Warga Desa Pakraman Yeh Poh, Manggis, Karangasem saat mengarak pajegan dan sumbu serangkaian ritual aci ngusaba agung. (BP/dok)

Oleh Supartha Djelantik 

Setelah Indonesia merdeka, berlaku UU yang secara eksklusif maupun mandiri mengatur tentang desa. UU itu antara lain: UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja, UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan  UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sepanjang menyangkut desa mulai dari pasal 200 s.d. pasal 214 dan yang paling krusial pengaturan Desa dalam UU 5/1974 dengan politik hukum desentralistik desa diseragamkan, hukum berfungsi sebagai government social control yang berakibat desa adat disingkirkan melalui kebijakan penyeragaman.

Selanjutnya, reformasi membawa suasana perubahan mendasar tentang negara hukum demokrasi. UUD diamandemen, sistem peyelenggaraan pemerintahan daerah bergeser dari sentralistik menjadi desentralistik, dengan meletakkan desentralisasi pada daerah kabupaten/kota. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah diatur dengan UU 22/1999 yang memuat pula pengaturan tentang Pemerintahan Desa.

Pengaturan tentang desa semakin jelas arahnya untuk mewujudkan kehendak konstitusi, menerjemahkan prinsip ‘’rekognisi’’ yakni pengakuan dan penghormatan satuan-satuan masyarakat hukum adat yang sesuai prinsip asal-usul, mengingati keistimewaan, sesuai dengan peradaban dan NKRI. Sejak UU Desa berlaku telah menghadirkan   perdebatan pro-kontra di antara para ahli dan tokoh masyarakat, tentang penetapan desa dinas dan desa adat yang dinyatakan sebagai desa, sekalipun ada benang merah tentang kesamaan visi untuk tetap mempertahankan eksistensi desa adat.

Fokus perdebatan di sekitar keberadaan penjelasan Pasal 6 UU Desa, tentang dimungkinkan keberadaan desa adat dan desa dinas, sebagaimana berlangsung saat ini. Pendekatan-pendekatan teoretis bisa dikemukakan, dan dipergunakan sebagai pembenar, baik dari sisi pemikiran dua desa berjalan berdampingan dengan segala akibat dan konsekuensi logis yang ditimbulkannya, maupun pengakuan desa adat sebagai desa riil (substasial), yang keberadaannya secara teoretis juga dapat dipertanggungjawabkan.

Belakangan muncul ke permukaan tantangan yang melibatkan desa adat tentang: (1) hak memungut retribusi parkir, sampah, dan keamanan; (2) kehadiran pendatang, yang merebut lapangan kerja, ruang usaha, munculnya premanisme; (3) kehadiran investasi yang berbasis agama, dan politik dumping; (4) kesempatan kerja dan kelemahan kualitas SDM Bali; (5) pengembangan  UKM; (6) memperkuat daya juang (competitiveness); (7) demokratisasi; dan (8) membangun negara hukum berbasis budaya Bali.

Berbagai kelemahan yang disebutkan, tidak luput dari lemahnya sistem pembentukan hukum dan penegakkan hukum lokal yang tejadi selama ini, laju kehadiran pendatang secara masif akan mengganggu keseimbangan sosial-politik yang dapat dipergunakan sebagai alat pembentukan instabilitas, pemiskinan terstruktur terhadap krama Bali, yang sekalian akan memberi dampak negatif menurunnya karakteristik desa adat dan melemahkan adat istiadat, budaya Bali dan akhirnya akan mengikis kesadaran masyarakat untuk mempertahankan keunggulan-keunggulan kultural yang  merupakan keunggulan komparatif (theory of comparative advantage) yang terbentuk dari latar belakang keunikan wilayah, adat istiadat, kebiasaan  dan tata susunan masyarakatnya yang berbeda-beda yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain di Indonesia bahkan negara-negara lain di dunia.

Baca juga:  Dua Desa Diterjang Puting Beliung, 9 Rumah Rusak

Keunggulan-keunggulan tersebut hanya dapat dipertahankan melalui perkuatan keunggulan dengan memberikan keleluasaan kepada masyarakat adat untuk mengembangkan dan memperkuat nilai-nilai kearifan yang telah tertanam dalam sanubari mereka. Jadi, kemunduran atau kehancuran budaya bisa jadi karena kurangnya kesungguhan dan ketulusan semua pihak untuk menjadikan budaya Bali sebagai dasar cara pandang konstruksi budaya hukum masyarakat Bali dalam menguatkan konstruksi negara hukum Indonesia.

Kuatnya budaya hukum masyarakat untuk mewujudkan keadilan, akan dapat menciptakan kepastian tentang keberadaan masyarakat hukum adat (desa adat) guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat Bali. Tetapi kita patut mewaspadai para pencari manfaat (profit taking) petualang yang menjual budaya untuk kepentingan sempit atau diri sendiri yang berlindung di balik kekuasaan dan bisnis.

Prinsip dasar konstruksi UU Desa adalah menggabungkan fungsi self-governing community dan local self government. Self-governing community, yaitu menjalankan kewenangan pemerintahan desa berdasar asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa. Sementara local self government yaitu kewenangan dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah, provinsi, atau kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan asas pembantuan.

Maka ada empat kewenangan utama yang dimiliki desa adat. Kewenangan ini harus dijalankan secara demokratis, berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa. Yaitu penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, di Bali dan pemberdayaan masyarakat desa.

Fungsi self-governing community dan local self government agar desa di masa mendatang dapat memenuhi tujuan utama amanat UU Desa. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 4, bahwa pengaturan desa sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan, kejelasan status dan kepastian hukum, memajukan adat tradisi dan budaya, partisipasi, profesionalisme, pelayanan publik, dan tercapainya kesejahteraan.

Rekognisi, otonomi bukan amputasi dan intervensi. Mengapa pemerintah daerah justru tidak mengakui desa adat sebagai pengemban, pelaku dan pengawal budaya, adat istiadat dan tradisinya? Apakah bentuk ketidaksiapan birokrasi dalam memahami politik hukum pemerintahan desa sehingga tak mampu menerjemahkan kehendak UU sebagai turunan konstitusi, atau terbatasnya pemahaman tentang nilai-nilai adat istiadat dan budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat?

Dan banyak lagi yang bisa menggugat keseriusan pemerintah daerah dalam menyikapi fenomena penetapan desa dinas sebagai desa. Kita sadar bahwa hukum yang hidup adalah hukum yang sesuai dengan roh masyarakatnya, hukum desa yang diberlakukan di Bali adalah hukum adat yang sudah disesuaikan atau tidak bertentangan dengan UU, sehingga rekognisi pranata sosial politik masyarakat Bali (desa adat) tidaklah cukup dengan mengakui adanya kepemilikan lahan oleh desa adat atau pangempon pura. Yang lebih utama adalah mengakui desa adat (pakraman) sebagai pengarusutamaan dalam pengaturan, penyelenggaraan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat masyarakat Bali.

Baca juga:  Gimik Politik Jelang Pilpres

Berdasarkan kekuatan UU Desa, DPR Bali/DPRD dan Pemerintah Kabupaten/Kota harus bergerak cepat, memperbaiki situasi dan kondisi yang semakin kritis, merancang peraturan daerah tentang penetapan desa adat (pakraman) sebagai desa, dan menjadikan desa adat sebagai subjek yang memiliki legal standing, sebagai pembentuk, pemelihara, dan restorasi kebudayaan (mindset), pembangun SDM berkarakter berkualitas THK, mengembangkan sistem ekonomi, pariwisata, dan lingkungan yang sesuai dengan budaya masyarakatnya melalui perencanaan yang ramah masyarakat hukum adat yang menyejahterakan. Program pembangunan manusia berkarakter-berintegritas hanya dapat dibentuk melalui kelembagaan yang kredibel, diakui dan dihormati oleh pendukungnya.

Pergulatan pengakuan-penghormatan masyarakat hukum adat, dalam merekonstruksi dan mempertahankan eksistensinya menandakan adanya ketidaksesuaian antara jiwa UUD dengan UU organik dalam politik  hukum pemerintahan desa sebelum berlakunya UU Desa 2014, yang justru mengamputasi, mendegradasi, dan mengabaikan hak-hak, nilai-nilai keistimewaan dan kekhususan yang dimiliki masing-masing desa, yang menerapkan konsep penyeragaman melalui berbagai peraturan perundang-undangan.

Penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alamnya, adalah pembuktian peniadaan kedaulatan masyarakat hukum adat atas hak ulayatnya. Pembangunan hukum nasional menempatkan dominasi dan diskriminasi negara terhadap masyarakat hukum adat. Diundangkannya UU Desa No. 6/2014 memberi harapan akan tampilnya desa adat sebagai realisasi janji konstitusi sebagaimana diatur dalam  pasal 18B ayat (2) dan pasal 28I ayat (3) UUD (perubahan) yang  menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya yang diatur dalam UU.

Namun, harapan diakui apalagi dihormati, sebagai pilar budaya, dan penjaga taksu Bali yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya berdasarkan asal-usul (otonomi) menjadi tanpa makna dengan keraguan untuk menetapkan desa adat sebagai desa. Liefrinck (1886-1887) pernah mengatakan desa di Bali adalah little republic yang memiliki hukum atau aturan budaya adatnya sendiri.

Dengan susunan pemerintahan bersifat demokratis dan memiliki otonomi dengan adanya Khayangan Desa. Pernyataannya tersebut terbantahkan pada saat dilegalkannya rekognisi melalui UU Desa, yang telah ditunggu-tunggu tujuh puluh satu tahun lamanya.

Respons pemerintah daerah kabupaten/kota/Bali justru sebaliknya bimbang dan ragu dalam menentukan arah masa depannya sendiri, dengan berbagai alasan, pendekatan legal-pragmatik mengabaikan dan membiarkan masyarakat hukum adat Bali berhadapan dengan elite kekuasaan yang tidak paham DNA masyarakatnya. Ini adalah keraguan berlatar belakang ketidaktahuan hakikat desa adat sebagai rumah masyarakat hukum adat.

Baca juga:  Buka Bimtek, Bupati Suwirta Dorong LPM Ikut Bangun Desa

Pemerintah daerah mengambil kebijakan konservatif, non-visioner dengan tidak mendaftarkan desa adat atau desa (dinas) sebagai desa dengan membiarkan pemerintah pusat mau tidak mau menetapkan desa dinas sebagai desa, karena secara normatif desa dinas adalah turunan pemerintahan kabupaten/kota/Bali.

Dengan ditetapkannya desa dinas sebagai desa, maka berlakulah ketentuan-ketentuan tentang desa, posisi desa adat menjadi Lembaga Adat Desa (LAD). Pasal 95 menetapkan (1) pemerintah desa dan masyarakat desa dapat membentuk LAD; (2) LAD sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan lembaga yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat desa; (3) LAD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu pemerintah desa dan sebagai mitra dan memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat desa.

Ketentuan ini adalah bentuk pengakuan dan penghormatan semu, niat terselubung di mana hukum tidak lain adalah government social control, hukum sebagai alat pengendalian masyarakat untuk mencapai tujuan. Pemerintah bukan lagi sebagai rekognisi negara kepada masyarakat hukum adat.

Keberadaan masyarakat hukum adat Bali semakin dilematis karena semua desa adat berubah menjadi LAD, sehingga dengan sendirinya tidak lagi  terjadi tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara desa dan desa adat. Kalau ditelaah dengan saksama, butir-butir yang terkandung dalam penjelasan pasal 6 menyatakan bahwa tujuan pokok diadakannya penjelasan pasal 6 adalah untuk mencegah terjadinya tumpang tindih sehubungan dengan adanya ketentuan norma pasal 6 ayat (1) pada dasarnya di wilayah Indonesia hanya ada desa, atau desa adat sebagai entitas pemerintahan desa dalam wilayah desa. (2) Bahwa domain-domain yang dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya tumpang tindih sehubungan adanya dua entitas itu adalah domain: (a) wilayah; (b) kewenangan; dan (c) kelembagaan. (3) Sebagai solusi agar tidak terjadinya tumpang tindih di ketiga domain tersebut, pembentuk undang-undang mengharuskan agar masyarakat/pemerintah daerah memilih satu di antara dua jenis entitas itu.

Desa (dinas) atau desa adat, yang berada dalam wilayah desa. Dengan ditetapkannya desa dinas sebagai desa, secara filosofis, sosiologis, yuridis tidak menyelesaikan masalah mendasar masyarakat hukum adat Bali secara komprehensif. Desa adat kehilangan legalitas sebagai desa adat,  dan hak asal-usul bukan dalam arti otonomi (asli), dalam mengatur dan mengurus kepentingan warganya, maka berakhirlah riwayat republik kecil.

Penulis, Pendukung Penegakan Pengakuan dan Penghormatan Desa Adat (P4DA), pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Warmadewa

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *