Suasana Rapat Paripurna di DPRD Bali. (BP/ist)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pembahasan ranperda tentang Desa Adat kini memasuki agenda pemandangan umum fraksi di DPRD Bali, Senin (14/1). Hal ini bersamaan dengan Ranperda tentang Kontribusi Wisatawan untuk Pelestarian Lingkungan Alam dan Budaya Bali.

Khusus mengenai ranperda tentang desa adat, fraksi di DPRD Bali mempertanyakan soal hilangnya Majelis Alit Desa Pakraman (MADP) dalam Ranperda tentang Desa Adat. Selain itu, tidak setuju perubahan nama Lembaga Perkreditan Desa menjadi Labda Pacingkreman Desa karena akan menghapus jejak sejarah LPD. Bahkan, fraksi Gerindra dalam pemandangan umumnya meminta ketegasan dalam ranperda agar Prajuru Adat tidak boleh menjabat sebagai anggota partai politik (parpol).

Hilangnya MADP dipertanyakan Anggota fraksi PDIP, I Wayan Sutena. “Susunan organisasi Majelis Desa Adat terdiri atas MUDA (Majelis Utama Desa Adat) dan MMDA (Majelis Madya Desa Adat). Kami bertanya, mengapa MADA (Majelis Alit Desa Adat) yang berada di jenjang kecamatan tidak ada dimuat?,” ujarnya.

Baca juga:  "Ragam Rupa" ISI Denpasar, Kondra Tampilkan Spirit Melasti

Sutena menambahkan, kebijakan atau persoalan yang muncul di satu desa adat selama ini diselesaikan secara berjenjang. Mulai dari kecamatan, kabupaten, hingga provinsi, sehingga dulu lahir MADP, MMDP, dan MUDP.

“Semestinya pasal-pasal mengenai perlindungan atau proteksi terhadap kebijakan desa adat yang harus diperbanyak dan diperjelas lagi, agar kasus-kasus semacam OTT atau yang sejenis seperti yang dulu pernah terjadi, dapat dihindari,” jelasnya.

Ngakan Made Samudra dari Fraksi Partai Demokrat bahkan menilai hilangnya MADP dalam ranperda justru melemahkan keberadaan desa adat itu sendiri. Pihaknya juga menilai tidak perlu ada Lembaga Otoritas Perekonomian Adat Bali (LOKA).

Baca juga:  Tekanan bagi Bali

Sementara Anggota Fraksi Panca Bayu, Ketut Jengiskan justru meminta penjelasan terkait kedudukan dan eksistensi BKS LPD dengan adanya LOKA.

Sementara itu, anggota Fraksi Partai Gerindra, I Nengah Wijana meminta agar ada kajian mendalam terkait kedudukan, status dan penetapan desa adat. Khususnya pasal 7 ayat 2 yang berbunyi, desa adat yang sudah ditetapkan dengan keputusan gubernur diurus oleh perangkat daerah Pemprov yang membidangi adat, tradisi, dan kearifan lokal masyarakat Bali.

Hal ini di nilai sangat berkaitan dengan kewenangan pengesahan prajuru adat dari Pemprov, termasuk kewenangan dalam hal alokasi anggaran yang bersumber dari APBD. Apalagi hal ini juga bertentangan dengan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 5 yang berbunyi “Desa berkedudukan di wilayah kabupaten/kota”.

Baca juga:  Desa Adat di Buleleng Diinstruksikan Buat Perarem Pemakaian Masker

Sedangkan, anggota Fraksi Golkar, I Wayan Rawan Atmaja meminta istilah Bendesa madya dan Bendesa agung sebaiknya dihilangkan, karena cenderung akan menghilangkan independensi dan otonomi dari Bendesa adat itu sendiri. Kemudian fungsi MMDA dan MUDA adalah bersifat forum Bendesa adat, bukan atasan dari para Bendesa adat.

“Hal ini mengingat masing-masing desa adat memiliki dresta, awig, dan perarem, yang kita kenal dengan desa mawacara,” ujarnya.

Untuk kedudukan desa adat, lanjut Rawan, diharapkan tetap di wewidangan desa adat itu sendiri. Pasalnya, masing-masing desa adat tumbuh dan berkembang secara mandiri dan independen bersama dengan dresta masing-masing yang berkembang di dalamnya.

“Dengan demikian, pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan pusat mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan, pembinaan, perlindungan, maupun pemberdayaan,” jelasnya. (rindra/balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *