DENPASAR, BALIPOST.com – Gubernur Bali Wayan Koster memastikan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Desa Adat sudah diajukan ke DPRD Bali, pekan depan. Isi ranperda pun memiliki benang merah alias nyambung dengan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Masyarakat Adat yang kini sedang digodok DPR RI.
“Kalau DPRD Bali inginnya kan supaya cepat diajukan. Minggu depan kita akan ajukan, sekarang lagi dirapikan lagi dikit,” ujar Koster usai menerima Kunjungan Kerja Badan Legislasi DPR RI dalam rangka penyerapan aspirasi sebagai masukan pembahasan RUU tentang Masyarakat Adat di Wiswasabha Utama, Kantor Gubernur Bali, Kamis (13/12).
Koster menargetkan ranperda tentang desa adat sudah rampung dalam waktu 2 bulan. Dari segi materi, perda yang disusun ini mengatur semua aspek di desa adat. Mulai dari aspek ekonomi, keamanan, kebudayaan, pendidikan, hingga hukum dan peradilan. Keseluruhan materi yang ada dalam ranperda juga sangat sesuai dengan RUU tentang Masyarakat Adat.
“Bahkan kami ada lebihnya karena ranperda desa adat itu mengatur semua aspek. Kalau RUU kan tidak institusional, tapi ke masyarakat adat. Kan masyarakat adat itu ada yang sudah ada di dalam satu lembaga yang permanen. Ada juga yang masih dalam bentuk komunitas,” jelasnya.
Namun demikian, lanjut Koster, sebagian besar isi RUU sudah memayungi Ranperda tentang Desa Adat. Utamanya terkait penyelesaian sengketa dan pemberdayaan yang termuat dalam RUU. Kendati RUU juga masih berproses, menurutnya tidak masalah lantaran materinya sudah harmonis dengan ranperda. “Artinya nyambung, ada benang merahnya. Undang-undang ini bisa memayungi menjadi lebih kuat berlakunya Perda Desa Adat kedepan,” imbuh mantan Anggota DPR RI ini.
Koster pun berharap DPR RI dapat segera melakukan pembahasan dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Apalagi di salah satu bab RUU tentang pendanaan, masyarakat adat nantinya akan dialokasikan anggaran dari APBN dan APBD provinsi/kabupaten/kota. Hal ini dilihat sebagai kemajuan lantaran RUU sudah berpihak secara nyata kepada masyarakat adat.
Di Bali sendiri, setiap desa adat dalam APBD Provinsi Tahun 2019 digelontor anggaran Rp 250 juta. Anggaran itu secara bertahap akan terus ditingkatkan hingga menjadi Rp 300 juta per desa adat pada 2020. “Pelan-pelan. Kita lihat juga tugasnya, programnya. Kan diperintahkan oleh presiden, money follow programme,” tandasnya.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Arif Wibowo membenarkan bila ada 1 bab dan 3 pasal di RUU yang mengatur pemerintah pusat dapat mendanai masyarakat hukum adat dalam rangka pemberdayaan. Termasuk pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dari APBD masing-masing. “Soal alokasinya berapa, itu urusan teknis,” jelasnya.
Arif menambahkan, batas akhir pengesahan RUU inisiatif dewan ini adalah pada periode akhir DPR RI 2014-2019. Substansinya tentu mengakomodir seluruh keunikan masyarakat hukum adat di Indonesia. Terutama dalam hal melindungi dan memberdayakan masyarakat adat.
“Tentu kita tidak akan mengatur detail pada Undang-undang ini, yang kita atur adalah prinsip-prinsip yang sejalan dengan konstitusi kita Pasal 18B (UUD 1945, red). Tidak sekedar mengakui, tapi melindungi, menghormati dan memberdayakan masyarakat hukum adat di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Menurut Arif, saat ini ada 27 Undang-undang yang didalamnya mengatur tentang masyarakat hukum adat. Peraturan yang terlalu banyak itu sering menimbulkan tumpang tindih dan konflik. Disinilah RUU tentang Masyarakat Adat hadir untuk “merapikan” persoalan itu. (rindra/balipost)