalam arti luas, pembangunan sektor pariwisata dan pembangunan dan pengembangan industri kecil menjadi suatu keharusan, serta mencarikan solusi atas kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh revolusi industri 4.0 seperti berkurangnya kesempatan kerja, kemungkinan melebarnya kesenjangan ekonomi antarwilayah dan antarkelompok, risiko-risiko keamanan, rusaknya hubungan antarmanusia, serta kemungkinan rusaknya optimisme atas ‘’bonus demografi’’ yang kita miliki.

Baca juga:  Hadapi Tantangan Global, Ekonomi Daerah Perlu Diperkuat

Pemerintah daerah harus mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi, oleh karenanya berbagai kemudahan dalam investasi bidang teknologi tinggi, termasuk industri pengolahan harus lebih diprioritaskan. Perbaikan iklim investasi hendaknya terus diperbaiki, upaya deregulasi, penegakan hukum dan kepastian usaha untuk meningkatkan daya saing lebih ditingkatkan.

Dari semua hal di atas, pemerintah daerah, pelaku industri, akademisi, dan masyarakat luas menghadapi potensi ancaman, tantangan, harapan dan peluang dengan semangat optimisme. Pemerintah daerah hendaknya mulai merancang pusat-pusat kawasan sains atau Science Techno Park, yang nantinya diharapkan mampu mendorong munculnya produk-produk inovatif, memperkuat daya saing di daerah, mendorong hilirisasi hasil riset dan teknologi sehingga bisa dimanfaatkan oleh pelaku industri.

Dikembangkan upaya menciptakan kolaborasi ‘’Triple Helix’’ yaitu, pemerintah, universitas, dan korporasi untuk mengembangkan Pusat Pusat Kawasan Sains (Science Techno Park), sehingga pemerintah daerah akan terbantu dalam mensinergikan program Konsep Sistem Inovasi Daerah (SIDa), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan Rencana Pembanguanan jangka panjang Daerah, untuk kemajuan pembangunan di wilayah Provinsi Bali.

Penulis, dosen Pascasarjana (MM) FE dan Bisnis Universitas Warmadewa, alumni Program Doktor Universitas Brawijaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *