Pekerjaan
Ilustrasi. (BP/dok)

Pengangguran sudah merupakan isu nasional di Indonesia. Tak hanya berpendidikan tinggi (S-1), pengangguran juga disumbang tamatan SMK. Bahkan menurut Kadis Pendidikan Bali TIA Kusuma Wardhani, bahwa penyumbang pengangguran tertinggi di Indonesia adalah lulusan SMK.

Fakta ini sungguh sangat mencengangkan. Sebab, kita tahu, SMK didirikan untuk menyediakan SDM siap kerja. Bahkan, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan mengucurkan dana yang sangat besar untuk pendidikan vokasi ini. Jumlahnya pun melebihi anggaran untuk sekolah umum (SMA). Namun faktanya, pendirian SMK belum mampu menjawab permasalahan mengatasi pengangguran. Artinya, dengan fakta yang ada sekarang bahwa lulusan SMK belum bisa diterima pasar kerja.

Ini tentu harus menjadi evaluasi bagi pengelola SMK. Baik terhadap kurikulum yang diajarkan maupun para pengajarnya. Soal kurikulum, misalnya. Harus menyesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja. Harus lebih banyak praktik daripada teori. Praktiknya pun harus berhadapan dengan kondisi yang sama dengan lapangan, sehingga nantinya mereka tidak kagok ketika berhadapan dengan pekerjaan.

Baca juga:  Batu Lompatan Menuju Olimpiade 2032

Kedua soal pengajar. Seperti yang sudah banyak disampaikan, untuk melahirkan lulusan SMK siap pakai, maka guru yang mengajar harus guru produktif. Artinya, mereka yang sudah punya pengalaman kerja di lapangan dan berhasil dalam profesi yang digeluti. Baik sebagai pekerja maupun sebagai manajer.

Mengapa guru produktif, karena merekalah yang sebenarnya tahu lapangan. Tidak sekadar teori, tetapi sudah terbukti berhasil dalam melaksanakan pekerjaan. Beda dengan guru sekolah yang lebih banyak mengajar teori. Sebab, mereka berasal dari profesi guru, bukan dari praktisi.

Selain lebih banyak pengajaran tentang praktik, guru produktif juga mengajarkan para siswanya tentang etos kerja, disiplin, kejujuran dan tidak gampang menyerah. Ini harus ditanamkan pada mereka. Sebab, di dunia kerja akan banyak tantangan. Tidak sekadar pekerjaan, juga membina hubungan dengan teman, menghormati atasan serta tanggung jawab dalam tugas yang dilandasi kejujuran, kerja keras serta disiplin.

Baca juga:  Potensi Pariwisata di Bali Timur Belum Tergarap Serius

Kondisi yang ada sekarang, mestinya juga disikapi oleh pemerintah. Sebab, sering kali keputusan penting dalam pendidikan lebih banyak dilakukan birokrasi. Sementara masyarakat pendidik tidak cukup memahami maksud kebijakan baru dalam pendidikan. Akibatnya, anak-anak jadi korban kebijakan yang coba-coba.

Salah satu dampak dari kondisi ini, munculnya sorotan bahwa keluaran dunia pendidikan tidak nyambung dengan kebutuhan dunia kerja (pasar). Hal ini ditengarai menjadi salah satu faktor penyebab tingginya lulusan yang masih menganggur, karena kurang siap dengan dunia kerja sesungguhnya.

Baca juga:  Digitalisasi, Tantangan Merawat Ruang Sosial

Tak hanya SMK, sorotan serupa juga diarahkan pada perguruan tinggi. Banyak lulusannya juga menjadi penganggur. Hal ini sudah disadari Kemenristek Dikti. Mereka mulai membuka pendidikan vokasi lebih banyak, yang menekankan pada keterampilan sampai pada sangat mengkhusus. Tujuannya untuk melatih keterampilan para peserta didik kepada keterampilan yang paling khusus. Kita berharap keinginan itu segera diwujudkan agar kelak jumlah pengangguran di Indonesia bisa lebih ditekan.

Jadi, di samping politeknik dan pendidikan diploma, jalur vokasi yang menekankan keterampilan di perguruan tinggi ini harus benar-benar diwujudkan. Karena dengan cara itulah perguruan tinggi akan mampu memberikan sumbangan untuk mengurangi pengangguran di negeri ini.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *