DENPASAR, BALIPOST.com – Tradisi Ngerebeg atau sering disebut Makotek digelar tiap Tumpek Kuningan di Desa Adat Munggu, Mengwi, Badung. Tradisi ini memiliki makna sebagai penghormatan pada para pahlawan, tolak bala dari hal-hal negatif atau buruk, dan alat untuk mempersatukan warga.
Menurut Bendesa Desa Adat Munggu, I Made Rai Sujana di Pura Desa lan Puseh Desa Adat Munggu, Sabtu (5/1) tradisi ini dimulai dari kerajaan Mengwi yang dulu beristana di Munggu, dengan rajanya Ida Cokorda Nyoman Sakti Munggu. Saat mempertahankan wilayah kekuasaannya di wilayah Blambangan, Jawa Timur, sebelum pasukan Mengwi yang bernama pasukan “goak selem” berangkat, tepatnya pada hari Tumpek Kuningan, Raja Mengwi melakukan semedi di Pura Dalem Kahyangan Wisesa, Munggu.
Sang raja pun mendapatkan wahyu dari semedinya tersebut. Kembalinya pasukan yang membawa kemenangan atau keberhasilan perang diperingati dengan tradisi ngerebeg. “Sehingga pada Tumpek Kuningan, tradisi ngerebeg terus diperingati di Desa Adat Munggu yang merupakan suatu penghormatan kemenangan perang kerajaan Mengwi, penghormatan pada para pahlawan”, paparnya.
Kemudian, terkait dengan tradisi sebagai tolak bala, Jro Bendesa menceritakan bahwa, awalnya ngerebeg dilakukan dengan tombak. Kemudian pada masa penjajahan Belanda tradisi ini sempat dilarang, karena dikira akan mengadakan pemberontakan.
Beberapa kali tradisi ini sempat ditiadakan penyelenggaraannya. Akibatnya terjadi wabah penyakit atau gerubug menyerang warga desa, bahkan banyak pula warga yang meninggal dunia.
Kondisi tersebut membuat beberapa tokoh adat dan agama melakukan negosiasi dengan Belanda, dan akhirnya tradisi ngerebeg diijinkan kembali digelar. Tetapi sarana yang dipakai bukan tombak, namun diganti dengan kayu “pulet”. “Mulai saat itu tradisi ngerebeg yang biasanya menggunakan tombak diganti dengan sebatang kayu pulet yang panjangnya sekitar 3,5 meter. Dari keyakinan itu, tradisi ngerebeg sebagai penolak bala atau menjauhkan dari hal-hal yang negatif”, terang Jro Bendesa.
Makna ketiga dari tradisi ngerebeg yakni sebagai alat untuk mempersatukan warga. Karena tradisi ini diikuti hampir seluruh kaum laki-laki umur 14 tahun keatas dari 12 banjar yang ada di Desa Adat Munggu. Mereka saling bebaur membawa tongkat kayu berjalan mengelilingi wilayah desa.
Saat tiba dibeberapa tempat, seperti persimpangan jalan mereka berkumpul dan menyatukan ujung tongkat membetuk piramida. Sesekali terlihat salah seorang pemuda memanjat tumpukan tongkat tersebut. “Jadi tradisi ini untuk mempersatukan anak-anak muda yang ada di wilayah 12 banjar adat di Desa Adat Munggu. Dengan melaksanakan tradisi ngerebeg, maka mereka sudah pasti akan berbuat hal-hal yang positif. Mempererat rasa persatuan dan kesatuan diantara kaum pemuda,” tutup Jro Bendesa. (Eka Adhiyasa/balipost)