JAKARTA, BALIPOST.com – Banyak kalangan memprediksi bahwa 2035 nanti Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar nomor 7 di dunia. Namun, pendidikan aktuaria yang merupakan studi tentang pengelolaan risiko keuangan sangat sedikit jumlahnya di Indonesia.

Padahal aktuaria sangat dibutuhkan dunia industri keuangan dan industri asuransi. Pendidikan aktuaria di Indonesia belum sepopuler di luar negeri, padahal kebutuhan akan tenaga aktuaris sangat tinggi karena belum tercukupinya tenaga aktuaris profesional yang dibutuhkan oleh industri finansial di Indonesia.

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menunjuk sembilan perguruan tinggi untuk mengembangkan program studi ilmu aktuaria. Model yang digunakan mengadopsi program yang dikembangkan di Kanada.

Baca juga:  Bali Harus Jadi Pilot Project Pendidikan Widyalaya

Sekretaris Jenderal Kemenristekdikti Ainun Na’im menyebutkan, sembilan kampus tersebut antara lain Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Pelita Harapan, Universitas Prasetiya Mulya, Universitas Parahyangan dan Universitas Surya.

“Prodi aktuaria belum banyak di Indonesia, namun industri keuangan dan asuransi terus berkembang, oleh karena itu kita perlu menambah prodi dan pendidikan di bidang aktuaria, untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang kompeten pada bidang aktuaria,” ujarnya.

Baca juga:  RUU ITE Disetujui Dibawa ke Paripurna DPR

Pihaknya terus melakukan sosialisasi dan edukasi secara masif kepada masyarakat dan calon mahasiswa bahwa bidang aktuaria penting untuk dikembangkan. Pendidikan aktuaria juga sangat relevan dengan perkembangan revolusi industri 4.0.

Saat ini ekonomi digital semakin berkembang, sehingga pengelolaan risiko keuangan di era digital juga mengalami transformasi. “Kemenristekdikti berupaya memberikan edukasi kepada masyarakat, bahwa bidang aktuaria penting untuk mendukung industri finansial,” terang dia.

Program studi aktuaria didorong untuk menerapkan model pembelajaran Co-operative Education atau Belajar Bekerja Terpadu, yang mengkombinasikan studi akademis dengan pengalaman bekerja di perusahaan; memberi bekal soft skill dan professional skill set kepada mahasiswa sehingga mereka lulus dengan nilai tambah; mengintegrasikan dengan pengalaman kerja di perusahaan sebagai tenaga kerja profesional. “Walaupun ada konsekuensi masa studi bisa lebih dari 4 tahun, namun mahasiswa memiliki nilai lebih (added value) dengan pengembangan kemampuannya, sehingga mereka cepat diterima kerja setelah lulus,” kata Ainun. (kmb/balitv)

Baca juga:  Pengerjaan Proyek Apron Ngurah Rai Perlu Dipercepat
BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *