Kepala Pusat P3E Bali Nusa Tenggara, Drs. Arijaluzzaman, Pakar Hukum Unud Prof. Prof Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.Hum.,  ahli Arsitektur Unud Prof. Putu Rumawan Salain saat memaparkan materi dalam rapat soal SDA dan LH Danau Batur, Kintamani. (BP/asa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara mengaku sudah melakukan beberapa kali penelitian di danau yang ada di Bali. Diantaranya, Danau Batur, Danau Beratan, Danau Buyan dan Danau Tamblingan.

Hasilnya, menunjukkan sejumlah danau sudah masuk ambang batas parah akibat pencemaran yang disebabkan oleh beberapa faktor. Yakni, erosi, pestisida dan sisa makanan air keramba. Demikian terungkap dalam rapat koordinasi penerapan rencana pengelolaan SDA dan LH di kawasan Danau Batur, Jumat (7/12).

Hadir dalam acara tersebut adalah Kepala Pusat P3E Bali Nusa Tenggara, Drs. Arijaluzzaman, Pakar Hukum Unud Prof. Prof Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.Hum., ahli Arsitektur Unud Prof. Putu Rumawan Salain yang membawakan makalah “Penataan Ruang Kawasan DTA Danau Batur – Bangli”, LSM Lingkungan, ESDM Provinsi Bali, dari LSM, dari Pemda Bangli dan instansi lainnya.

Arijaluzzaman, mengatakan khusus untuk Danau Batur, sedimentasi sudah lumayan parah. “Kualitas air juga sangat menurun akibat pestisida dari pertanian masyarakat sekitar. Faktor kedua erosi dari Tambang Galian C dan faktor makanan ikan keramba,” tegasnya.

Oleh karena itu, pihaknya 2019 akan melakukan kajian, yakni sudah sejauh mana pengaruh pestisida, erosi, dan pakan ikan keramba terhadap kualitas Danau Batur.
Langkah yang diambil juga mengurangi pencemaran, dan merencanakan pertanian organik. Karena pencemaran danau juga disebabkan pencemaran mesin jenset, dan juga pembuangan oli secara serampangan di danau.

Dan atas keprihatinan mendalan terhadap lingkungan inilah semua stikholder harus turut mencarikan solusi. Jangan sampai pencemaran lingkungan, baik di danau maupun di daratan ibarat penyakit diabetes. Yakni, pelan-pelan penyakit ini bisa menggerogoti masyrakat Bali.
“Ada juga Danau Beratan pembangunan dermaga tampa kajian mendalam,” sebut dalam rapat kemarin.

Baca juga:  Pengaturan HATA, Bali Bisa Dicontoh

Ke depan, pencemaran lingkungan tidak boleh terjadi dengan pola pemerintah menegakkan hukum dan harus mencarikan solusinya. “Tambang Galian C kita khawatirkan. Danau Batur juga kena dampak yang begitu tinggi,” tegasnya.

Saat ini, Danau Batur bukan punya Bali saja, namun punya internasional dengan geoparknya. Tidak hanya danau, hutan manggrove di dekat Pelabuhan Benoa, Suwung, sudah ribuan yang mati.

“Kita duga akibat pengurukan Pelindo, akibat sedimentasi pengerukan di samping pasang surutnya air laut. Coba deh masyarakat tengok ke dalam, jangan hanya lihat luarnya,” tandas Arijaluzzaman, sembari menyatakan kalau perusakan dan pencemaran lingkungan terus menerus terjadi, seperti apa Bali ini ke depan.

Oleh karenanya, dia mengajak melepas baju semua lembaga dan menyatukan diri tanpa memandang ini dari instansi mana, lembaga apa, tetapi menyatukan diri mencarikan solusi ke depan. Tidak hanya sebatas pertemuan, membahas masalah tampa menemukan solusi. Namun marilah “saje saje” (benar-benar) melalukan penegakkan hukum, mengatasi pencemaran, demi masa depan Bali ke depan.

Sehingga dalam acara kemarin, dilibatkan ahli hukum, ahli arsitek, dari kepolisian, Pemprov Bali dan Pemda Bangli, BKSDA, dan lembaga lainnya, untuk merumuskan kajian-kajian. Karena selama pembahasan soal Danau Batur dan Galian C sering dilakukan namun, tanpa ada eksekusi. Dan, dalam rapat kemarin juga diakui bahwa masalah ini sudah disampaikan ke Kementrian Lingkungan Hidup RI.

Prof. I Made Arya Utama, selaku penggiat lingkungan, dari persfektif hukum implementasi penegakan hukumnya harus dari hulu ke hilir. Terintegrasi dan tidak ada dirugikan. “Pelanggaran terjadi karena ada keterlambatan,”  katanya.

Baca juga:  Air Danau Batur Berubah Hijau, Warga Sebut Tak Seperti Fenomena Biasa

Kalau soal pertambangan, tidak hanya soal satu pihak, namun harus holistik. Penegakan hukum salah satu instrumennya adalah izin. Dan izin adalah instrumen pencegahan.
Ada UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sehingga kewenangan Bupati/Walikota pada galian C ke Provinsi. “Jadi izin galian C tidak lagi kewenangan Bupati atau walikota,” jelasnya.

Di sana juga ada UU 23 tahun 2014 sebagai lex specialis. Penerbitan usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan dalam rangka PMDN dalam satu daerah provinsi. Turunannya Perda No. 4 tahun 2017 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral bukan Logam dan Bantuan. Untuk pertambangan ini, harus ada kesepakatan, mau tidak bersih dananauya. Dan kalau sudah sepakat undang pakar (ahli)  buatkan regulasinya. Karena jika pemerintah melanggar hukum juga bisa digugat.

Dalam peraturan ini, banyak yang lempar tanggungjawab dan saling pingpong. Pun soal indikasi pengerukan di Toya Mampeh, Batur, Kintamani. Pihak Bangli melempar ke Pemprov Bali dan BKSDA. Sedangkan Pemprov Bali melempar ke Kementrian ESDM. BKSD juga tak mau disudutkan. Apalagi, sebagaimana dalam pertemuan kemarin di Kantor P3E, juga terungkap Perda Kabupaten Bangli No. 9 tahun 2013, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bangli. Di mana dalam paragraf 7,  Pasal 55 soal kawasan peruntukan pertambangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal  27 ayat 4 huruf h, bahwa lokasi kawasan pertambangan batuan, terutama di  kawasan Yeh Mampeh pada dasar kaldera Batur seluas kurang lebih 60,32 ha. Artinya, bahwa Bangli mengeluarkan Perda tentang pertambangan. Tak salah pihak Polda Bali menuding bahwa aturan soal tambang ini masih abu-abu, alias belum jelas karena adanya saling lempar

Baca juga:  Sepekan Ada Dua WNA Berulah Dideportasi, Gubernur Koster Beri "Warning" Ini

Atas adanya saling lempar, peserta lain meminta duduk bersama dan kolaborasi dalam pemikiran tanpa harus menuding instansi mana yang harus bertanggung jawab.
Termasuk mencari solusi, antisifasi masyarakat di sekitar danau yang sangat penting karena ini juga masalah perut (ekonomi-red). Hal itu juga disampaikan Prof. Rumawan Salain, yakni kombinasi kehutanan, BKSDA, Pemda Bangli dan Pemprov Bali. Namun dari ESDM Pemprov Bali menyatakan kembali ke tuan rumah (Pemda Bangli), yakni apakah mau membiarkan kondisi alam seperti itu, atau menghentikan perusakan lingkungan. “Jangan ada kebijakan jelang pilkada, apalagi status Bangli menjadi kawasan geopark,” tegas pihak ESDM. persoalan di sana juga ada pertambangan, sudah tertuang dalam Perda 9 tahun 2013 Kabupaten Bangli. Dan, Pemprov Bali tidak akan membeirkan izin. “Kami tidak mau jerumuskan pimpinan kami. Kami tidak akan keluarkan izin pertambangan yang mengexploitasi. Karena itu melanggar aturan,” tegas perwakilan Pemprov Bali.

Namun persolan tidak sesedarhana itu. Banyak masyarakat sekitar masih kredit truk, sekolahkan anak, dan menghidupi keluarganya. Nah bagaimana strategi yang dilakukan supaya ada solusi guna mendapatkan cara yang pas tanpa ada yang dirugikan. Hilangkan pula permainan oknum petugas yang main ke lokasi karena di sana banyak galian C tampa izin dan digali menggunakan alat berat yang notabene dilarang pemerintah. Dan pihak P3E meminta semua pihak, akademisi, Pemerintah Pusat, Pemprov Bali, Pemda Bangli, Kepolisian, BKSDA, Kehutanan, bersatu padu mencarikan solusinya, guna menjaga lingkungan untuk masa depan anak cucu di masa depan. (miasa/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *