Oleh Agung Kresna
Utak-atik KDB, “undang” bencana baru. Headline Bali Post (15/12) ini menyiratkan perlunya kehati-hatian dalam melakukan revisi Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang ada dalam Perda No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali.
Khususnya KDB di Kawasan Daya Tarik Wisata Khusus (KDTWK) maupun Kawasan Strategis Pariwisata Daerah (KSPD). Hal ini mengingat bahwa perubahan KDB pada suatu kawasan, adalah berarti terjadinya alih fungsi lahan dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi ruang terbangun.
Usulan perubahan KDB di KDTWK dari 10 persen menjadi 40 persen dan KDB di KSPD dari 40 persen menjadi 50 persen, memang perlu ditanggapi dengan penuh kehati-hatian. Atau bahkan perlu dilakukan kajian secara mendalam terlebih dahulu oleh para pakar di bidangnya.
Hal ini mengingat bahwa jika usulan perubahan KDB tersebut disetujui maka secara otomatis itu berarti bahwa para pemangku kebijakan menyetujui akan terjadinya alih fungsi lahan sebesar 30 persen di KDTWK dan 10 persen di KSPD, dalam waktu singkat. Jika kita mencermati data yang ada tentang alih fungsi lahan yang terjadi di Bali, angkanya makin masif dan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Alih fungsi lahan ini utamanya terjadi pada lahan pertanian (yang berarti adalah ruang terbuka hijau) yang beralih fungsi menjadi area permukiman/hunian atau akomodasi pariwisata (yang notabene adalah ruang terbangun).
Data alih fungsi lahan yang terjadi di Bali pada tahun 2015 adalah 496 hektar, sementara pada tahun 2016 meningkat menjadi 625 hektar. Pada tahun 2017 angka alih fungsi lahan pertanian menjadi area terbangun/hunian telah mencapai 900 hektar per tahun. Kenaikan angka alih fungsi lahan telah mencapai angka 100 persen dalam dua tahun terakhir. Bukan angka peningkatan yang kecil jika dilihat dari kacamata semakin berkurangnya ruang terbuka hijau di Bali, yang berarti berkurangnya wilayah resapan air ke dalam tanah.
Memang jika menilik bahwa kemungkinan terjadinya alih fungsi lahan yang kita sepakati bersama itu secara per titik lokasi KDTWK maupun KSPD, secara total luasan yang berubah dari RTH menjadi kawasan ruang terbangun mungkin tidak terlalu besar. Namun secara persentase, angka perubahan terjadinya alih fungsi lahan cukup signifikan.
Tidak bisa kita mungkiri bahwa keterbatasan lahan di Bali – utamanya kawasan Bali Selatan – dalam mengimbangi laju pertumbuhan ekonomi yang ada, telah memicu mahalnya harga tanah yang semakin tidak terkendali di Bali. Hal ini terutama akibat ekspansi para investor dari luar Bali yang melihat prospek potensi ekonomi pariwisata Bali pada masa depan. Sehingga pada gilirannya, area pertanian yang notabene wilayah ruang terbuka hijau dirambah menjadi area terbangun/hunian.
Masa Depan Bali
Angka KDB yang diizinkan pada suatu kawasan pada hakikatnya adalah mencerminkan kapasitas daya dukung lingkungan yang dimiliki suatu kawasan. Angka KDB ini biasanya didampingi dengan angka KLB (Koefisien Luas Bangunan/Floor Area Ratio) yang secara tidak langsung menggambarkan ketinggian bangunan yang diizinkan pada suatu kawasan. Angka KDB dan KLB digunakan sebagai pengendali pembangunan lingkungan buatan pada suatu kawasan agar tetap sesuai dengan kapasitas daya dukung lingkungan yang dimiliki kawasan tersebut.
Revisi Perda RTRWP Bali secara tidak langsung menunjukkan adanya kegamangan dalam mengimplementasikan RTRWP tersebut. Perda RTRWP ini sebenarnya sudah dianggap sangat ramah dari sisi lingkungan, serta melindungi Bali dari kehancuran.
Realitasnya memang penegakan Perda tentang RTRWP Bali tersebut dinilai belum maksimal. Bahkan, bisa dikatakan hampir tidak berjalan secara optimal sejak perda diterbitkan. Namun bila revisi benar-benar berlanjut tanpa kajian yang mendalam, maka alam dan budaya Bali akan menjadi pertaruhannya.
Penetapan KDB dan KLB yang sejatinya juga merupakan upaya pengendalian alih fungsi lahan seyogianya dilakukan dengan memerhatikan hal-hal sebagai berikut. Pertama, harus ada kesamaan pemahaman dan cara pandang atas masa depan Bali.
Berbagai perencanaan pengembangan Bali sudah selayaknya harus tetap berpijak pada filosofi Tri Hita Karana, dengan pemahaman yang benar dan mendalam. Keberadaan filosofi Tri Hita Karana (yang salah satunya mengutamakan keseimbangan antara alam dan manusianya) sebagai pedoman hidup segenap krama Bali, seharusnya sudah cukup sebagai pegangan keseharian dalam tatanan sosial-ekonomi masyarakat.
Kedua, konsistensi dalam implementasi atas berbagai peraturan dan perizinan yang telah disepakati bersama oleh para pemangku kepentingan. Utamanya melalui mekanisme Izin Mendirikan Bangunan (IMB), karena IMB menjadi muara atas segala peraturan perizinan yang ada.
Segala jenis perizinan pembangunan selalu menjadi berkas lampiran dalam suatu IMB. Jika peraturan dan perizinan dapat dilaksanakan secara konsekuen, niscaya pengendalian alih fungsi lahan akan dapat dilakukan dengan maksimal.
Ketiga, perlu dipertimbangkan sektor pertanian/pangan sebagai diversifikasi ekonomi Bali di luar bidang pariwisata. Hal ini perlu mulai dipikirkan sebagai antisipasi atas rawannya bidang pariwisata jika terjadi bencana alam, sekaligus merupakan upaya melestarikan lahan pertanian sebagai cara mencegah terjadinya alih fungsi lahan. Hal ini juga dengan pertimbangan bahwa pertanian adalah sumber ekonomi tradisional krama Bali.
Tiga hal tersebut harus dilaksanakan dalam konsep yang jelas dan kita sepakati bersama. Niscaya hal itu akan memudahkan implementasi rencana-rencana masa depan Bali secara terprogram, komprehensif, konsisten, dan berkesinambungan; dengan tetap mengindahkan sejarah panjang Bali beserta segala filosofi yang hidup di tengah masyarakatnya.
Sejarah panjang adat-budaya-religi masyarakat Bali beserta dinamika sosial, ekonomi dan budaya yang sudah ada serta tumbuh selama ini di seluruh pelosok Bali, harus menjadi perhatian utama dalam membawa Bali ke masa depan yang lebih baik. Pembangunan Bali harus lebih berwawasan kebudayaan (culturally driven); mengingat dominannya jejak adat-budaya-religi yang ada.
Penulis, arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies, tinggal di Denpasar