DENPASAR, BALIPOST.com – Bali memiliki potensi pengembangan peternakan kambing, karena peluang pasar kambing di Bali cukup menjanjikan. Di sisi lain, pengembangan kambing masih ada kendala non teknis yaitu karakteristik peternak kambing di Bali belum berkembang dengan baik.

“Kondisi Ini berkaitan dengan sosial budaya masyarakat peternak dan minat memelihara kambing masih kurang ,” kata Drh. IKG Nata Kesuma, MMA., Kepala Bidang Pembibitan dan Produksi Ternak, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Provinsi Bali, Kamis (13/12).

Rata-rata pemasukan kambing dari luar Bali mencapai 3.000-3.500 ekor setiap bulan. Belum lagi menjelang Hari Idul Adha, pemasukan meningkat 2 kali lipat sekitar 5.000 ekor.

Hal ini disebabkan persediaan kambing di Bali masih kurang, karena populasi belum banyak. Oleh karena itu pihaknya akan mengembangkan program meningkatkan peternakan kambing terutama kambing potong disamping juga kambing untuk keperluan upacara agama.

Pengembangan peternakan kambing ini akan dilakukan di lokasi sentra pengembangan seperti daerah Pupuan, Tabanan, Jembrana, dan Desa Busungbiu, Singaraja terutama untuk kambing peranakan etawa (PE). Sedangkan kambing lokal akan dikembangkan di Karangasem.

Baca juga:  Percobaan Pemerkosaan, Duda Asal Banyuwangi Ditangkap

Tahun 2019 Bali mendatangkan kambing bibit PE dari daerah Jawa Timur sekitar 1.000 ekor, yang difasilitasi Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan untuk pengembangan peternakan kambing di Busungbiu Buleleng, Kecamatan Tegalalang Gianyar dan Kawasan Bebandem Karangasem. Sementara tahun 2019, ia akan melakukan inventarisasi wilayah yang berpotensi dikembangkan peternakan kambing yang khusus untuk sarana upacara seperti kambing bulu hitam. “Tahun 2019 Pemda Bali fokus mengembangkan peternakan kambing untuk upakara,” imbuhnya.

Untuk pengembangan peternakan kambing, masyarakat perlu didorong. Karena ada beberapa daerah yang belum terbiasa memelihara kambing dengan alasan non teknis.

Padahal potensi daerahnya cukup bagus. Seperti tersedianya HPT (Hijauan Pakan Ternak). Maka dari itu diperlukan penyuluhan pada masyarakat.

Peternakan kambing dikatakan sangat ekonomis dan menguntungkan lantaran modalnya kecil dan penjualannya cepat. Sehingga perputaran modal peternak cepat kembali. Modal membeli bibit kambing antara Rp 1,5 juta – Rp 2 juta.

Baca juga:  Musim Hujan, Petani Hentikan Produksi Garam

Dalam waktu 4 bulan, kambing sudah siap menghasilkan anak kambing untuk dijual. Selain itu biaya pakan hijauannya juga tidak terlalu membutuhkan biaya banyak, seperti daun kaliandra, daun gamal, indigovera, nangka serta dedak sebagai pakan tambahan. “Ini lebih ekonomis karena pakan engga beli,” tandasnya.

Jika dijual, kambing bisa laku Rp 2,5 juta. Tidak hanya penggemukan kambing, pembibitan kambing juga menjanjikan. “Kalau pembibitan dalam waktu 3 – 4 bulan sudah beranak,” tandasnya.

Dibandingkan dengan peternakan sapi yang lebih padat modal, jangka waktu pemeliharaan lama yaitu setahun. Meski peternakan kambing belum berkembang dengan baik, masyarakat peternak Bali sudah mulai beternak secara terintegrasi vertikal.

Integrasi vertikal artinya integrasi yang dilakukan dengan satu komoditas peternakan, dengan jenis ternak yang berbeda. Misalnya peternak memelihara ayam untuk mendapatkan hasil harian berupa telur.

Baca juga:  Enam atlet Paralayang Bali Rebut Tiket PON

Peternak juga memelihara babi/kambing untuk mendapakan hasil bulanan. Terakhir, petani pasti memelihara ternak sapi untuk mendapatkan hasil periode tahunan dengan nilai cukup besar untuk keperluan yang lebih besar.

Sambil menunggu investasi sapi, petani bisa memelihara kambing. Karena dalam waktu 6 bulan, bisa mendapatkan hasil.

Untuk memenuhi kebutuhan bulanan, petani bisa beternai babi, dan untuk mendapatkan hasil harian, petani memelihara ayam buras yang menghasilkan telur. “Sehingga petani bisa hidup setiap hari, setip bulan, dan setiap tahun,” bebernya.

Menurutnya, jika peternak dengan lahan yang terbatas agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, sistem peternakan integrasi vertikal merupakan solusinya. Masyarakat Bali pun dikatakan telah menerapkan peternakan vertikal ini. “Secara umum sistem peternakan masyarakat sudah seperti ini. Kalau petani pelihara sapi , babi, ayam buras. Kebutuhan yang membuat dia berusaha secara harian, bulanan, tahunan,” pungkasnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *