Oleh I Ketut Sugarta
Masalah lembaga pemasyarakatan kembali mencuat setelah 113 napi penghuni Lapas Kelas II A Banda Aceh kabur dengan menjebol tembok lapas. Hanya tiga puluhan dari ratusan napi yang kabur tersebut baru dapat ditangkap.
Ditengarai yang menjadi penyebab kaburnya para napi tersebut adalah kualitas sumber daya manusia para pegawai yang ada di lapas tersebut. Dalam hal peristiwa yang terjadi di Aceh itu, jumlah pegawai yang ada (berjaga) 10 orang dengan rincian 3 orang pegawai negeri sipil dan sisanya calon pegawai negeri sipil. Jumlah tahanan yang ada saat itu adalah 726 orang.
Apakah hanya sumber daya yang menjadi masalah yang dihadapi lembaga pemasyarakatan sekarang? Dalam hal peristiwa yang terjadi di Aceh itu, sumber daya yang sedikit memudahkan gerakan yang dilakukan oleh para narapidana untuk kabur.
Akan tetapi, sebelumnya yang menjadi pemicu kemarahan para narapidana adalah kebijakan pimpinan yang baru dengan lebih membatasi izin untuk keluar para napi. Itulah yang membuat adanya protes beberapa napi dan kemudian memprovokasi tindakan napi lainnya untuk kabur.
Dilihat dari sudut kebijakan pimpinan lapas yang baru, apa yang dilakukan pimpinan tersebut adalah benar. Kebijakan dan inovasi merupakan salah satu ciri dari pimpinan yang baru di setiap lembaga apa pun di dunia ini.
Apalagi misalnya, pimpinan tersebut di-rolling dan ditempatkan di tempat tersebut sebagai pimpinan yang dipilih untuk itu. Dengan demikian, persoalan yang ada di Aceh adalah klasik, yaitu menggugat kebebasan yang membelenggu para narapidana oleh sang narapidana sendiri.
Dari titik ini narapidana tidak mesti harus berbuat demikian. Sebab bagaimanapun, sebagai hukuman mereka memang harus menerima keadaan kebebasannya berkurang. Pertama, itu untuk menerima hukuman sebagai akibat dari kejahatan yang dilakukan.
Kedua, untuk membangkitkan penyadaran diri bahwa mereka itu adalah orang yang telah terbukti melakukan kesalahan. Harapannya, mereka akan sadar dan memperbaiki perilakunya sehingga benar-benar berguna bagi masyarakat ke depan. Mengamuk dan kaburnya para napi di Aceh tersebut merupakan tindakan fatal bagi mereka sendiri dan memang harus mendapatkan tindakan hukum.
Akan tetapi kemudian, yang terlihat dari mengamuk dan kaburnya narapidana tersebut memberikan pesan kepada kita bahwa ada satu kelemahan yang sebelumnya tidak pernah terungkap terhadap penjara-penjara yang ada di Indonesia.
Bahwa para narapidana tersebut mampu kabur dengan cara mendobrak tembok dan pintu dengan barbel, menandakan kualitas tembok dan pintu itu lemah. Jadi, sarana bangunan penjaralah yang memiliki kelemahan di sini.
Harus diakui bahwa kelemahan lain dari penjara di Indonesia adalah bangunan penjara teresebut. Selama ini, yang sering mendapat sorotan adalah jumlah ruangan yang tidak memenuhi syarat, kualitas personal, sampai dengan kualitas makanan.
Kondisi itu cukup berbahaya. Perpaduan antara kelemahan kualitas bangunan dengan kapasitas ruangan yang kurang dan minimal merupakan kelemahan yang mencemaskan karena mudah sekali memancing tahanan untuk kabur.
Sebaliknya, jika kuat, tidak mungkin narapidana ini akan berani untuk mencoba lari. Keinginan lari dari seorang narapidana berbanding lurus dengan persepsi mereka terhadap kondisi fisik dari penjara tersebut. Dan kondisi fisik sangat tergantung dari kualitas bangunan.
Inilah posisi yang menempati perhitungan rasional para narapidana untuk melarikan diri. Tentu juga ada kondisi rasional yang menjadi pertimbangan mereka. Di sini yang menjadi pertimbangan adalah berbagai kemungkinan yang mereka hadapi jika melakukan tindakan melarikan diri tersebut.
Kegagalan pelarian adalah malapetaka. Kegagalan pelarian memberikan arti, jika tidak tewas adalah tambahan hukuman. Tetapi tentu juga apabila berhasil melarikan diri, ada kemungkinan kecil untuk bebas sepenuhnya.
Kemungkinan kecil ini tetap menjadi harapan para narapidana untuk mencoba melarikan diri. Kemungkinan kecil inilah yang sering memberikan suasana geger secara nasional, yang dapat membuat reputasi penjara di Indonesia menjadi merosot.
Dengan demikian, agar geger ini tidak terjadi, maka yang paling baik adalah menjaga kualitas bangunan penjara agar kuat dan memberikan citra yang kekar bagi tahanan yang ada di dalamnya.
Selanjutnya yang harus diperbaiki adalah kondisi dan daya tampung, termasuk daya tampung kamar sel. Jika daya tampung mencukupi, para narapidana dapat ‘’istirahat’’ dengan tenang. Kondisi ini memberikan suasana yang kondusif untuk melakukan perenungan.
Hasil akhir perenungan dalah penyadaran. Bukan tidak mungkin juga narapidana yang mampu memanfaatkan situasi penjara justru dapat menjadi pencerah masyarakat setelah bebas.
Yang menjadi masalah di Indonesia adalah ada cukup banyak penjara yang daya tampungnya tidak memenuhi syarat tetapi dipaksakan untuk diisi narapidana. Harus diakui ini menjadi persoalan serius.
Bagaimanapun penjara harus memerhatikan sisi manusiawi dari narapidana. Bagaimanapun, narapidana adalah manusia juga. Jika sudah berdesakan di kamar, maka bagaimanapun kuatnya kondisi bangunan penjara akan coba dijebol. Ini akan memberikan geger bagi penjara di Indonesia.