Dua pasangan capres peserta Pilpres dan peserta Pemilu 2019 mendeklarasikan kampanye damai yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI di lapangan Monumen Nasional (Monas) Jakarta, Minggu (23/9). (BP/dok)

Oleh I Wayan Subandi

Dalam pembahasan tentang kontestasi presiden, yang paling banyak mendapat perhatian di negara-negara berkembang adalah bagaimana kompetisi tersebut tergambarkan di masyarakat. Kontestasi tentu saja bukan hanya terlihat pada perdebatan yang berlangsung di televisi atau mungkin di kampus tetapi segala upaya bersaing yang dilakukan oleh masing-masing kandidat untuk menduduki posisi tersebut.

Dengan begitu, kontestasi akan terlihat sejak awal sekali, ketika masing-masing pasangan terbentuk. Bahkan, kontestasi itu telah terjadi sebelum pasangan ini formal terbentuk. Ini terus berlangsung sampai dengan masa minggu tenang.

Gambaran dari masyarakat ini penting dikupas karena hal itu mempunyai makna yang besar untuk perjalanan demokrasi sebuah negara. Penggambaran yang dimaksudkan mempunyai rentang pemahaman yang cukup lebar, dan ini menyangkut ranah psikogis dan relasi sosial. Pada tingkat individu, gambaran ini dapat berupa benci, senang, netral, dan berupaya memengaruhi pihak lain.

Pada tataran kelompok, gambaran tersebut akan bertambah dengan satu poin, yaitu diskusi terhadap kontestasi itu. Pada level masyarakat bertambah lagi dalam bentuk gerakan. Macam-macam bentuk gerakan yang dapat dilakukan oleh masyarakat, mulai dari protes sampai dengan ajakan boikot untuk menonton perdebatan kandidat presiden.

Di negara yang sudah mempunyai sistem dan praktik demokrasi mapan, penggambaran yang telah masuk ke dalam benak masyarakat, tidak akan mempunyai pengaruh meluas. Dalam arti merembet menuju tahun-tahun berikutnya.

Di samping karena kedewasaan berpolitik, sifat individualis masyarakat dan kesibukan bekerja mengisi kehidupan sosial sehari-hari membuat mereka tidak lagi berurusan dengan  urusan penggambaran tersebut. Mereka kemudian menyerahkan segala risiko politik dari kontestasi itu kepada pejabat yang dipilih dan anggota legislatif yang terpilih. Di Amerika Serikat tidak ada komponen sosial yang terlalu peduli dengan bagaimana kontroversialnya pemerintahan Donald Trump.

Baca juga:  Tantangan Terbesar Pilpres 2019 adalah Hoax

Berbeda dengan negara sedang berkembang. Kurang dewasanya sikap politik dan blok politik yang demikian kental (dan bermusuhan) dari setiap segmen politik, membuat pengaruh penggambaran ini berlangsung bertahun-tahun bahkan sampai ke pemilu berikutnya. Silakan ingat-ingat apa yang terjadi sejak tahun 2014 di Indonesia.

Lalu, bagaimana kira-kira alur potensi penggambaran kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia ini? Yang pertama adalah potensi mengejutkan dan kurang gereget. Ini terjadi beberapa bulan yang lalu manakala diselenggarakan pemilihan wakil presiden.

Calon presiden sudah jelas banyak yang tahu sebelumnya tentang siapa yang akan maju. Akan tetapi, untuk calon wakil presiden ada kecenderungan mengejutkan dan kurang gereget. Mengejutkan karena sebelumnya masyarakat mengharapkan bahwa sang calon wakil adalah intelektual yang mampu memberikan sumbangan pemikiran bukan saja kepada presidennya kelak tetapi juga kepada masyarakat.

Keterpilihan calon wakil presiden beberapa bulan yang lalu ternyata mengejutkan karena dipandang bukan intelektual murni. Cukup banyak yang dibuat terkejut dengan pilihan ini. Untuk Indonesia, kombinasi antara intelektual dengan politisi dipandang paling pantas untuk memimpin negeri ini karena keduanya saling mengisi.

Dipandang kurang gereget karena ada berbagai hiasan yang mengikuti hasil pemilihan tersebut. Di antaranya isu sumbangan setengah miliar sampai dengan ancaman kelompok yang tidak akan bersedia memilih apabila ‘’junjungannya’’ tidak dipasang sebagai calon wakil presiden. Fenomena seperti ini pasti telah terekam di dalam masing-masing benak pemilih yang akan memengaruhi sikapnya untuk menonton debat calon presiden Indonesia nanti.

Baca juga:  KPU Karangasem Pilih Lokasi Debat di Badung dan Denpasar

Maka untuk fenomena seperti ini, pasangan presiden dan wakil harus banyak melatih diri menjelang perdebatan agar bisa memenuhi standar kelompok masyarakat seperti ini yang menginginkan nuansa-nuansa intelektual masuk ke dalam ranah perdebatan presiden. Tidak salah kalau masing-masing pasangan mengutip teori-teori politik atau mengutip pendapat dan pernyataan cendekiawan yang akan mungkin mampu mengubah persepsi masyarakat tentang kualitas dari pasangan calon presiden dan wakil.

Kedua, penggambaran itu adalah berisik. Atau paling tidak pasangan calon presiden dan wakil terkena imbas dari berisiknya para tokoh yang berada di belakang calon. Dalam masa kampanye ini, ada tokoh-tokoh yang berupaya menjelek-jelekkan dan menjatuhkan kompetitor secara terbuka.

Melihat tingkah polah para tokoh ini sangat mungkin masyarakat mempunyai gambaran berisik dan akhirnya kurang simpati dengan pasangan calon yang bersangkutan, semata-mata karena tokoh pendukungnya berisik, banyak bicara atau mungkin disebut mirip dengan Sengkuni, seperti halnya tokoh pewayangan yang populer di Indonesia. Mungkin ibarat permainan sepak bola, para tokoh mempunyai peran sebagai perusak konsentrasi lawan. Akan tetapi, apabila peran itu terlalu besar, justru permainan sendiri dapat terganggu karena suporter akan menyoraki dan akan memojokkan tim sendiri. Inilah yang menjadi bahaya bagi pasangan calon presiden dan wakil.

Suasana berisik dan ribut seperti ini akan membuat masyarakat apatis. Karena itu, untuk mengatasi persoalan ini, tim pasangan calon presiden harus mampu meredam ocehan para tokoh yang ada di belakang mereka. Khawatirnya jika ingin merusak, justru kelak yang terjadi adalah irama permainan politik yang berubah sehingga dapat berbalik mengacaukan konsentrasi seluruh permainan tim. Masyarakat bisa tidak mau mendengarkan berbagai argumentasi calon yang muncul di televisi.

Baca juga:  Argumen Anies dan Ganjar Lebih Dinamis Dalam Debat

Ketiga, adalah soal sindiran dan serangan. Hanya beberapa hari menjelang perdebatan televisi, dua kandidat tergelincir dalam adu sindiran. Hal ini akan dapat mengakibatkan gambaran bosan bagi masyarakat. Sebuah pembicaraan, bisa saja terjadi akibat keseleo lidah atau dapat juga muncul tiba-tiba karena dipandang pantas disampaikan kepada khalayak, semata-mata untuk itu tanpa bermaksud lain. Akan tetapi ‘’perang balasan’’ sudah muncul dan diekspos media massa berhari-hari.

Maka, kembali pada persoalan awal bahwa apabila gambaran-gambaran tersebut masuk ke ranah individu kelompok dan masyarakat, dapat mengakibatkan pengaruh besar kepada tayangan debat calon presiden nanti. Harus diakui bahwa dalam konteks politik, masyarakat dapat membuat langkah untuk memperlihatkan sikapnya yang merupakan gambaran dari tanggapan terhadap situasi yang mereka dapatkan dalam beberapa hari mendatang.

Ada kemungkinan perorangan yang mendiskusikan tingkah polah para kandidat. Kemungkinan juga ada kelompok yang mempunyai gambaran sama tentang polah para calon presiden dan wakil. Tetapi pada tingkat masyarakat, tidak akan ada sebuah gerakan untuk memboikot menonton perdebatan para kandidat presiden di televisi. Yang harus juga diperhatikan adalah bahwa pasti akan ada hal-hal lucu dalam perdebatan tersebut. Yang terakhir ini adalah sebuah kepastian.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *