Pencananganan penggunaan aksara Bali di papan nama Bandara Ngurah Rai. (BP/dok)

Oleh Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Bahasa adalah alat komunikasi. Tanpa bahasa manusia tidak akan bisa berinteraksi antara yang satu dengan yang lain. Sejak lahir manusia belajar berkomunikasi, mulai dari bahasa ibu (mother tongue) sampai dengan bahasa-bahasa lainnya yang dipelajari selanjutnya.

Semakin banyak dan semakin luas jangkauan pergaulan, maka penguasaan berbagai bahasa semakin diperlukan. Terlebih dalam era globalisasi, pergaulan sudah semakin mendunia, sehingga penguasaan bahasa internasional semakin diperlukan. Oleh karena itu, kompetensi multibahasa (multingual) merupakan persyaratan survival di zaman ini.

Sebagai warga negara Indonesia, bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku dan budaya memiliki ratusan bahasa daerah. Perbedaan bahasa menyebabkan kesulitan berkomunikasi. Itu sebabnya bangsa Indonesia sangat memahami perlu adanya satu bahasa yang mempersatukan mereka, yaitu bahasa Indonesia yang ditegaskan dalam Sumpah Pemuda, yaitu berbahasa satu bahasa Indonesia.

Sejak saat itu, bahasa Indonesia menjadi bukan hanya pemersatu bangsa tetapi juga digunakan sebagai bahasa nasional yang kemudian menjadi medium pendidikan di Indonesia. Dalam artian bahasa Indonesia memegang peran sentral sebagai bahasa yang digunakan dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik.

Di samping berfungsi utama sebagai medium pembelajaran di lembaga formal sekolah, bahasa Indonesia juga digunakan di lembaga-lembaga formal lainnya, seperti kantor-kantor pemerintah dan lembaga swasta sebagai alat komunikasi lisan maupun tulisan. Dengan peran sentral bahasa Indonesia di lingkup pendidikan formal, maka peran bahasa daerah menjadi tergeser, yang mana di sekolah dipelajari sebagai muatan lokal.

Meski demikian, secara informal keberadaan bahasa daerah tentu masih ada dan digunakan oleh penuturnya. Bahasa Bali, misalnya, masih tetap digunakan dalam komunikasi informal di antara orang Bali atau dalam acara-acara adat. Meski demikian, seiring dengan kemajuan dan modernisasi justru banyak keluarga Bali yang lebih memilih penggunaan Bahasa Indonesia di tataran keluarga, sehingga anak-anak yang dibiasakan dengan bahasa Indonesia menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu (mother tongue), bukan bahasa Bali.

Baca juga:  Melindungi Anak-anak Malang

Ketika hal ini terjadi maka Bahasa Bali akan menjadi bahasa kedua (second language) atau bahkan bahasa ketiga atau bahasa tambahan (third or additional language), bila kemudian bahasa Inggris lebih awal diperkenalkan setelah bahasa Indonesia.

Fenomena-fenomena seperti itu memang ada di masyarakat, sehingga tampaknya Peraturan Gubernur (Pergub) Bali No. 80 Tahun 2018 muncul sebagai isyarat bahwa bahasa Bali bisa punah bila tidak digunakan oleh penuturnya sendiri. Perlindungan terhadap bahasa Bali memang sebuah keniscayaan. Pemberlakuan pergub tersebut adalah sebuah gebrakan baru oleh pemerintah daerah provinsi sebagai upaya melestarikan bahasa Bali.

Sesungguhnya melestarikan sebuah bahasa tidaklah sulit, apabila semua penuturnya yaitu masyarakat Bali sendiri mengupayakan dan memperjuangkan melalui penggunaannya pada setap komunikasi keseharian, bukan hanya pada hari tertentu saja.

Pergub tersebut dikeluarkan bukan tanpa alasan. Upaya pelestarian diadakan karena adanya indikasi bahwa pemakai bahasa daerah utamanya bahasa Bali sudah semakin menurun di kalangan generasi muda. Terlebih di era digitalisasi berbagai aplikasi, informasi, dan permainan banyak diakses oleh kalangan generasi muda, tentu dengan pemanfaatan bahasa yang notabene bukan bahasa daerah.

Fenomena ini akan semakin membuat bahasa Bali tidak banyak digunakan oleh kalangan muda ini. Pelajaran bahasa Bali bahkan ditengarai jauh lebih sulit daripada bahasa Inggris. Mengapa demikian? Ini harus menjadi pemikiran bagi semua pendidik yang mengajarkan bahasa Bali. Mengapa peserta didik baik anak-anak dan dewasa lebih menyenangi pelajaran bahasa Inggris daripada bahasa Bali tentu ada alasan-alasan yang mesti ditemukan melalui riset-riset.

Baca juga:  Mengajegkan Peradaban Adat dan Budaya Bali

Pada pergub tersebut, khususnya pasal 4 menegaskan bahwa bahasa Bali digunakan sebagai sarana untuk berkomunikasi oleh pegawai, guru, tenaga kependidikan, peserta didik dan masyarakat di lingkungan lembaga pemerintahan dan lembaga swasta pada hari Kamis, Purnama, Tilem, dan Hari Jadi Provinsi pada tanggal 14 Agustus. Pergub tersebut menekankan bahwa bahasa Bali hendaknya digunakan di lingkungan formal, baik itu di lingkungan pemerintahan dan pendidikan sebagai upaya meningkatkan frekuensi penggunaannya dalam berkomunikasi.

Dengan mengusahakan penggunaannya sebagai alat komunikasi pada tataran formal dan juga di lingkungan informal, keseharian bahasa Bali dapat dijaga dan dilestarikan. Untuk mengetahui keberhasilan realisasi pergub tersebut, pemerintah hendaknya melakukan observasi secara reguler ke berbagai lembaga pemerintahan ataupun lembaga pendidikan. Misalnya setiap bulan melakukan sidak ke suatu tempat untuk membuktikan, apakah memang benar bahasa Bali sudah digunakan di lembaga-lembaga tersebut.

Dengan cara demikian, keberadaan pergub tersebut dapat dipantau apakah sudah direalisasikan atau belum. Jadi aturan dibuat bukan hanya sekadar diadakan, tetapi dilaksanakan untuk tujuan yang mulia.

Selain pemanfaatannya secara berkesinambungan, baik di masyarakat dan di lembaga formal sebagai alat komunikasi, guru bahasa Bali memiliki tugas berat dan menantang agar mengusahakan penggunaan metode, strategi pembelajaran, dan media yang inovatif dalam mengajarkan bahasa Bali.

Baca juga:  Pemuda sebagai Agen Promosi Budaya Bali

Dalam era digitalisasi, sudah sepatutnya para guru mengusahakan penggunaan teknologi dalam mengajarkan bahasa Bali. Hal ini juga sudah menjadi regulasi pemerintah bahwa dalam era K-13, pembelajaran hendaknya dikemas berbasis TIK. Dengan cara demikian, pembelajaran Bahasa Bali akan lebih diterima oleh peserta didik karena disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Bahasa asing khususnya bahasa Inggris memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam kehidupan di Bali, karena Bali menjadi ikon pariwisata Indonesia. Banyak wisatawan dari berbagai negara datang dan berkunjung ke Bali, sehingga menjadikan bahasa Inggris sebagai lingua franca untuk komunikasi internasional. Keberadaan bahasa Inggris dan juga bahasa-bahasa asing lainnya juga menjadi sangat penting bukan hanya sebagai alat komunikasi internasional, tetapi juga dalam sektor pariwisata yang menjadi sumber pendapatan utama penduduk Bali.

Itu sebabnya bahasa-bahasa asing tersebut juga memiliki kedudukan penting di dalam kehidupan orang Bali. Satu hal yang perlu menjadi perhatian masyarakat Bali adalah betapapun pentingnya keberadaan bahasa-bahasa asing ini hendaknya kita tidak mengesampingkan peran bahasa Bali, karena bahasa Bali adalah keikhlasan yang merupakan warisan budaya yang patut kita jaga kelestariannya bersama-sama.

Oleh karena itu, bahasa asing hendaknya dijadikan pelengkap yang memperkaya khasanah kehidupan masyarakat Bali. Bahasa Indonesia di lain pihak merupakan bahasa identitas suatu bangsa, maka sudah selayaknya sebagai warga negara yang baik kita menjaga dan melestarikan pemanfaatannya. Dengan demikian, kompetensi lingual merupakan kemampuan penguasaan beberapa bahasa yang perlu diseimbangkan penggunaannya masing-masing sesuai konteks.

Penulis, Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha.

BAGIKAN

1 KOMENTAR

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *