Oleh Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc., M.MA.
Setiap tahun keperluan terhadap produk lokal, seperti sayur dan buah-buahan semakin meningkat terutama menjelang dan saat hari-hari besar (hari raya) dan events tertentu. Permintaan yang tinggi sering dan dibarengi oleh adanya kelangkaan produk mengakibatkan harga produk-produk tersebut menjadi meningkat. Sementara di sisi lain, pada saat terjadi panen raya, petani-petani sangat merasakan dampaknya karena mereka menerima harga yang sangat rendah.
Kondisi ini jika dibiarkan akan berdampak pada kurang terangkatnya kesejahteraan petani dan dapat menjadi disinsentif bagi petani untuk berproduksi. Oleh karena itu, terobosan baru Gubernur Bali melalui Pergub No. 99/2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian merupakan angin segar pada awal tahun 2019 khususnya bagi para petani di Bali.
Pergub ini dapat menjadi salah satu pilar bagi pembangunan pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan para petani. Pemerintah telah mengatur agar produk-produk lokal petani dapat diserap industri, hotel, restoran, vila, dan swalayan di Bali dengan harga yang layak ekonomis. Terlebih lagi, diberikan kesempatan kepada Perusahaan Daerah untuk membeli produk-produk tersebut.
Kondisi ini sejalan dengan Undang-undang No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, khususnya pasal 3 yang menyebutkan bahwa tujuan perlindungan dan pemberdayaan petani adalah untuk (i) mewujudkan kedaulatan dan kemandirian petani dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kehidupan yang lebih baik; (ii) menyediakan prasarana dan sarana pertanian yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha tani; (iii) memberikan kepastian usaha tani; (iii) melindungi petani dari fluktuasi harga, praktik ekonomi biaya tinggi, dan gagal panen; (iv) meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani serta kelembagaan petani dalam menjalankan usaha tani yang produktif, maju, modern, dan berkelanjutan; dan (v) menumbuhkembangkan kelembagaan pembiayaan pertanian yang melayani kepentingan usaha tani.
Pergub ini ditujukan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para petani melalui terbentuknya keterkaitan antara pertanian dengan pariwisata dengan sistem dan regulasi. Oleh karena itu, Pergub ini sangat bagus diterapkan dengan syarat adanya pengawasan yang ketat dan sanksi sehingga masing-masing pihak dapat memainkan perannya (petani dan kelompok petani sebagai produsen, hotel, restoran dan lain sebagainya sebagai buyer, dan perusda sebagai perantara).
Oleh karena diperlukan adanya dukungan oleh berbagai pihak termasuk konsumen produk-produk lokal tersebut. Dalam upaya untuk mewujudkan keberhasilan tujuan Pergub ini, maka sangat memerlukan adanya penguatan program pertanian inklusif yang artinya bahwa pembangunan pertanian tersebut harus mengintegrasikan antara sektor-sektor di hulu, sektor pertanian (pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan) dan sektor-sektor di hilir (pengolahan, penyimpanan, kemasan pemasaran). Pemerintah sebagai regulator kebijakan pendukung pertanian inklusif, termasuk dengan lembaga penelitian. Pihak-pihak yang terkait dalam pertanian inklusif ini agar duduk bersama untuk menetapkan model bisnis yang memberikan gambaran adanya peran masing-masing pihak dan keuntungan ekonomis bagi mereka sebagai insentif untuk menjamin keberlanjutan rantai pasar yang menguntungkan.
Pertanian inklusif ini diarahkan untuk meningkatkan pendapatan para petani, peternak, nelayan, pemelihara ikan melalui peningkatan produktivitas lahan, tenaga kerja, dan produk, serta menjamin kualitas produk yang dibutuhkan oleh pasar (konsumen) melalui peningkatan nilai tambah pada setiap aktor pasar di dalam rantai nilai produk-produk lokal tersebut. Oleh karena itu, sektor-sektor di hulu wajib menyediakan berbagai sarana dan prasarana produksi termasuk alat dan mesin pertanian yang tepat untuk para petani (kelompok petani) dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produknya.
Dalam penyediaan dan pemanfaatan sarana dan prasarana produksi ini, pemerintah atau lembaga penelitian atau lembaga swadaya masyarakat perlu memberikan atensi teknis melalui penyuluhan dan pelatihan sehingga kapasitas (pengetahuan, sikap dan keterampilan teknis, administrasi, keuangan dan manajemen) petani menjadi semakin kuat. Pendampingan-pendampingan pada awal sangat dibutuhkan dalam menjamin terbentuknya kemitraan bisnis yang saling menguntungkan antara petani/kelompok petani dengan perusahaaan penyedia sarana, prasarana dan alat, serta mesin pertanian.
Sementara itu, pihak buyer diwajibkan memiliki peran untuk memberikan informasi pasar (jumlah, mutu, harga produk) yang dibutuhkan pasar kepada para petani/kelompok petani. Informasi ini akan menjadi sangat signifikan terhadap keberlanjutan kemitraan antara petani/kelompok petani dengan pihak-pihak perusahaan (hotel, restoran, perusda, dsb). Mereka agar menyiapkan SOP produksi dan pascapanen sehingga kualitas yang diminta dapat disediakan atau dipenuhi oleh petani/kelompok petani.
Penguatan pemanfaatan sistem informasi dan teknologi menjadi bagian yang tidak terpisahkan guna memudahkan adanya akses terhadap informasi pasar (harga) dan teknologi budi daya. Peran lain dari buyer ini adalah dapat melakukan pengolahan produk-produk pertanian (terutama pada saat panen raya) menjadi berbagai bentuk olahan yang menarik bagi konsumen. Dengan demikian, para petani masih diharapkan untuk memperoleh harga yang layak ekonomis pada saat produksinya melimpah. Aktivitas pascapanen ini sangat signifikan terhadap keberlangsungan pertanian inklusif yang telah dibangun.
Pemerintah senantiasa berperan dalam membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung berjalannya pertanian inklusif ini. Misalnya adanya kredit, subsidi, kebijakan penyuluhan, irigasi dan lain sebagainya. Kebijakan mengenai perencanaan produksi juga sangat dibutuhkan terutama yang berkenaan dengan penetapan zona atau sentra produksi komoditas tertentu, selain kebijakan informasi tentang prediksi kebutuhan berbagai jenis produk pertanian selama satu tahun yang dirinci setiap bulannya. Sebenarnya, pergub ini hanya salah satu bagian untuk meningkatkan pendapatan petani. Dalam pertanian inklusif, peran konsumen sangat penting.
Konsumen perlu diberikan edukasi agar memberikan apresiasi terhadap produk-produk pertanian yang berkualitas yang telah dihasilkan oleh para petani. Misalnya melalui gerakan konsumsi produk lokal, dan memiliki wilingness to pay yang tinggi terhadap produk-produk yang berkualitas tersebut. Ini berarti kesadaran dan apresiasi konsumen akan menjadi tantangan sekaligus peluang bagi petani untuk berproduksi secara baik untuk memenuhi kebutuhan konsumen dan memberikan kepuasan yang tinggi pada konsumen. Sehingga pendapatan petani akan semakin tinggi.
Penulis, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra dan Wakil Ketua Perhepi Bali
skema pemberdayaan petani seperti Pergub ini tentu bukan yg pertama tapi pasti bukan yg terakhir diwacanakan. Kondisi ini sangatlah ideal, tertata dengan sangat sempurna dari hulu hingga hilir. Dari inisiatif pemerintah, pelaksana (petani), buyers (para pembeli) dan konsumen. Tapi kenapa tiap kali skema seperti ini digulirkan, kemudian tidak “ngefek” terhadap kesejahteraan petani itu sendiri. Lalu dimana letak kesalahannya? Apakah di pengawasan, kualitas alat, cara bertani, kualitas produk yg tidak sesuai keinginan buyer, atau apa? Sudahkah ada evaluasi dan analisisnya? Jangan harap buyer melakukan pengolahan hasil pertanian di saat panen raya, karena itu berarti “cost” tambahan bagi mereka untuk peralatan dan karyawan yg mengolahnya. Bagi mereka, membeli dengan harga rendah tapi mendapat barang yg berkualitas super adalah target dari para “purchase” manajernya. karena ini bagian dari cara mencari keuntungan mereka. Sekarang yg perlu dilakukan adalah pengawasan di masing-masing rantai ini agar pelaksanaan sesuai regulasi. Pertanyaannya, siapa yg mau mengawasi tanpa diberi intensif? Dsb dsb. Jadi Pergub ini memang perlu dilakukan secepatnya, agar tim pak Koster bisa mencari solusi bila ada penyimpangan di lapangan.