abrasi
Abrasi di Jineng Agung, Gilimanuk semakin parah. (BP/kmb)

Oleh Agung Kresna

Gonjang-ganjing reklamasi dan berbagai proyek besar yang menimpa kawasan pantai Bali bagai tak jelas ujung akhirnya. Ancaman terhadap kawasan pesisir Bali bak badai yang tiada akhir.

Setelah banyak kawasan pantai Bali diakuisisi pengelola akomodasi pariwisata karena keindahannya, sekarang giliran para investor yang melihat potensi besar yang ada di kawasan pantai Bali. Berbagai proyek siap digarap di beberapa lokasi kawasan pesisir Bali. Ini tidak saja memberi ancaman ekologi atas pantai Bali, namun juga harus dipertimbangkan kemungkinan adanya bencana yang melanda.

Bencana tsunami Selat Sunda yang memorakporandakan kawasan pantai Banten dan Lampung Selatan bagai mengingatkan kembali kepada kita semua akan rentannya lingkungan buatan yang berada di kawasan bibir pantai dari hempasan gelombang air laut. Karena itulah, kemudian muncul peraturan bernama garis sempadan pantai, sebagai garis batas area yang memang tidak diizinkan untuk digunakan sebagai area terbangun. Garis sempadan ini memiliki jarak berbeda-beda tergantung dari derajat bahaya hempasan air laut di masing-masing kawasan.

Beruntunglah krama Bali yang memiliki filosofi Tri Hita Karana. Dengan memegang filosofi yang pada hakikatnya bermakna keseimbangan, segenap krama Bali memiliki pegangan guna mengendalikan hasrat atas penguasaan alam secara berlebihan dan sewenang-wenang. Krama Bali menjadi bijak dalam menata ruang fisik lingkungan hunian kehidupannya. Secara religi, ada area yang bersifat sakral dan ada area profan. Sementara secara fungsional ada area privat dan area publik.

Baca juga:  Bencana dan Kepemimpinan Pro Ekologi

Telajakan menjadi contoh bagaimana krama Bali secara bijak menciptakan kawasan peralihan dari area publik (jalan raya) dengan area privat (area hunian rumah), dengan mengikuti garis sempadan jalan. Area telajakan juga sering dioptimalkan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) sehingga menciptakan kawasan ekologis pada area jalan raya. Sayangnya saat ini banyak telajakan yang diubah menjadi area terbangun sebagai warung guna fungsi ekonomi. Hal ini dipicu oleh nilai strategis posisi telajakan yang berada di tepi jalan raya.

Pada prinsipnya, garis sempadan adalah garis batas antara kawasan publik dengan kawasan privat. Garis sempadan merupakan garis batas luar pengaman yang ditetapkan dalam mendirikan bangunan/pagar. Sehingga area sempadan adalah kawasan publik yang sekaligus sebagai area penyangga ekologis bagi wilayah laut, danau dan sungai, serta area jalan raya. Keberadaan area sempadan menjadi titik kritis bagi upaya menjaga keseimbangan kawasan alam dengan kawasan lingkungan buatan sebagai area terbangun.

Privatisasi Ruang Publik

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai sebagai penjabaran UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014) mengatur bahwa sempadan pantai minimal adalah 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Sempadan pantai diartikan sebagai daratan sepanjang tepian pantai, yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai.

Penetapan batas sempadan pantai ini harus dituangkan dalam Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi/Kabupaten/Kota, paling lambat 5 (lima) sejak Peraturan Presiden diundangkan. Sehingga penetapan besarnya batas sempadan pantai Bali harus tertuang dalam revisi Perda Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali 2009-2029.

Baca juga:  Otonomi dan Percepatan Kemandirian Pangan

Batas sempadan pantai ini dimaksudkan sebagai upaya melindungi dan menjaga kelestarian fungsi ekosistem dan segenap sumber daya di wilayah pesisir, dan menjaga masyarakat pesisir dari ancaman bencana alam (gempa, tsunami, erosi, dan abrasi), serta alokasi ruang untuk akses publik melewati pantai. Karena realitasnya, sering sekali kawasan pesisir telah dikooptasi oleh para pemilik tanah di kawasan pesisir pantai, hingga berubah fungsi menjadi area privat.

Kawasan pesisir pantai Bali pun tidak luput dari kondisi tersebut. Banyak pengelola akomodasi pariwisata di kawasan pesisir pantai Bali (hotel, restoran, watersport, dll) yang telah menjadikan pesisir pantai di area akomodasi mereka menjadi area privat, yang tidak lagi bisa diakses masyarakat umum sebagai area publik sebagaimana diamanatkan undang-undang. Ancaman terhadap sempadan pantai di kawasan pesisir Bali dapat dikendalikan dengan melakukan penataan kebijakan terkait.

Pertama, ujung tombak perencanaan suatu lingkungan buatan ada di tangan para arsitek. Arsiteklah yang bertanggung jawab mengawali proses perencanaan pembangunan lingkungan buatan di kawasan pesisir. Sehingga jika para arsitek cermat dengan berbagai rambu peraturan bangunan yang berlaku pada kawasan pesisir pantai, niscaya hal ini akan mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran atas berbagai rambu peraturan bangunannya. Hal ini sekaligus akan melestarikan fungsi ekosistem dan segenap sumber daya wilayah pesisir, sekaligus menjauhi ancaman bencana pantai.

Baca juga:  Peran LPD Wujudkan Ketangguhan Krama Adat

Kedua, pemilik bangunan selaku investor dalam pembangunan suatu lingkungan buatan menjadi kunci dalam pengendalian berikutnya. Hal ini melihat kenyataan bahwa investor acap kali menitikberatkan pada faktor keuntungan finansial semata, sehingga kadang terjadi pemaksaan pembangunan tanpa mengindahkan peraturan bangunan dan lingkungan yang ada.

Ketiga, pemegang kendali yang tidak kalah penting dalam pembangunan suatu lingkungan buatan adalah para pemberi izin. Di tangan merekalah kendali boleh tidaknya suatu bangunan lingkungan buatan hadir pada suatu lingkungan alam tertentu. Jika ditengarai adanya pelanggaran atas peraturan perundangan yang ada, maka suatu lingkungan buatan harus tidak diberi izin pembangunannya alias tidak boleh dibangun pada suatu kawasan.

Penanggulangan atas ancaman terhadap sempadan kawasan pesisir Bali harus menjadi tanggung jawab bersama segenap krama Bali. Harus ada komitmen kuat dalam sinergi antarpemangku kepentingan yang bertanggung jawab terhadap masalah pembangunan lingkungan buatan pada suatu kawasan lingkungan alam Bali.

Ada baiknya jika segenap krama Bali meneguhkan kembali komitmen kehidupan kesehariannya dalam filosofi Tri Hita Karana. Jangan sampai filosofi keseimbangan ini hanya menjadi komitmen lisan krama Bali, tanpa ada realisasi yang nyata dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya keseharian krama Bali.

Penulis, arsitek senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *