Oleh GPB Suka Arjawa
Beberapa waktu lalu masyarakat Bali menyelenggarakan upacara nangluk merana. Ini merupakan ritual tradisional masyarakat Hindu Bali. Beberapa desa pakraman menyelnggarakan ritual itu.
Termasuk juga desa pakraman yang ada di kota. Ritual ini di masa lalu lebih akrab dilakukan di sawah karena lebih ditujukan untuk memberantas hama yang mengganggu kehidupan padi. Akan tetapi kiranya sekarang, di zaman modern ini ritual nangluk merana juga dilakukan di rumah-rumah dan di jalan raya (perempatan jalan).
Kiranya ada pergeseran atau malah perluasan terhadap makna nangluk merana tersebut. Beberapa ruas jalan umum, menjadi macet dan membuat kegiata sosial malah terganggu. Karena peralatan upacara dipersiapkan pagi hari, dan itu merupakan hari kerja, banyak pengguna jalan yang terhambat menuju kantor.
Padahal saat ini absen yang berlaku adalah absen elektronik yang tidak bisa ditipu lagi. Di sisi lain, karena upacara ini diselenggarakan oleh dan di desa pekraman, maka di beberapa tempat ada kewajiban bagi warga untuk hadir. Padahal hari penyelenggaraan itu merupakan hari kerja.
Lalu, bagaimana kita harus menyikapi ritual tradisional ini agar tidak terlalu berbenturan dengan realitas sosial kekinian, dan apalagi generasi baru yang sering disebut generasi milenial tersebut. Nangluk merana merupakan seremonial tradisional, yang dari sisi namanya ada dan dipraktikkan di Bali.
Arti sederhana yang tersirat adalah memberantas penyakit (menaklukkan merana — bahasa Bali dan Indonesia). Akan tetapi pada budaya-budaya lain praktik ritual tradisional yang berorientasi menolak bala juga ada.
Dari sisi makna, ritual itu adalah upaya menyeimbangkan kehidupan sosial, tidak terganggunya komponen sosial lain dari ancaman penyakit atau gangguan apa pun. Dari titik tersebut, upacara nangluk merana memang tidak seharusnya hanya dilakukan di sawah saja tetapi ladang, sungai, pekarangan rumah dan sebagainya. Semuanya berpotensi tergaggu oleh penyakit, baik penyakit biologis maupun penyakit sosial.
Akan tetapi, pemaknaan kata ‘’merana’’ oleh masyarakat Bali tradisional, lebih tertuju kepada penyakit pada tumbuh-tumbuhan. Karena itu ritual ini lebih tertuju pada upacara yang diselenggarakan di sawah dan kebun. Bahwa ritual tersebut banyak dilakukan di sawah di masa lalu, membuktikan bahwa Bali dikenal sebagai pulau sawah dan padi, sekaligus memperlihatkan sawah dan padi merupakan wilayah utama orientasi kehidupan masyarakat Bali. Bertani sawah merupakan mata pencaharian masyarakat Bali di masa lalu.
Ritual nangluk merana juga memberikan pesan lain kepada kita. Salah satu peristiwa penting di masa lalu yang mempunyai tujuan untuk mengusir hama di sawah adalah diundangnya raja atau keturunan raja ke daerah pertanian (sawah) apabila keseimbangan dirasa terganggu. Ketergangguan itu misalnya disebabkan oleh merajalelanya hama tikus. Kiranya ini juga dapat digolongkan sebagai nangluk merana.
Ritual ini mempunyai penampilan massal. Pusat dari massal itu adalah raja atau keturunannya. Masyarakat akan tumpah ruah di sekitar raja tersebut. Raja dipandang sebagai ahli yang mampu menghilangkan merana. Boleh dikatakan inti dari keahlian raja adalah doa dan segala sarana yang menyertai ritual itu, juga sebagai pendukung dan pelengkap doa tersebut. Rakyat yang ada di sekitar raja (yang jumlahnya menyemut) siap untuk menyambut raja dan mengantarkannya utuk menyebar keahliannya itu menuju wilayah merana.
Ada juga persona karismatis raja sebagai inti keahlian tersebut. Untuk menyebar hal itu, rakyat akan mengusung raja. Karena di masa lalu pertanian yang menjadi sumber dari daya sosial itu, maka raja diusung ke sawah. Sentuhan ahli dan personifikasi kekuatan karismatis itu diwujudkan bukan sekadar dengan doa tetapi juga sentuhan langsung, seperti menggoyangkan tanaman padi atau mencuci anggota badan raja di sawah.
Harus diakui ini juga merupakan metode untuk menambah keyakinan diri masyarakat petani untuk bercocok tanam dan menumbuhkan energi positif untuk menambah semangat bercocok tanam. Energi tersebut berguna untuk meningkatkan produksi padi.
Secara jujur harus diakui fenomena tentang nangluk merana yang disebutkan di atas merupakan fakta sosial tradisionalitas, yang mungkin telah tidak sesuai dengan fenomena sekarang di zaman milenial ini. Akan tetapi dalam konteks sosiologis, justru fakta sosial tersebut mempunyai manfaat besar.
Ritual, dalam konteks kekinian dapat dikatakan sebagai sebuah pengingat, bahan penyadaran bagi generasi baru dan generasi terbaru. Manfaat terbesar dari ritual pada konteks modernisasi adalah pengingatan dan penyadaran tersebut. Karena itu, sebuah ritual jangan hanya diselenggarakan dan diwujudkan saja, apalagi secara ngawur dan besar-besaran. Ritual itu harus dipelajari, dipikirkan, disimak, dan direnungkan. Dari situlah kemudian dicari makna dan artinya.
Dari sini akan muncul penyadaran untuk selanjutnya menginspirasi membuat terobosan. Kita melihat ritual tradisional itu sebagai sumber daya yang mengaktifkan. Ritual tradisional yang hanya ditampilkan belaka, apalagi dengan gengsi-gensian tanpa makna adalah sebuah pemborosan segala macam.
Dengan demikian, ada berbagai penafsiran yang dapat dimanfaatkan sampai bergenerasi terhadap upacara nangluk merana di masa lalu. Upacara tersebut tidak lain adalah sebuah kesadaran dan penyadaran kelemahan manusia terhadap alam. Merana (merane) yang merajalela di sawah adalah kuasa alam.
Karena itu, upaya untuk menjaga keseimbangannya adalah memberikan tanggung jawab kepada sang pemimpin, yang tidak lain adalah raja untuk mengembalikan keseimbangan itu. Kesadaran kelemahan tersebut bersifat massal, yaitu dari masyarakat petani. Raja, dalam pemahaman sosial-tradisional adalah representasi alam, bahkan representasi Tuhan. Dengan demikian, rajalah yang diserahi tanggung jawab untuk mengobati alam dengan berbagai merana tersebut.
Perwujudannya di masa lalu adalah mengusung raja dengan diiringi oleh rakyat menuju tempat dim ana merana (hama itu) ada, entah di sawah atau kebun. Dan doa-doa yang dipanjatkan raja dipandang dan dipercaya mampu mengusir merana hama sehingga keseimbangan alam kembali normal. Core-nya adalah raja dengan doa dan mantra, sedanagkan pheriferal-nya adalah rakyat.
Fenomena demikian memberikan penafsiran berbeda tetapi makna yang sama untuk generasi sekarang. Di zaman perkembangan ilmu pengetahuan dan demokrasi, raja tidak dipandang sebagai perwakilan Tuhan atau alam di bumi, tetapi itu berpindah ‘’secara demokratis dan humanis’’ kepada umat manusia dengan kemampuan berpikirnya.
Jadi, ilmu pengetahuan, akal, teknologi dan perkembangan budayalah yang akan mengembalikan harmonisasi alam. Dengan demikian, doa dan mantra dari raja di masa lalu, akan digantikan oleh ilmu pengetahuan untuk menghilangkan merana. Secara ‘’demokratis’’ juga mantra-mantra tersebut dapat dikuasai, didebat dan dikembangkan oleh rakyat. Raja bisa jadi hanya simbol atau ditransfer menjadi bupati, camat, bendesa atau gubernur dan presiden.
Maka untuk nangluk merana di zaman sekarang, yang dijemput atau diundang adalah mereka yang menguasai ilmu pengetahuan atau keterampilan untuk menghilangkan merana yang ada. Itu digenggam oleh para ahli yang ada di berbagai kantor, perguruan tiggi atau lembaga penelitian. Merekalah pemilik mantra-mantra. Mereka adalah ahli pertanian, ahli penanggulangan banjir, dokter ahli, ahli penanganan konflik dan sebagainya. Masyarakat tetap hadir, juga menyemut.
Tetapi kehadiran mereka di gedung untuk mendengar transfer pengetahuan dan keterampilan dari ahli. Di sinilah ada penyerapan mantra, dan bahkan dapat mendebat atau menyumbangkan mantra berdasarkan pengalaman diri. Ini merupakan perbedaan mantra masa lalu yang boleh dikatakan dimonopoli raja. Mantra zaman sekarang, ditransfer dan memperkaya diri. Kini masyarakatlah yang menjadi agen langsung untuk menaklukkan merana yang ada.
Bagaimana dengan ritual? Ritual tetap perlu sebagai pengingat kuasa alam terhadap manusia. Tetapi tidak perlu dibesar-besarkan. Ia harus disederhanakan. Biaya dapat dialihkan untuk mengundang para ahli agar masyarakat cerdas dan mampu bertindak mandiri.
Penulis, staf pengajar Sosiologi, FISIP Universitas Udayana. Banyak melakukan penafsiran ulang dan penyederhanaan terhadap seremonial Bali