Kearifan lokal nampaknya menjadi bagian yang memberikan sumbangan inspirasi pengetahuan kepada masyarakat modern. Beberapa waktu lalu terdengar kabar apabila negara tetangga bersedia membayar mahal naskah-naskah tradisional yang ada di wilayah Pulau Sumatera.
Catatan yang pernah terdengar adalah bahwa di dalam naskah tradisional tersebut tersimpan berbagai kekayaan intelektual yang mampu memberikan inspirasi kepada ilmuwan untuk membuat terobosan dalam bidang ilmu pengetahuan maupun industri. Karena itulah kemudian banyak yang bersedia memberi naskah-naskah tradisional tersebut.
Cerita-cerita masa lalu, tulisan sansekerta, juga pertunjukan drama, akan memungkinkan bagi masyarakat untuk membuat terobosan baru. Cerita tentang manusia yang mampu menangkap petir misalnya, dapat memberi inspirasi kepada ilmuwan untuk menangkap petir sungguhan dan menyimpan energi yang melimpah dari petir tersebut untuk disimpan dan kemudian dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. Tentu saja hal ini berguna bagi masyarakat luas.
Kita di Bali sesungguhnya mempunyai banyak kearifan lokal, baik dalam bentuk naskah, cerita, maupun ritual yang sampai sekarang masih hidup. Akan tetapi masih banyak yang belum dimanfaatkan secara baik, bahkan tidak ada yang berani menjamah.
Beberapa waktu lalu malah ada ungkapan bahwa penyakit AIDS mungkin saja ada obatnya, tetapi masih tersimpan dalam lontar-lontar usadha Bali. Mungkin saja itu terjadi, tetapi sekali lagi masih belum dapat diterjemahkan secara baik, dan karena itu belum mampu memberikan inspirasi kepada ilmuwan untuk mengembangkannya.
Kearifan lokal yang dimiliki Bali boleh dikatakan sebagai sumber daya yang masih tersimpan yang belum dimanfaatkan secara baik. Maka ke depan, menjadi tugas kita untuk mencoba mencari pengetahuan dari kearifan lokal ini dengan mencoba menerjemahkan lontar-lontar yang ada dan kemudian menafsirkan dari kekayaan yang tersimpan itu.
Kita mengatakan kearifan ini sebagai sumber daya karena ia mampu menggerakkan, bahkan mensejahterakan bagi umat manusia. Pekerjaan kita sekarang ada mencoba secara arif untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan pendapat di masa lalu. Misalnya dengan mengatakan bahwa tulisan-tulisan tersebut sakral sehingga tidak boleh dibaca, dan apalagi diterjemahkan.
Ini boleh dikatakan sebagai pendapat yang keliru, dan perlu mendapat pelurusan. Bukan tidak mungkin leluhur kita menyediakan demikian banyak cerita atau naskah, dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan kepada generasi keturunannya. Tujuannya adalah untuk maju dan mampu menghadapi tantangan zaman. Jadi penerjemahan dan penafsiran itu layaknya sangat diperlukan.
Kita di Bali juga mempunyai demikian banyak ritual yang seharusnya dapat memberikan pengayaan kepada kita semua, baik dalam bentuk pemaknaan maupun etika yang dapat dipakai oleh generasi baru. Ritual merupakan keseharian bagi masyarakat Bali, dan dari situ seharusnya kita dapat belajar banyak tentang kehidupan sosial, termasuk juga tentang perubahan sosial.
Sayang sekali ritual itu dibiarkan begitu saja terselenggara tanpa dicari makna yang sesungguhnya. Katakanlah ritual solsolan (yeng menggunakan bebek) saat tiga bulan, mempunyai makna yang luar biasa tinggi.
Jika ditafsirkan, ritual ini memunyai makna sebagai sebuah pesan kepada sang balita agar di masa depan nanti mampu bekerja maksimal, mencari nafkah dan pengupa jiwa di mana saja di muka bumi ini, tetapi dengan cara-cara yang bersih. Bebek ketika mencari makanan akan menenggelamkan leher dan kepalanya, tetapi makanan yang didapatkan adalah makanan yang bersih. Inilah pesan positif dari ritul tersebut.
Akan tetapi, dalam ritual yang kita lihat, bebek itu hanya diayunkan saja kepada sang balita. Padahal jika diucapkan dengan kata-kata akan banyak yang mengerti dan menjadi pesan sosial kepada masyarakat agar tidak korupsi. Kearifan lokal Bali memang banyak yang bermakna tinggi hanya kita masih tidak terlalu menggali secara mendalam. Mari kita gali makna tersebut demi kemanfaatan bersama.