Selaku praktisi LPD yang sudah 30 tahun mengelola Lembaga Perkreditan Desa (LPD) izinkan saya menyampaikan pandangan dari aspek historis yuridis dan ekonomis sbb: (1) Historis nama LPD sudah digunakan sejak awal berdirinya LPD 34 tahun lalu (1984-2018) dan sudah sangat mengakar di kalangan desa pakraman dan pengelola LPD. Jadi, konsep menengok masa lalu melihat masa kini dan menatap masa depan layak dijadikan pertimbangan untuk mempertahankan nama LPD sesuai dengan yang berlaku di Perda No. 3/2017.
(2) Secara yuridis Undang-undang tentang Lembaga Keuangan Mikro No. 1/2013 telah dengan jelas tersurat menyebutkan bahwa nama Lembaga Perkreditan Desa yang dikecualikan dan tidak tunduk dengan UU tersebut. Jadi, jika nama LPD diubah menjadi Labda Pacingkreman Desa atau nama yang lain (maaf bukankah sama artinya kita buat “lubang” agar masuk ke UU LKM serta tidak lagi dikecualikan alias akan tunduk dan mengikuti UU LKM tersebut?).
Saya berkeyakinan jika hal itu terjadi maka LPD akan tidak lagi menjadi roh saat pendirian awal LPD yang sejatinya. Secara ekonomis mengubah nama LPD memerlukan biaya yang sangat besar mulai dari blangko cetak-mencetak sistem komputerisasi perikatan perjanjian dan lainnya. Serta memerlukan proses waktu yang cukup panjang.
Jadi, keberadaan para pengelola LPD yang kebanyakan di lapangan/praktisi juga layak dijadikan referensi. Dari ketiga argumentasi tersebut, saya berharap bisa dijadikan masukan sebelum mengubah nama LPD. Terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut bersama-sama menjaga LPD.
Drs. I Nyoman Cendikiawan, S.H., M.Si.
Ketua BKS-LPD BALI
Saya akan menyatakan dengan tegas sikap pribadi saya adalah bahwa substansi terpenting dan maha mendasar dari LPD adalah sama dengan kutipan kalimat bpk. Parta (saat acara LPD di BaliTV tanggal 24 des 2018 lalu dan saya yakin penulis juga ikut hadir dan mendengarkan pemaparan beliau) selaku Komisi IV DPRD Prov Bali dan juga mantan Ketua Pansus Perda LPD; ‘Semestinya bila Perda no 3 dan Pergub no 44 2017 dilaksanakan dengan baik dan benar maka sesungguhnya tidak perlu ada LPD bermasalah (lagi)’ dan itu artinya tidak perlu ada lagi nasabah LPD yang notabene warga masyarakat Bali yang dirugikan. Semestinya kepakaran penulis dikolom Bali Post ini (bila rentang waktu berpraktisi dibidang ini dikonversikan kedalam bentuk kepakaran) lebih menitikberatkan pada kutipan kalimat bpk. Parta tadi, bukan? Tentang masalah nama dan implikasinya, saya percaya masih terbuka ruang diskusi (dan saya akan sangat tertarik untuk turut serta dalam diskusi itu, bila ada!) Lagi pula, sekali lagi, yang terpenting adalah bagaimana Perda dan Pergub LPD yg sdh ada itu benar benar sesuai dengan harapan yang tentu saja peran peran para stakeholder yang termaktub didalamnya patut untuk dikawal dan dikritisi oleh banyak pihak utamanya oleh masyarakat Bali (baca; nasabah LPD) terutama nya lagi para Yowana – pemuda dan pemudi Bali dimana tingkat estafet kepemimpinan Bali berada di masa depan.