Kampus diharapkan tidak menjadi menara gading. Harapan ini sudah lama berembus. Lembaga pendidikan tinggi justru diharapkan benar-benar menjabarkan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan melahirkan Sumber Daya Manausia (SDM) profesional. Sejumlah kampus di negeri ini memang mampu menjabarkan hal itu.
Lulusannya diserap di pasar kerja dan program pembelajarannya memang memiliki korelasi dengan dunia kerja dan sains. Kampus-kampus ternama di Indonesia layak dijadikan contoh, — baik dalam menerapkan kurikulum, disiplin, maupun profesionalismenya –dalam mengelola pendidikan tinggi. Tata kelola kampus yang sejalan dengan tuntutan dan dinamika zaman layak dijadikan rujukan.
Tetapi di negeri ini adanya banyak lembaga pendidikan tinggi dengan jutaan mahasiswa juga dosennya. Lazim dan sangat memprihatinkan kita dengar ketika lembaga pendidikan tinggi ada yang dikategorikan lembaga abal-abal bahkan mengembangkan praktik bisnis dalam mengelola pendidikan. Yang lebih memprihatinkan adalah jual beli gelar. Ini juga tentu sangat memprihatinkan ketika kita berharap bangsa ini dikelola oleh figur-figur dengan integritas yang ideal.
Menjadi sangat memprihatinkan ketika ada mahasiswa yang hanya ikut ujian dan lulus lalu mendapat gelar akademis. Kehadiran dan skripsi terkesan tak menjadi masalah. Semuanya bisa diatur dengan pendekatan transaksi. Praktik-praktik pengelolaan pendidikan tinggi yang tak memerhatikan proses dan kualitas lulusan semacam ini hendaknya dihentikan. Harus ada keberanian dari Kementerian Ristek Dikti untuk menutup kampus yang melanggar tata kelola pengelolaan pendidikan tinggi.
Hal lain yang perlu dicermati adalah jangan terlalu mudah memberikan izin pendirian universitas, atau lembaga pendidikan sejenisnya. Karena sampai saat ini masih ada kampus yang gedungnya tak layak dan mahasiswanya juga minim. Kontrol yang tak memadai terhadap lembaga pendidikan tinggi juga cenderung menimbulkan problem.
Indikatornya adalah tingginya angka pengangguran di negeri ini yang menyandang gelar sarjana. Bahkan, mungkin juga kini banyak pengangguran yang bergelar master. Ini tentu harus dicermati dan diurai. Kampus hendaknya menjadi pintu lahirnya tenaga-tenaga yang mandiri dan siap menjadi pengusaha baru. Kampus jangan hanya melahirkan sarjana namun tak siap merespons dunia kerja.
Maka tentu sangatlah penting ke depan, pengelolan kampus dilakukan pendekatan good governance (tata kelola yang baik). Secara umum prinsip-prinsip good governance seperti: transparansi, akuntabilitas, responsif, responsibility, independensi, dan keadilan.
Prinsip-prinsip tersebut haruslah diadopsi oleh setiap perguruan tinggi, yang kemudian disesuaikan dengan kondisi dan keberadaannya dalam suatu batasan wilayah daerah. Untuk terwujudnya semua itu, haruslah didukung dengan seperangkat aturan, kebebasan otonomi akademik, budaya organisasi yang baik, adanya visi, dimilikinya strategi, team leadership yang unggul, adanya transfer teknologi, dan output riset yang mumpuni.
Tentu ada banyak hal yang bisa dilakukan kalangan kampus untuk mereformasi tata kelola pembelajarannya dan lembaganya. Dengan banyaknya anggaran yang dikucurkan untuk pengembangan dunia pendidikan di negeri ini, kampus harus hadir menyiapkan SDM-SDM bangsa yang profesional dengan mental kerja yang positif.
Itu artinya, lulusan lembaga pendidikan tinggi hendaknya tak hanya fokus pada pengayaan keilmuan tetapi juga sejalan dengan pengayaan moralitas dan profesionalisme. Dengan demikian, SDM yang lahir dari lembaga pendidikan tinggi yang menjalankan prinsip-prinsip tata kelola yang baik bisa menekan praktik korupsi.
Masalahnya, hampir sebagian besar pelaku korupsi di negeri ini bergelar sarjana dan menduduki jabatan strategis. Itu artinya, kampus harus melakukan reorientasi kurikulum dan berobsesi melahirkan sarjana yang pintar namun tetap beretika dengan moralitas positif.