Siswa SMKN 1 Klungkung mengikuti UNBK. (BP/dok)

Oleh Romi Sudhita

Sungguh terkejut membaca berita Bali Post yang terbit Kamis (3/1), menurunkan judul “Lulusan SMK Penyumbang Terbesar Pengangguran”. Semula hanya dengan melihat judul penulis kurang yakin akan kebenaran berita tersebut, mengingat jargon SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) yang selama ini kita kenal lulusannya adalah penyuplai tenaga kerja dan siap kerja.

Tetapi setelah dilanjutkan membaca, di situ ketemu yang memberikan pernyataan adalah seorang pemegang otoritas (Kadis Pendidikan Pemuda dan Olahraga TIA Kusuma Wardhani) akhirnya semakin yakinlah bahwa yang dimaksudkan itu memang begitu adanya. Belakangan ini pemerintah sempat dijuluki menganakemaskan SMK lantaran bantuan yang dikucurkannya kelewat sering dibandingkan yang diberikan kepada sekolah umum.

Malah pernah saya baca di media, porsi keberadaan SMK dan SMA diupayakan 70 berbanding 30. Itu artinya pemerintah sudah sangat concern dengan SMK sebagai sekolah yang hendak menelurkan tenaga-tenaga terampil siap pakai dan tentu saja mengarah pada niat mengurangi pengangguran terdidik. Lalu, apanya dan di mananya yang salah sehingga lulusan SMK belum mampu memenuhi harapan pemerintah tersebut?

Selentingan kabar di masyarakat terdengar bahwa hal itu disebabkan perbandingan mata pelajaran teori dan praktik belum seperti yang diidealkan. Kasarnya, masih lebih mengutamakan teori ketimbang praktik, sehingga muncul julukan SMK sastra.

Terhadap yang satu ini sepertinya belum tentu benar seratus persen, mengingat pemerintah secara intensif telah menggelontorkan berbagai macam alat praktikum ke sekolah-sekolah (SMK). Di samping itu, gurunya pun sudah teramat sering diberikan pelatihan-pelatihan, ada yang dipanggil ke Jakarta, Makassar, dan ke tempat-tempat yang lain.

Baca juga:  UNBK SMK, Baru 40 Persen Sekolah di Jembrana Mandiri

Kurang Mandiri

Dugaan berikutnya muncul jumlah murid yang diterima kelewat banyak, lebih berorientasi pada kuantitas ketimbang kualitas. Apalagi ada desakan dari atas (Pemprov) agar anak-anak lulusan SMP yang berkeinginan melanjutkan ke SMK, terutama anak-anak miskin agar diterima semua. Itu terjadi pada PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) tahun lalu. Akibatnya, ya… itu tadi murid berdesak-desakan duduk pada sebuah rombel alias rombongan belajar.

Akibat lebih jauh sudah dapat diprediksi, pembelajaran tidak akan berjalan secara intensif. Apalagi kalau sudah sampai pada pelajaran praktik, banyak siswa yang menunggu giliran teman-teman lainnya. Ini semua akan berujung pada kualitas hasil pembelajaran yang tidak optimal.

Sementara itu, ada juga yang menuding pengangguran lulusan SMK membengkak dikarenakan minimnya dunia usaha dan dunia industri (dudi) yang memanfaatkan keahlian mereka (lulusan SMK). Anggapan seperti ini pun segera dimentahkan oleh harapan perolehan pengetahuan dan keterampilan (skill) di SMK yang fokusnya mampu menciptakan lapangan kerja secara mandiri. Misalnya, membuka laundry, membuat jajan Bali yang inovatif, menciptakan askesori upakara keagamaan yang layak jual, membuka perbengkelan secara kecil-kecilan, dsb.

Yang penting sekarang solusi apa yang bisa kita tawarkan terhadap permasalahan pengangguran terdidik lulusan SMK? Ketika Departemen (sekarang Kementerian) Pendidikan dan Kebudayaan dipimpin oleh Prof. Dr. Wardiman Djojonegoro, 1993–1998, sang menteri sangat getol ‘’mengampanyekan’’ kebijakan yang diberi nama Link and Match.

Baca juga:  Industri Pangan Bawah Tanah

Kalau diterjemahkan secara bebas, Link itu dapat diartikan keterhubungan atau memiliki hubungan, sedangkan Match tiada lain upaya penyesuaian. Jadi, Link and Match itu dimaksudkan agar lulusan-lulusan anak sekolahan, terutama SMK dan sekolah vokasi lainnya dapat terhubung, nyambung, dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasar yang berada pada ranah dunia usaha dan dunia industri (Dudi). Kalau sudah berbicara kebutuhan ‘’pasar’’ spontans di benak kita akan bergelimang yang namanya kerja, kerja, dan kerja (meminjam istilah Presiden Jokowi).

Angkat beban berat, peluh mengucur deras, itu sudah biasa pada dunia kerja. Rasa priyayi dikesampingkan, makna selembar kertas yang bernama ijazah juga dipendam di laci lemari.

‘’Link and Match’’

Prof. Wardiman memberikan arti Link and Match sebagai suatu upaya peningkatan mutu agar kompetensi siswa sesuai dengan tantangan globalisasi. Intinya, kita sebagai negara yang sudah tergolong besar agar mampu bersaing atau berkompetisi di kancah internasional, dan porosnya ada dan dimulai dari dunia pendidikan.

Itu artinya profil lulusan sekolah (SMK) diupayakan memiliki wawasan yang luas dan kompetitif dengan ciri-ciri sebagai berikut. Memiliki sikap etika kerja (work ethic), memiliki motivasi untuk mencapai sesuatu (achievement motivation), penguasaan materi (mastery), memiliki sikap kompetitif (competitiveness), sadar akan arti uang (money beliefs), sikap menabung (attitude to saving). Satu lagi yang penting, bahwa sikap-sikap seperti ini tidak saja harus dimiliki oleh para siswa melainkan juga oleh kalangan pendidik atau guru.

Baca juga:  Bergerak Merawat Kebangsaan dengan Penguatan Multikultur

Begitu juga jika kurikulumnya dinilai sudah usang dan tidak relevan lagi dengan kebutuhan zaman now, ya… tak ada salahnya dirombak kemudian digantikan dengan kurikulum yang lebih gress dan lebih menjanjikan.

Apabila dipetik patisari dari konsep atau kebijakan yang dikemukakan Wardiman, nyata sekali bahwa yang harus ada pada diri siswa adalah penguasaan materi berupa pelajaran teori dan praktik, sikap kerja dan sikap bermotivasi meraih hasil yang tinggi, hingga upaya memproteksi hasil capaian berupa uang dan sesuatu yang berharga lainnya. Kegemaran menabung, kira-kira seperti itu. Jika ini sudah ada pada diri setiap siswa, diyakini wawasan mereka akan semakin terbuka, berpandangan luas, dan tidak hanya terkungkung oleh cita-cita menjadi PNS serta berburu kerja kantoran.

Sekalipun pada awalnya harus berkutat dengan kerja tambal ban, ya… tidak mengapa yang penting ada konsep dalam diri siswa ‘’untuk menjadi besar harus diawali dengan yang kecil terlebih dahulu’’. Ingat, kisah si konglomerat Chairul Tanjung, yang kini bertengger sebagai orang terkaya nomor tiga di Indonesia, berawal dari usaha fotokopi kecil-kecilan di kampusnya tempat ia menimba ilmu. Justru karena itu, mutiara adiluhung yang pernah digaungkan oleh Wardiman Djojonegoro perlu disemangati ulang dan perlu direvitalisasi sehingga barisan pengangguran lulusan SMK tidak bertambah panjang.

Penulis, pemerhati pendidikan dan pengamat perilaku

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *