PS Badung
Tim sepak bola Badung saat melakukan sesi pertandingan. (BP/dok)

Oleh I Nyoman Sulingga

Juara Liga Indonesia sudah jelas kini. Persija Jakarta berhasil menjadi juara dengan keunggulan tipis atas PSM Makassar. Di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Persija menang 2-1 atas lawannya, Mitra Kukar.

Akan tetapi, keberhasilan Persija menjadi juara ini diiringi dengan berbagai pernyataan sinis dengan adanya pengaturan skor. Ada orang yang mengatakan bahwa Persija memang di-setting untuk menjadi juara tahun ini. Bahkan, juga dikatakan pada kompetisi tahun depan, yang akan menjadi juara sudah ditentukan. Bayangkan, kompetisi belum mulai juara malah sudah dapat ditentukan. Inilah hebatnya masyarakat  Indonesia, mengetahui masa depan tanpa dapat belajar dari masa lalu.

Kecurigaan terhadap adanya suap di jagat sepak bola Indonesia itu konon dirasakan setelah adanya kejanggalan pada beberapa pertandingan terakhir. Di antaranya kekalahan beruntun Bali United atas lawan-lawannya. Gejala apa ini dalam masyarakat Indonesia?

Jika suap itu benar adanya, maka dapat dikatakan bahwa ada beberapa hal yang menjangkiti masyarakaf Indonesia. Yang pertama adalah tidak dapat memperbaiki diri dengan memanfaatkan masa lalu. Kedua, mempunyai jiwa ngemplang, ngompas, malas berusaha. Ketiga, tidak mempunyai dorongan untuk memperbaki kondisi negara.

Suap dalam jagat sepak bola Indonesia bukan merupakan sesuatu yang baru. Dekade tujuh puluhan, ketika nama-nama  besar masih bercokol di sepak bola seperti Rony Paslah, Oyong Liza, Iswadi Idris, isu suap itu telah muncul.

Ketersisihan kesebelasan nasional Indonesia di Pra-Piala Dunia 1977 di Singapura pada waktu itu, sering dikait-kaitkan dengan kasus suap. Ini berlanjut pada era dekade delapan puluhan di masa Elly Idris dan Robby Maruanaya. Tindak untuk menghukum pemain sudah dilakukan. Ketika era galatama bergulir, juga dekade delapan puluhan, kompetisi sepak bola di Indonesia hancur lebur karena skor pertandingan bisa diatur.

Baca juga:  Bela Timnas, Berharap Nadeo Tidak Cedera

Hancurnya sepak bola Indonesia dekade tujuh puluhan memberikan inspirasi untuk membuat sistem baru dalam kompetisi Indonesia, yaitu liga sepak bola utama (galatama). Dengan tujuan memperbaiki kualitas tim sepak bola Indonesia, tetapi metode ini juga tidak berhasil memperbaiki kualitas tim Indonesia. Suap masih muncul dan sepak bola Indonesia masih tidak beranjak prestasinya.

Untuk memperbaiki hal itu, dimunculkan kompetisi baru dengan Liga Indonesia yang menggabungkan perserikatan dengan Galatama dan mengizinkan pemain-pemain asing untuk berlaga di Indonesia. Ini pun tidak berhasil meningkatkan prestasi. Malah ada pengaturan skor, dan membunuh diri sendiri dengan memasukkan gol ke gawang sendiri. Dan kini, setelah Persija berhasil menjadi juara, tetap muncul lagi isu suap. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa kita di Indonesia tidak mampu belajar dari masa lalu untuk memperbaik kualitas diri kita, khususnya sepak bola Indonesia.

Suap mempunyai tujuan untuk memengaruhi sikap lawan. Dalam sepak bola, tujuan itu lebih banyak melemahkan seperti bermain seri atau mengalah. Tujuannya adalah agar pertandingan tersebut dapat ditafsirkan hasil akhirnya. Jika hasil akhir ini telah dapat diduga, maka secara mudah akan dapat dipakai toh-tohan yang tidak lain adalah judi.

Dengan judi yang sudah dapat diketahui hasilnya (karena suap), maka untuk “memasarkan” judi tersebut menjadi lebih gampang, lebih leluasa, dan lebih laris. Dengan menyebutkan “kode” atau gambar tertentu, maka pemasaran judi tersebut kepada masyarakat akan menjadi lebih gampang. Keuntungan pun menjadi gampang diraih.

Sifat seperti ini adalah gaya ngompas orang-orang kita untuk mencari kekayaan. Lebih mudah untuk mendapat uang tanpa harus bekerja keras, mendapatkan uang secara gampangan. Gaya seperti ini sesungguhnya boleh dikatakan banyak terjadi di Indonesia.

Baca juga:  Putra Perkanthi ke Final

Tidak hanya sepak bola yang dijadikan alat untuk ngompas kekayaan melalui judi tetapi korupsi dengan berbagai modusnya, juga merupakan cara ngompas untuk menjadi kaya. Menjual buah-buahan dengan menyemprot yang mentah merupakan jalan pintas agar cepat masak (tentu saja ini berbahaya bagi kesehatan), menjual daging ayam tiren jelas merugikan kesehatan.

Demikian juga contoh-contoh lain yang banyak termasuk juga jual gorengan dengan minyak yang sudah berwarna hitam. Cara-cara ngompas seperti ini tidak akan pernah memberikan kesempatan pada otak untuk berpikir positif. Padahal untuk kemajuan sosial, justru diperlukan pikiran-pikiran positif.

Membangun kesejahteraan negara dimulai dengan pikiran positif dan pikiran positif itu dimulai dari tindakan kecil yang bersifat kejujuran dan itu juga dimulai dari komponen paling bawah, yaitu diri sendiri. Suap dalam sepak bola adalah pengembangan pikiran negatif mulai dari komponen paling bawah sampai paling atas. Sepak bola disukai oleh berbagai kalangan sehingga pemikiran negatif dalam sepak bola juga diikuti oleh berbagai kalangan.

Suap dalam sepak bola jelas juga mencerminkan tidak adanya kesadaran masyarakat dalam memperbaiki kondisi nasional. Boleh dikatakan kalau suap itu juga sangat tidak mencerminkan sikap nasionalis. Seperti yang diutarakan di atas, bahwa suap merupakan sikap dan pikiran negatif yang menggerogoti komponen negara, mulai dari sektor yang paling kecil. Akan tetapi, dengan sejarah suap yang demikian panjang dan lama di dalam sepak bola Indonesia, memperlihatkan fenomena sosial berupa kerapuhan nasionalis dari komponen masyarakat.

Baca juga:  Tim Juara Askot Ujung Tombak Wakil Perseden

Demikian panjang rentang suap-suapan dalam dunia sepak bola Indonesia, dan kemudian meruntuhkan prestasi, seharusnya memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa ada waktu untuk bangkit dan ada waktu untuk menghentikan suap tersebut pada cabang olahraga tersebut. Akan tetapi, itu tidak terjadi. Padahal, sepak bola adalah olahraga paling populer di Indonesia. Satu prestasi sepak bola, seperti Persija yang menjadi juara, masyarakat tumpah ruah turun ke jalan untuk merayakan. Bisa dibayangkan jika Indonesia menjadi juara. Dari sini ada kelihatan bahwa cukup banyak orang yang mempunyai keberanian di Indonesia tetapi tidak mempunyai nyali nasionalisme.

Nasionalisme dapat tumbuh dari cabang olahraga, maksudnya adalah cabang yang berprestasi. Keberhasilan meraih juara satu pada setiap event olahraga bukan saja memberikan kebanggaan kepada atlet yang bersangkutan tetapi juga kemenangan kepada seluruh bangsa Indonesia. Justru, hal inilah yang dipentingkan oleh bangsa Indonesia yang mempunyai berbagai macam keragaman, mulai dari suku sampai warna kulit. Prestasi utama seperti itu sangat diperlukan saat ini ketika gejala-gejala perobekan bangsa itu mulai kelihatan. Maka, untuk mengatasi hal negatif seperti ini, mencegah suap diperlukan justru untuk mengatasi persoalan bangsa tersebut. Jadi, bukan sekadar prestasi juara tetapi lebih dari itu.

Dengan demikian, cara paling baik untuk menghentikan kasus suap pada sepak bola Indonesia adalah dengan menangkapi bandar yang terlibat, menangani dengan hukum yang berlaku. Demikian juga dengan menskors pemain dan pelatih yang terlibat di dalamnya. Segi tiga ini, bandar judi, pelatih, dan pemain yang terlibat merupakan kartu mati dalam perkembangan sepak bola Indonesia.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *