Bali Crossing kini masih menjadi perdebatan. Ada yang pro dan kontra. Mereka yang setuju beralasan, dengan Bali Crossing akan terwujud Bali yang hijau. Sebab tidak perlu membangun pembangkit di Bali. Bali terima energi bersih dari Jawa. Itu argumen mereka yang setuju.

Mereka yang tidak juga punya alasan. Salah satunya, Bali Crossing dengan kabelnya melintang di atas laut akan menyebabkan Bali secara sekala tersambung. Hal itu sangat bahaya bagi Bali ke depan.

Sebab ada pastu yang menyebutkan ketika Bali dan Jawa terhubung secara langsung maka akan membawa petaka bagi Bali. Selain itu, dengan Bali Crossing yang kapasitasnya sangat besar, maka diperlukan tiang pancang yang tinggi sehingga mengganggu kesucian dan keindahan Bali. Itu argumentasinya.

Atas dua kutub tersebut, hingga saat ini belum jelas solusi yang akan dijalankan. Apakah Bali Crossing diterima atau ditolak dengan mendirikan pembangkit baru di Bali. Sekali lagi, sampai saat ini belum jelas.

Baca juga:  Reklamasi Teluk Benoa Picu Degradasi Drastis

Namun, pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM berencana menjadikan Bali sebagai pusat energi bersih pertama di Indonesia. Bahkan ditargetkan, Bali akan menjadi pulau dengan mayoritas energi bersih. Alasannya, Pulau Bali yang mengunggulkan sektor pariwisata harus disokong dengan energi yang tidak menimbulkan polusi.

Bila mengamati potensi energi bersih di Bali, memang relatif banyak. Misalnya energi tenaga surya, angin dan air serta panas bumi. Ada sejumlah air terjun di Bali memungkinkan untuk pembangkit listrik walau energi yang dihasilkan relatif kecil. Ada juga energi surya, energi angin, dan panas bumi. Tiga potensi energi pertama belum ada tanda-tanda akan digarap, kecuali panas bumi di Bedugul. Bahkan di proyek ini sudah dibangun paling tidak tiga sumur bor. Proyek ini juga sudah lama mandek karena mendapat penolakan dari masyarakat Bali.

Baca juga:  TPA Bengkala Overload

Kita tentu salut pada perhatian pusat terhadap Bali. Tentu juga diharapkan tidak hanya sebagai objek proyek yang pada akhirnya dapat merusak alam dan budaya Bali. Jangan pula Bali sampai terlena dan tunduk hanya dengan kata-kata manis, disanjung-sanjung, tetapi mempunyai dampak yang kurang baik bagi daerah ini. Tentu saja tidak elok menerapkan pribahasa ‘’ada udang di balik batu’’ dalam upaya mewujudkan keinginan pusat. Pemerintah sudah semestinya tidak memaksakan kehendak bila proyek dibangun nantinya ditolak masyarakat.

Selama ini, Bali memerlukan listrik sangat besar di tengah kemajuan pariwisata. Bahkan, sumber pendapatan negara sangat besar ‘’disumbangkan’’ Bali. Terus ketika kemudian Bali yang merupakan satu provinsi di NKRI ini perlu listrik, haruskah proyek energinya juga dibangun di daerah ini?

Baca juga:  Berdamai dengan Kemajuan Medsos

Bila bicara energi bersih dan benar-benar bersih tanpa polusi, aliran energi masuk Bali dari wilayah NKRI lainnya rupanya paling pas dan menarik. Bali yang kecil ini nantinya benar-benar dialiri energi bersih di tengah alamnya yang bersih tanpa ada perusakan bumi, termasuk tidak adanya pembabatan hutan sampai pencemaran air.

Harus diakui, Bali selalu diuntungkan kalau bicara soal listrik. Daerah lain masih berkutat untuk mengalirkan listrik ke pelosok-pelosok desa, namun Bali sudah tidak lagi berpikir soal itu. Sebab, semua desa sudah teraliri listrik. Tinggal sekarang yang diperlukan andalah keandalan pasokannya.

Ada banyak solusi yang diberikan. Dua di antaranya adalah membangun pembangkit dan menerima Bali Crossing sebagai solusi. Namun kalau dilihat dari keandalan, keamanan, serta terhindarkannya Bali dari polusi pembangkit, tentu pilihannya adalah Bali Crossing.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *