GIANYAR, BALIPOST.com – Meredam berbagai bencana alam yang selama ini terjadi, yayasan dharma padesa menggelar upacara Homa Yadnya di halaman Yayasan Taman Prekerti Bhuana, Kelurahan Beng pada 22 Desember mendatang.
Upacara yang juga disebut Pamarisudha Jagat Kali Sanghara ini akan dipuput oleh 40 sulinggih. Diketahui sesuai sastra upacara Homa Yadnya ini, terkahir kali digelar pada 675 tahun yang lalu di Pura Besakih.
Ida Pedanda Rai Gunung Ketewel selaku Yajamana Karya Homa Yadnya menerangkan bahwa upacara homa yadnya digelar berdasarkan lontar Catur Yuga, Pustaka Niti Sastra, Pustaka Roga Sanghara Bumi, dan Lontar Homa Traya Wisesa. “Upacara tersebut pernah dilakukan 675 tahun silam di Pura Besakih,” jelasnya didampingi pengelola Yayasan Taman Prakerti Bhuana Beng Gianyar, Ida Bagus Putu Adi Supartha ditemui Rabu (19/12).
Pelaksanaan upacara Homa Yadnya ini dilatarbelakangi tingginya bencana alam tanah longsor, gunung meletus, gempa bumi dan bencana lain yang menerjang Indonesia, khususnya Bali dalam beberapa waktu terkahir. Prosesi upacara akan dihadiri ratusan sulinggih se Nusantara, serta ribuan umat. Selanjutnya ritual besar ini akan dipuput 40 Sulinggih
Sulinggih asal Griya Bakbakan ini menjelaskan, bahwa Homa Yadnya ini berbeda dengan Agni hotra yang selama ini dikenal oleh masyarakat.
Dikatakan, upacara Homa Yadnya ini sama dengan Agni Surya Kanta, Agni Homa, Homa Tirta, dan Agni Sala. “Upacara ini digelar setiap kali ada kondisi dunia mulai ditimpa bencana, semisal gempa dan gunung meletus,” jelasnya.
Tahapan upacara ini pun sudah melalui beberapa kali paruman agung melibatkan Sulinggih se Nusantara. Mengenai pemilihan tempat di Taman Prakerti Bhuana Beng, memang menghindari pelaksanaan upacara di tempat umum. Terlebih, petunjuk pelaksanaan upacara ini diterima langsung oleh pengelola yayasan, Ida Bagus Putu Adhi Suparta secara sadar dalam meditasinya.
Meski demikian, pelaksanaan upacara ini tetap berpedoman pada sastra tertulis. “Di Bali pernah dilaksanakan upacara ini pada abad ke 14, sekitar tahun 1343 saka atau sekitar 675 tahun silam di Pura Besakih semasa pemerintahan Dalem Waturenggong,” jelas Ida Pedanda Gede Rai Gunung Ketewel.
Tujuan digelarnya upacara, tiada lain untuk mendoakan alam semesta dengan segala isinya kembali pada posisinya.
Dijabarkan dalam prosesinya, dibagi menjadi 3 tahapan yakni festival, seremonial dan spiritual. “Akan ada tari-tarian Rejang dan Baris Gede, serta Topeng. Dilanjutkan dengan dharmawacana dan sambutan. Kemudian di sore hari mulai pukul 16.00 WITA digelar upacara spiritual,” jelasnya.
Kemudian pada prosesi spiritual ini dilaksanakan berupa menghidupkan api di dalam jambangan tembaga yang disebut Kunda Agni berdiameter 99,9 cm. Setelah api menyala, dilanjutkan dengan menaburkan biji-bijian.
“Persis seperti dalam kitab Ramayana. Ada taburan Wreksa (kayu bakar) 11 macam, minyak kelapa 9 macam, madu parka (susu lembu), dan krensa tile (merica hitam) seberat 9 kg,” ujarnya. (manik astajaya/balipost)