DENPASAR, BALIPOST.com – Pemerintah diminta mewaspadai harga volatile food atau barang-barang bergejolak yang dikonsumsi setiap hari. Pasalnya barang-barang tersebut yang menyebabkan inflasi di Denpasar dan Singaraja.
Meskipun inflasi di Denpasar yaitu 3,4 persen (yoy) tahun 2018 lebih tinggi dari inflasi di Singaraja yaitu 1,88 persen (yoy), namun perbedaan inflasi itu menunjukkan pola konsumsi yang berbeda. Penyumbang inflasi tertinggi untuk kedua wilayah tersebut adalah barang-barang bergejolak (volatile food) dengan tingkat inflasi tahun 2018 di Denpasar 5,97 persen dan Singaraja 4,67 persen.
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali Adi Nugroho pola inflasi Denpasar masih sama dengan tahun lalu, baik untuk wilayah Denpasar maupun Singaraja. “Yang perlu mendapat perhatian adalah tingkat inflasi di Denpasar dengan Singaraja memperlihatkan kontras yang cukup kuat,” ujarnya.
Denpasar inflasi 3,4 persen sementara Singaraja 1,88 persen. Ini mengisyaratkan ada pola konsumsi yang agak nyata berbeda antara Denpasar dan Singaraja.
Tapi di balik perbedaan pola konsumsi, ternyata sumber penyebab inflasi juga menunjukkan pola yang sama. Bahwa di Bali, sumber inflasi yang menonjol adalah yang berasal dari volatile food dan barang kebutuhan konsumsi sehari-hari. Sedangkan barang-barang yang tahan lama, yang harganya diatur pemerintah (administered), pengaruhnya lebih kecil.
“Ini berarti ada panduan, kalau ingin mengendalikan inflasi maka konsentrasi pada barang yang bergejolak harganya atau barang konsumsi sehari-hari yang sekali pakai, ini lebih dibutuhkan untuk menghadapi tahun-tahun yang akan datang. Tapi sekaligus jangan mengabaikan yang sudah mapan, baik inflasi inti atau inflasi administered price, jangan diabaikan,” tandasnya.
Dengan perbedaan inflasi antara Denpasar dan Singaraja yang cukup signifikan, jika dikaitkan dengan daya beli, Adi mengatakan harus melihat indikator yang lain, seperti pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita dan sebagainya. “Tapi yang segera kelihatan adalah pola konsumsinya, artinya ada barang – barang yang lebih tersedia disana (Singaraja) dan lebih bergejolak di Denpasar. Tapi untuk jenis-jenis yang bergejolak di sana juga sebetulnya termasuk bergejolak pada level yang lebih rendah,” tukasnya.
Melihat kondisi inflasi pada Desember 2018 dan inflasi secara total 2018, yang terbebani target inflasi adalah nasional karena masih belum terlampaui targetnya. “Sedangkan Denpasar dengan tingkat inflasi 3,4 persen, di bawah 3,5 persen, jika mau diwaspadai, Denpasar yang PR-nya lebih tebal daripada Singaraja,” tandasnya.
Deputi Direktur Bank Indonesia KPw Provinsi Bali Azka A.Subhan mengatakan Galungan dan Nataru pada Desember 2018 menimbulkan kekhawatiran. Namun, ternyata angka inflasi Desember 2018 dikatakan cukup prestisi. “Kita memperkirakan 0,75 persen di Denpasar, sehingga perkiraan inflasi pada 2018 mencapai 3,10. Tapi ternyata lebih dari perkiraan yaitu inflasi Desember 2018 sebanyak 0,77 persen, persis banget,” ungkapnya.
Selain itu, yang menarik adalah inflasi Bali dan nasional secara total tahun 2018 adalah 3,13 persen. Ini menunjukkan penurunan harga lebih rendah dari tahun 2017 yang mencapai 3,32 persen. “Nasional dan Bali sama-sama turun tapi nasional turunnya lebih banyak. Nasional dari 3,6 persen jadi 3,13 persen. Sedangkan Bali dari 3,32 persen menjadi 3,13 persen,” ungkapnya.
Angka inflasi 3,13 persen, menurutnya, bagus karena inflasi idealnya tidak kurang dari tiga. Jika kurang dari 3 maka dampaknya ke pertumbuhan ekonomi yang kurang.
Dengan inflasi 3,13 persen di Bali tahun 2018 maka pertumbuhan ekonomi Bali dipastikan lebih tinggi daripada tahun 2017. Ekonomi 2018 diperkirakan tumbuh 6,2 – 6,3 persen. “Padahal kita koridornya sekitar 3,5 persen. Tapi inflasi 3,1 persen adalah angka yang bagus untuk nasional maupun untuk Bali,” pungkasnya.
Adanya Gunung Agung yang kembali bergejolak belum bisa diperkirakan berdampak pada ekonomi dan inflasinya. Yang menjadi kekhawatirannya adalah penutupan bandara.
Jika terjadi, semua lini ekonomi akan berdampak baik hotel, restaurant, UMKM, dll. “Jangan lupa, ekonomi Bali 50 persen lebih ditopang pariwisata,” tandasnya. (Citta Maya/balipost)