Sekolah
Suasana belajar mengajar di sekolah. (BP/dok)

Oleh Romi Sudhita

Disambut positif, ide atau gagasan menjadikan PMP (Pendidikan Moral Pancasila) sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah oleh Mendikbud Muhajir Effendy. Penulis yang mencoba ‘’memancing’’ para netizen di facebook (FB), mereka sangat antusias menanggapinya bahwa PMP layak diberlakukan kembali sebagaimana yang pernah dijadikan mata pelajaran intrakurikuler wajib pada semua sekolah di seluruh Indonesia di era Orde Baru.

Tak kecuali, media yang sedang Anda baca saat ini juga secara berturut-turut menurunkannya di halaman 1, yakni pada edisi 3 dan 4 Desember 2018. Atas dasar ini penulis mencoba menganalisis apakah hal itu (PMP) memang benar-benar layak untuk diajarkan kembali.

Jika ya, tipe guru yang bagaimana yang cocok mengajarkannya, strategi dan metode yang digunakan seperti apa, dan seterusnya. Materi ajar yang umumnya diturunkan dari hasil kajian pengembang kurikulum pusat (Jakarta), setelah berada di daerah hingga di sekolah-sekolah, guru tinggal melaksanakannya meski di sana-sini dapat dilakukan pengayaan terhadap substansi kurikulum tersebut.

Baca juga:  Seni Virtual di Tengah Pandemi

Yang agak krusial justru strategi dan metode serta guru yang menggunakannya. Sebelum hal ini dibahas lebih lanjut, ada pentingnya juga

disinggung apakah PMP itu akan diajarkan secara mandiri (monolitik) yang posisinya sama dengan mata pelajaran–mata pelajaran lain, atau diajarkan secara terpadu (integrated)? Karena hal ini belum jelas, maka penulis bisa meraba-raba untung ruginya kedua sistem pengimplementasian kurikulum tersebut.

Dua Model

Baca juga:  Pemimpin "Nyampah" Bukan "Campah"

Pertama, jika PMP diberlakukan sama dengan mata pelajaran yang lain (monolitik) tentu pembelajaran akan lebih fokus namun di balik itu ada pula kelemahannya yaitu kurikulum di sekolah akan membengkak dari yang ada sekarang. Mata pelajaran bertambah banyak, waktu (jam pelajaran) diperlukan lebih lama, dan besar kemungkinan siswa akan semakin lelah dengan pembengkakan tersebut.

Kedua, andaikata PMP itu diajarkan dengan menyelipkan pada mata pelajaran–mata pelajaran yang berdekatan (integrated), tentu bagus juga dilihat dari segi efisiensi waktu, tenaga, dan pengemasan jadwal pelajaran. Di balik itu, tentu saja memiliki kelemahan yaitu agak sulit ‘’menggandengkan’’ PMP ke mata pelajaran yang mana cocoknya.

Baca juga:  Siapkah Bali Menyongsong Era Baru Tanpa Pariwisata?

Guru pengajar mata pelajaran yang hendak ‘’digandengi’’ apa dapat diyakini akan melakukan tugasnya secara efektif? Model yang mana hendak dipilih pemerintah (c.q. Kemendikbud), guru dan kepala sekolah setempat mau tidak mau harus mengatakan, ‘’siap’’!

Pola mana (monolitik atau integrated) yang hendak dipakai niscaya perlu memikirkan guru seperti apa yang harus dipenuhi, strategi dan metode apa yang cocok buat pembelajaran PMP, begitu juga aspek evaluasinya. Menyangkut guru yang ideal untuk pengajar PMP tentu yang memiliki beraneka macam ciri seperti yang sering dikemukakan para pakar pendidikan.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *