Oleh Suka Arjawa
Istilah disabilitas masih dipakai di Indonesia untuk menyebutkan mereka yang berkebutuhan khusus seperti kaki, tangan atau ucapan yang tidak seperti manusia pada umumnya. Tetapi sesungguhnya ada istilah yang lebih bagus, seperti difabel yang mengacu kepada ungkapan different ability.
Artinya mereka mempunyai kemampuan berbeda. Tentu saja maksudnya adalah orang-orang yang mempunyai cara berbeda untuk mencapai tujuan seperti yang dilakukan oleh orang pada umumnya.
Beberapa waktu lalu ada pemberitaan tentang seorang anak sekolah dasar yang merangkak dari rumahnya untuk mencapai sekolah. Dia konsisten dengan sikap itu dan seolah menyindir kepada orang pada umumnya bahwa anak ini pun mampu menuju sekolah dengan caranya sendiri. Dia adalah anak yang dapat dikatakan difable.
Akan tetapi jika ada anak yang down syndrom dan memerlukan bantuan khusus untuk mencapai tujuan, barangkali ini dapat dikatakan disability yang memang perlu bantuan orang lain untuk mencapai tujuannya. Membuat definisi tentang orang-orang seperti yang disebutkan di atas memang perlu dilakukan di Indonesia, karena sangat berpengaruh kepada pembuatan dan kebijakan pemerintah nanti. Harus dikatakan bahwa mereka-mereka itu menjadi warga yang sama di suatu negara, tentunya di Indonesia juga. Sebutan orang berkebutuhan khusus mungkin lebih tepat di Indonesia.
Ada yang menyebutkan bahwa kelompok masyarakat yang berkebutuhan khusus tersebut banyak muncul di negara-negara berkembang. Ini diduga karena di negara seperti ini, asupan gizi serta perhatian orangtua pada saat ibu hamil tidak maksimal. Termasuk juga kondisi lingkungan yang tidak sehat seperti binatang dan hewan yang masih berkeliaran yang kehidupannya menyatu dan bersentuhan dengan kehidupan sosial manusia.
Sanitasi yang tidak mendukung serta kurangnya pemahaman tentang hidup sehat, diduga menjadi penyebab yang kemudian melahirkan kelompok masyarakat yang mempunyai kebutuhan khusus tersebut. Indonesia adalah negara berkembang dan fakta sosialnya memang banyak terdapat kelompok orang seperti yang disebutkan di atas.
Dari sisi ini, dapat dikatakan bahwa untuk menekan bahkan menghilangkan kelahiran bayi yang kemudian berkebutuhan khusus ini, memerlukan pendekatan politis. Pendekatan politis ini harus bertemali dengan cara pandang sosiologis. Di negara sedang berkembang diperlukan kebijakan pemerintah, keputusan politik dan undang-undang yang memberikan jaminan perbaikan kepada anggota masyarakat yang berkebutuhan khusus.
Indonesia dalam hal ini boleh dikatakan sebagai negara yang tanggap terhadap hal ini dengan adanya Undang-undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dengan adanya undang-undang ini maka hak, persamaan serta perlindungan terhadap mereka telah diungkap dan dinyatakan oleh pemerintah. Sebagai sebuah kebijakan publik, maka ketentuan tentang ruang publik, bangunan umum serta infrastruktur angkutan yang harus memenuhi kriteria kemanfaatan bagi mereka yang berkebutuhan khusus, juga merupakan upaya-upaya politis yang telah dilakukan pemerintah.
Hanya yang kini harus mendapat perhatian adalah bagaimana kemudian mereka-mereka yang mempunyai kebutuhan khusus tersebut diberikan kesempatan lebih banyak untuk tampil di wilayah-wilayah yang lebih luas. Seperti halnya untuk memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk duduk di lembaga legislatif atau partai politik (sebanyak 30%), maka hal yang sama juga mesti diberikan kepada kelompok masyarakat yang berkebutuhan khusus ini, tentu dengan berbagai ketentuan tambahan.
Pemerintah sebaiknya juga memberikan jatah khusus kepada mereka yang berkebutuhan khusus ini pada perekrutan pegawai negeri untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN). Di Indonesia, yang dalam urusan kepegawaian masyarakatnya cenderung kelihatan feodal dengan memandang pegawai negeri itu sebagai gengsi, keberhasilan masyarakat berkebutuhan khusus ini menjadi pegawai negeri, akan memberikan pesan istimewa.
Artinya, baik bagi penyandang diafable, keluarga dan masyarakat luas telah memandang bahwa tidak ada lagi perbedaan antara penyandang disabilitas maupun yang nondisabilitas. Bahwa kenyataan ini ada pada lingkungan pegawai negeri, itu akan memunculkan kesan yang mendalam di benak masyarakat, menumbuhkan pesan optimis dan tidak ada perbedaan perlakuan. Untuk memenuhi standar tersebut, maka berbagai sarana perkantoran harus memenuhi standar bagi mereka yang berkebutuhan khusus itu.
Harus diakui bahwa terlalu kentara bagaimana masyarakat melakukan sikap diskriminatif terhadap mereka yang berkebutuhan khusus ini. Padahal, justru mereka yang mempunyai kebutuhan khusus tersebut mempunyai kelebihan di bidang lain.
Kelebihan ini juga mempunyai sikap mengkhusus. Misalnya mereka yang penglihatanya kurang, pendengarannya yang akan lebih dibandingkan yang lain. Tentu kantor dapat memanfaatkan kelebihan ini untuk keperluan kantor tersebut. Banyak mereka yang berkebutuhan khusus otaknya pintar-pintar, sehingga tidak ada alasan bagi kantor untuk menolaknya bekerja.
Apabila instansi negeri telah mampu memberikan kontribusi seperti itu, maka instansi swasta akan mengikutinya, baik secara psikologis maupun sosiologis. Atau pemerintah harus membuat aturan dan kebijakan yang mewajibkan instansi swasta untuk mempekerjakan sekian persen dari karyawannya yang berasal dari kalangan masyarakat berkebutuhan khusus.
Pekerjaan rumah yang harus dilakukan Indonesia sekarang masih cukup banyak. Pemerintah sudah melakukan langkah yang bagus dengan membuat undang-undang yang melindungi kelompok difabel dan juga membuat kebijakan yang memudahkan mereka di ruang-ruang publik.
Akan tetapi menyadarkan masyarakat untuk hal ini memerlukan proses panjang. Masih ada masyarakat yang menyerobot kepemilikan difabel, masih dijumpai mereka yang melakukan olok-olok dan bahkan di Bali di masa lalu ada lagu yang mengolok-olok mereka. Masyarakat harus berani mempunyai kemampuan untuk mengubah kebiasaan seperti ini. Dengan cara itulah kehidupan seluruh komponen masyarakat akan berhasil seimbang.
Penulis adalah staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana