Sudah sejak dulu, ketimpangan antarwilayah, Bali Utara-Bali Selatan, disebabkan oleh faktor utama yakni aksesibilitas. Bali bagian selatan sudah sangat jauh berkembang terutama daerah pariwisatanya.
Lihatlah daerah Badung, Denpasar, Gianyar, serta Tabanan. Objek wisata di derah ini senantiasa dikunjungi wisatawan. Sektor perdagangan umumnya berjalan lebih cepat. Aktivitas serta mobilitas kapital berjalan lebih cepat. Itu sebabnya, sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan, PAD di daerah ini cenderung lebih tinggi.
Sedangkan di bagian utara, terutama di daerah Kabupaten Buleleng, walaupun banyak memiliki objek wisata namun masih jarang yang mau datang. Kalaupun ada, itu karena memiliki minat khusus.
Padahal dari sisi potensi alam dan budaya, Buleleng tidaklah kalah. Lovina misalnya. Pantai melegenda ini sudah sangat familiar di kalangan wisatawan. Akan tetapi, perkembangannya sangat lambat. Wisatawan masih enggan datang karena waktu tempuh yang relatif lama. Sekitar dua jaman.
Lihatlah juga kawasan Pemuteran. Tidak kalah menariknya. Daerah ini sudah diakui dunia memiliki taman laut yang indah. Namun toh, hanya wisatawan yang punya minat khususlah yang mau datang ke tempat ini. Selain itu, budaya, religi, kuliner serta gebrakan generasi milenial yang sedang gandrung membuka diri untuk menjadi wirausaha muda.
Sebagai daerah perkebunan, Buleleng sudah punya nama. Kebun anggur, jeruk, vanili, durian dan lainnya ada di berbagai kawasan di Buleleng. Tetapi, lagi-lagi masalah transportasi menjadi kendala. Kalau kemudian Gubernur Bali Wayan Koster yang notabene merupakan putra daerah Buleleng membuat gebrakan mempercepat mimpi agar kawasan ini tidak terisolasi lagi tentu bukan tanpa sebab.
Memang ketimpangan antarwilayah dan antarsektor ini mesti segera diakhiri. Upaya membuat shortcut dan bandara merupakan salah satu langkah terobosan. Upaya yang sangat perlu didukung terutama pembuatan jalan pintas.
Ini sebenarnya sudah rencana lama namun tak kunjung terealisasi. Kini, pada zaman Gubernur Wayan Koster, rencana itu diwujudkan. Dengan demikian, upaya untuk mempercepat pembangunan di daerah ini merupakan langkah strategis agar Buleleng tidak ketinggalan lagi.
Cuma masalahnya, pembuatan jalan pintas ini jangan kemudian menimbulkan masalah baru seperti menjamurnya pembangunan di daerah sekitarnya. Pemerintah mesti siapkan perangkat lunak. Siapkan aturan mainnya. Siapkan legalitasnya agar di kiri kanan tidak tumbuh subur pembangunan jenis apa pun.
Pengalaman pembangunan By-pass Ngurah Rai serta Jalan I.B. Mantra bisa dijadikan contoh. Spekulan tanah bermain sehingga di kiri-kanan jalan bermunculan bangunan yang menyimpang dari peruntukannya. Jaga itu, agar tidak terulang di Bali Utara.
Jangan sampai jadi batu sandungan kesekian kalinya. Karena kita tidak bisa menata aturan tata ruang. Di sekitar shortcut itu jangan dibiarkan jadi kumuh. Alih-alih menata menuju yang lebih baik, kita justru akan melihat wajah kesemrawutan baru di belahan Bali Utara.