LPD
Ilustrasi LPD. (BP/dok)

Oleh I Wayan Ramantha

Sebagai mana terurai dalam tujuannya, sejak awal berdirinya Lembaga Perkreditan Desa (LPD), tepatnya 34 tahun yang lalu, lembaga yang menjadi kebanggaan Bali ini diharapkan mampu mendorong pembangunan ekonomi masyarakat, melalui simpanan yang terarah serta penyaluran modal yang efektif. LPD dari sejak tahun 1984, juga diharapkan dapat menciptakan pemerataan dan kesempatan kerja bagi warga pedesaan, melalui usaha-usaha produktif masyarakat setempat yang dibiayai oleh LPD.

Dari sejak awal berdirinya pula, tatacara dan tatakelola LPD meniru sistemBank Perkreditan Rakyat (BPR), yang selanjutnya dilegalkan dengan Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur (Pergub). Perda dan Pergub itu pula yang kemudian menjadi acuan Perarem (hukum adat) di masing-masing desa adat, terkait prinsip dasar operasional LPD, baik dalam menghimpun, mengelola dan menyalurkan dana masyarakat, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya dalam rencana kerja tahunan.

Seiring dengan beberapa prestasi yang telah dicapai, kini setelah menginjak usia yang cukup mapan, LPD mengalami beberapa tantangan. Terutama kalau kita mengaca dan mengacu pada prinsip-prinsip lembaga keuangan yang konvensional. Tantangan itu antara lain: (1) Persaingan ketat antara lembaga keuangan sejenis dibidang teknologi, produk, pelayanan, dan suku bunga. (2) Banyaknya dana idle (nganggur), karena perbandingan antara dana yang berhasil dihimpun dengan kredit yang disalurkan tidak ideal. (3) Adanya kredit macet melebihi ambang batas toleransi (5 persen) dan sulit ditagih. Dalam dunia perbankan, kondisi kedua dan ketiga yang dialami oleh LPD seperti tersebut di atas, dikatakan memiliki LDR (Loan to Deposit Ratio) yang rendah dan NPL (Non Performing Loan) yang tinggi. Rendahnya LDR menyebabkan fungsi intermediasi keuangan tidak berjalan optimal.

Baca juga:  Terapkan Perarem COVID-19 Jangan Lembek, Jaga Kewibawaan Desa Adat

Di samping itu, dengan LDR di bawah 70 persen seperti yang dialami saat ini, laba LPD menjadi lebih rendah,karena beban pokok dana yang tinggi. Sementara pendapatannya tidak optimal, karena jumlah kredit yang tersalur lebih sedikit daripada yang semestinya. Kredit macet di banyak LPD menjadi permasalahan klasik, yang sangat sulit ditangani.

Manajemen LPD sering dihadapkan pada kondisi dilematis, antara harus menegakkan aturan di satu sisi, dan berhadapan dengan masyarakat sendiri yang nota-bena merupakan pemilik LPD di lain sisi. Kredit macet akan berpengaruh nyata terhadap kesehatan LPD pada sisi kualitas aset. Kredit macet, juga mengharuskan manajemen LPD membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu, yang merupakan biaya periodik dan akan memperkecil laba.

Inovasi Manajemen

Guna menjawab beberapa tantangan yang ada, kini saatnya LPD melakukan beberapa inovasi. Sebagai lembaga keuangan komunitas milik desa adat, sudah sepantasnya manajemen LPD menjadi inisiator terbentuknya inkubator bisnis di tingkat desa adat. Peran sentral LPD untuk mendidik dan melatih generasi muda (Yowana) menjadi pengusaha pemula, bersifat sangat strategis.

Karena disamping dapat mencegah pengangguran dan urban dalam jangka pendek, langkah itu sekaligus dapat menciptakan nasabah-nasabah kredit produktif baru dalam jangka panjang. Akhirnya, langkah itu pula akan meningkatkan fungsi intermediasi dana dan laba LPD.

Baca juga:  Wagub Cok Ace: Digitalisasi Kunci Membuka Potensi Ekonomi Baru di Bali

Dalam undang-undang perbankan, peraturan pemerintah dan peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang sering ditiru untuk membuat ketentuan tentang LPD, secara jelas dikemukakan bahwa lembaga keuangan memiliki fungsi sebagai konsultan bagi nasabah atau calon nasabahnya. Bagi LPD, fungsi itu seharusnya juga diartikan
sebagai pelaksanaan fungsi Manusa Yadnya zaman now.

Karena sebelumnya, panca yadnya yang dilaksanakan melalui 20 persen laba LPD yang disetor ke desa adat, dan 5 persen yang merupakan dana sosial, lebih fokus digunakan untuk Dewa Yadnya dan Pitra Yadnya.

Para pengusaha pedesaan yang biasanya tergolong UMKM, apalagi yang baru merintis usaha, banyak yang tidak dapat memenuhi syarat memperoleh kredit perbankan (tidak bankable). Syarat-syarat kredit perbankan yang didasari oleh prinsip kehati-hatian (prudent) itu, juga menjadi syarat bagi masyarakat untuk memperoleh kredit di LPD. Sehingga kemudian menyebabkan LPD mengalami kesulitan dalam menyalurkan dana dalam rasio yang ideal (90 persen), antara dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat dengan kredit yang disalurkan kembali kepada masyarakat.

Persyaratan konvensional kredit yang cenderung kurang fleksibel itu, kini oleh dunia perbankan dijawab dengan sistem perbankan syariah. Pada bank perkreditan rakyatpun kini ada BPR Syariah. Selain sistem syariah, dalam dunia lembaga keuangan juga ada sistem modal ventura. Dalam sistem ventura, penyaluran modal dapat dilakukan secara lebih fleksibel, baik dalam bentuk penyertaan sebagai ekuitas sementara, maupun dalam bentuk bagi hasil dan pinjaman yang pengembaliannya disesuaikan dengan kondisi aliran dana (cash flow) dari perusahaan yang dibiayai.

Baca juga:  Mendagri Setujui Perda Desa Adat

Sistem pembiayaan modal ventura, sangat penting untuk dipertimbangkan oleh seluruh pemangku kepentingan (stake holder) LPD. Sistem ventura, dapat menjadi tambahan dan pelengkap bagi portofolio pelayanan LPD terhadap nasabahnya, yang secara ekonomi sangat beragam.

Melalui sistem ventura, LPD dapat melakukan optimalisasi penyaluran dana yang lebih efektif, meningkatkan LDR, meningkatkan laba dalam jangka panjang, meningkatkan kesejahteraan krama Bali dan meningkatkan eksistensinya untuk mendorong kemandirian desa adat secaraekonomi. Kata kunci untuk melaksanakan kedua inovasi, sebagaimana terurai di atas adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia LPD.

Jiwa kewirausahaan para pengelola LPD perlu terus diasah, agar mereka dapat bertindak sebagai mentor danpanutan dalam inkubator bisnis di tingkat pedesaan. Pengetahuan dan praktik lapangan mengenai modal ventura, wajib mereka kuasai. Dan seharusnya, praktik-praktik ventura tidak terlalu sulit bagi masyarakat Bali, karena secara tradisional, kita dari dulu sudah terbiasa dengan sistem bagi hasil, seperti pekadasan hewan, patus, pacingkreman dan sistem kerjasama lainnya.

Perubahan pola pikir (mindset) para insan LPD sangat diperlukan, agar prinsip desa, kala, patra dalam pelayanan LPD dapat terwujud. Inovasi semacam ini perlu dilokakaryakan dan dibahas oleh seluruh pemangku kepentingan, agar LPD dapat menjawab tantangan zaman dan persaingan yang semakin ketat.

Bila disepakati, bisa saja diajukan sebagai Peraturan Gubernur, untuk selanjutnya dijadikan dasar Perarem di masing-masing desa adat.

Penulis Guru Besar FEB Unud, Pengawas LPD Desa Adat Tegaltamu-Batubulan.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *