Warga Jepang mediksa di Griya Agung Bangkasa, Bongkasa, Abiansemal, Senin (14/1). (BP/istimewa)

MANGUPURA, BALIPOST.com – Mediksa adalah upacara sakral bagi Umat Hindu. Upacara terakhir untuk menjadi seorang sulinggih atau pendeta ini biasanya hanya dapat dilakukan bagi orang yang telah melewati jenjang sebagai bawati. Menariknya, upacara sakral tersebut juga dilakukan oleh 13 warga Jepang di Griya Agung Bangkasa, Bongkasa, Abiansemal, Senin (14/1) malam.

Mereka adalah Ida Pandita Mpu Minako Wira Raga Manuaba, Ida Pandita Mpu Naoko Siwa Paraga Manuaba, Ida Pandita Mpu Akiko Kusuma Daksa Manuaba, Ida Pandita Mpu Junichi Wiswa Mitra Manuaba, Ida Pandita Mpu Kumi Yawakerta Parama Manuaba, dan Ida Pandita Mpu Yoshinori Kamya Yoga Manuaba. Kemudian ada Ida Pandita Mpu Chikako Sanaka Dharmita Manuaba, Ida Pandita Mpu Tokina Daksa Vigneswara Manuaba serta Ida Pandita Mpu Yusaka Mudgalya Daksa Manuaba. Selanjutnya Ida Pandita Mpu Chie Astra Wakra Manuaba, Ida Pandita Mpu Norihiko Soma Parama Daksa Manuaba, Ida Pandita Mpu Eiko Dattatreya Manuaba, dan Ida Pandita Mpu Kumi Gangga Daksa Manuaba. Sedangkan satu bhawati atas nama Megumi Suzuki.

Baca juga:  Ida Pedanda Nabe Gde Putra Telabah Upacarai Tapakan Barong dan Rangda di Belgia

Putra mendiang Ida Sinuhun Siwa Putra Prama Daksa Manuaba, I Gede Sugata Yadnya Manuaba, mengatakan belasan warga Jepang tersebut telah melewati berbagai prosesi. Awalnya mereka disahkan sebagai penganut Agama Hindu melalui proses Sudhi Widani beberapa tahun lalu. Setelah itu, naik menjadi bhawati hingga didiksa menjadi sulinggih.

“Mereka sudah melewati sejumlah proses hingga bisa didiksa. mereka sadar dengan dirinya. Serupa dengan diksa pada umumnya. Termasuk seda raga yang menjadi tahapan diksa,” ungkapnya.

Baca juga:  Paruman Pandita PHDI, Samakan Pandangan Tafsir Pelaksanaan Yadnya

Salah satu sulinggih yang terlibat dalam padiksan, Ida Pandita Mpu Daksa Yaksa Acharya Manuaba menjelaskan, prosesi dwijati sangat sakral. Dwijati adalah kelahiran kedua kali bagi seorang manusia. Kelahiran pertama, yakni dari rahim ibu atau biasa disebut istilah kelahiran biologis. Sementara kelahiran kedua dari pengetahuan yang diturunkan sang nabe atau disebut kelahiran dari segi ideologis.

Disebutkan, proses diksa melewati proses menghidupkan inilah yang namanya Dwija. “Jadi sulinggih ini diseda raga dulu, dimatikan. Kemudian dihidupkan kembali oleh nabe-nabenya. Ini yang disebut dengan dwija. Ada juga pengertian dwijati, setelah lahir dari ibu, kemudian lahir Weda, pengetahuan dari nabe-nabenya,” jelasnya.

Baca juga:  Jumlah Sulinggih "Muput" Pelebon Ida Cokorda Pemecutan XI Sama dengan Upacara Naik Tahta

Proses menghidupkan kembali, tegasnya, bukan hal yang sepele. Ida Pandita mengatakan, memerlukan nabe yang memiliki tabungan karma baik yang cukup banyak. Karena itu, ceritanya Krishna saat menghidupkan janin yang kemudian lahir menjadi Parikesit, tenaganya terkuras. Dia lemas, habis energinya. “Jadi ini memerlukan tabungan karma baik yang cukup banyak untuk melakukan padiksan,” tegasnya. (Parwata/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *