Oleh Agung Kresna
Upacara ground breaking pembangunan shortcut jalan baru batas kota Singaraja-Mengwitani bagai embusan angin segar bagi masyarakat kawasan Bali Utara. Paling tidak, dua titik shortcut (dari rencana sepuluh titik hubung) sudah dimulai pembangunannya. Sehingga proyek pembangunan shortcut jalan baru sebagai penghubung kawasan Bali Utara dengan Bali Selatan tidak lagi sekadar wacana.
Sejak ibu kota Provinsi Bali dipindahkan dari Singaraja ke Denpasar pada tahun 1960 melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Des.52/2/36-136 tanggal 23 Juni 1960, kawasan Bali Utara secara berangsur-angsur seakan ditinggalkan dan diabaikan. Padahal, gemerlap ekonomi Bali melalui industri pariwisata saat ini, adalah buah perjalanan panjang pariwisata yang berawal dari Singaraja.
Sejarah perjalanan wisatawan yang pertama kali menuju Bali pada dasawarsa 20-an masuk melalui pintu utama Pelabuhan Buleleng. Dari sinilah para wisatawan mulai melakukan perjalanan ke seluruh pelosok Bali. Tahun 1924, wisatawan secara khusus datang ke Bali menggunakan jalur pelayaran Bali Express dengan rute Singapura, Batavia, Semarang, Surabaya, Singaraja, kemudian ke Makassar. Bali Express merupakam prakarsa Koninklijke Paketcart Maatsckapy (KPM) atau Maskapai Pelayaran Kerajaan Belanda.
Ketika tahun 1846, Hindia Belanda menguasai daerah Bali. Mereka menjadikan Kota Singaraja sebagai pusat pemerintahan di Pulau Bali. Dibangunlah berbagai fasilitas kota termasuk Pelabuhan Buleleng dan jalan utama baru menuju pelabuhan. Jalan utama ini bahkan telah mengubah tata ruang tradisional Buleleng dengan mengubah akses kota sehingga tidak lagi berpusat pada catus patha (pempatan agung). Pelabuhan Buleleng pada masa Hindia Belanda hingga masa awal kemerdekaan Indonesia merupakan pintu gerbang utama Pulau Bali. Dari kawasan Bali Utara sebenarnya proses pembangunan Bali modern itu berawal.
Keseimbangan Kesejahteraan
Kenyataan bahwa saat ini kawasan Bali Utara seakan sebagai kawasan yang dilupakan, memang terasa dengan masifnya pembangunan di kawasan Bali Selatan. Kondisi ini terasa sejak Kota Denpasar dijadikan ibu kota Provinsi Bali dan pintu gerbang utama Pulau Bali lebih banyak melalui Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai serta pelabuhan laut Benoa. Hal ini masih ditimpali dengan adanya pola otonomi daerah yang berada di tingkat kabupaten/kota, sehingga setiap kabupaten/kota memiliki kemandirian untuk mengembangkan wilayah masing-masing sesuai kemampuan aset yang dimilikinya.
Kesulitan akses dari kawasan Bali Selatan (sebagai gerbang utama Pulau Bali saat ini) menuju kawasan Bali Utara, bagai semakin meminggirkan Bali Utara. Dahulu, pada saat semua distribusi barang dari dan keluar Bali melalui pelabuhan Singaraja, sebagian besar hasil ternak dan hasil bumi dari Bali yang diekspor ke Malaka dan Hongkong melalui pelabuhan ini. Kawasan Bali Utara saat itu menjadi wilayah yang banyak memiliki kawasan perkebunan. Jejak kejayaannya masih dapat kita jumpai saat ini.
Guna mengembalikan kesejahteraan kawasan Bali Utara, diperlukan kemudahan akses menuju dunia ekonomi global maupun lokal Bali. Sehingga adanya shortcut jalan baru penghubung Bali Utara dan Selatan serta kehadiran bandar udara baru di Bali Utara, diyakini akan meningkatkan kehadiran investor ke Bali Utara. Pada gilirannya, diharapkan akan terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi yang akan membuka peluang terjadinya keseimbangan kesejahteraan masyarakat Bali Utara dan Selatan.
Akselerasi pertumbuhan ekonomi kawasan Bali Utara menjadi kunci utama pemerataan kesejahteraan krama Bali di kawasan tersebut. Jika tingkat kesejahteraan masyarakat kawasan Bali Utara sudah terwujud, maka akan menjadi lebih mudah untuk meningkatkan kesejahteraan di kawasan Bali Barat dan Bali Timur mengingat keterhubungannya dengan Bali Utara. Ada beberapa kata kunci sebagai upaya menuju keseimbangan kesejahteraan krama Bali di seluruh pelosok Pulau Bali.
Pertama, adanya pemerataan infrastruktur di seluruh pelosok Bali. Infrastruktur menjadi prasarana pendukung pertumbuhan ekonomi suatu kawasan. Kehadiran infrastruktur yang baik akan memicu geliat ekonomi masyarakat secara mandiri serta akan menarik investor untuk melakukan kegiatan usaha pada suatu wilayah.
Infrastruktur berupa jalan yang memadai, beserta ketersediaan sumber daya energi listrik serta ketercukupan suplai air minum, merupakan daya tarik bagi investor untuk melakukan kegiatan usaha di suatu kawasan. Tanpa adanya sarana infrastruktur yang cukup dan memadai sesuai kebutuhan, mustahil investor akan tertarik untuk melakukan investasi pada suatu wilayah.
Kedua, adanya konektivitas antarwilayah di seluruh penjuru Pulau Bali. Konektivitas antarwilayah di Bali akan membuka peluang terjadinya pemerataan di semua lini kehidupan masyarakat, utamanya terciptanya keseimbangan tingkat kesejahteraan krama Bali di sudut-sudut pelosok Bali. Sehingga diharapkan tidak ada lagi wilayah di Pulau Bali ini yang menjadi daerah terpencil yang bagai tidak memiliki konektivitas dengan dunia luar.
Ketiga, aksesibilitas menuju ke seluruh penjuru Pulau Bali. Ketersediaan infrastruktur beserta konektivitas antarwilayah di Pulau Bali, memerlukan sarana guna terciptanya aksesibilitas antarwilayah tersebut. Ketersediaan sarana transportasi dan komunikasi yang memadai akan banyak membantu terciptanya tingkat kesejahteraan krama Bali yang merata, sekaligus menciptakan keseimbangan kesejahteraan masyarakat antara wilayah yang satu dengan lainnya.
Kesenjangan ekonomi masyarakat Bali sebagaimana yang saat ini masih terjadi antara kawasan Bali Selatan dengan wilayah Bali yang lain, harus segera diakhiri. Jika kawasan Bali Utara pernah menjadi lumbung kesejahteraan ekonomi Bali, maka lumbung kesejahteraan yang saat ini sedang menaungi kawasan Bali Selatan harus segera didistribusikan ke seluruh wilayah Bali.
Bukan dengan melakukan bagi hasil atas limpahan dolar yang saat ini sedang dinikmati kawasan Bali Selatan melalui industri pariwisata. Namun dengan melakukan pemerataan aksesibilitas, konektivitas, dan infrastruktur, sehingga akan tercipta pemerataan dan keseimbangan kesejahteraan krama Bali di seluruh wilayah Pulau Bali.
Penulis, arsitek, senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar