Oleh I Komang Warsa, S.Pd., M.Si., M.Pd.
Marwah Pergub (Peraturan Gubernur) Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang penggunaan pakaian adat dan bahasa daerah Bali merupakan salah satu pergub yang berpihak pada pelestarian dan pemartabatan budaya, adat, dan bahasa Bali. Terobosan dan pemikiran inovatif Pemerintah Provinsi Bali di bawah nakhoda Dr. I Wayan Koster sebagai gubernur patut diapresiasi dan diberikan acungan jempol.
Di tengah euforia kemajuan kesejagatan teknologi di era milenial lahir Pergub 79 Tahun 2018 sebagai benteng pelestarian dan pemertahanan adat, budaya khususnya pakaian adat Bali dan bahasa ibu orang-orang Bali. Bahasa bukan barometer mengukur kemampuan seseorang apalagi menjustifikasi kemampuan seseorang hanya faktor bahasa.
Jangan sampai masyarakat (krama) Bali hanya bangga jika menggunakan hal-hal yang berlabel asing (berbahasa asing). Ada orang menguasai bahasa asing tetapi ketika berhadapan dengan adat dan budaya Bali menjadi gagap bahasa Bali padahal lahir dan besar di Bali, ironis.
Bahasa Bali adalah media komunikasi yang urgen dalam setiap kegiatan adat seperti saat pertemuan (paruman) adat, ada perkawinan merupakan satu ‘’keharusan’’ menggunakan bahasa Bali. Jangan sampai kita beridentitas Bali tetapi tidak mencerminkan orang Bali.
Orang Bali yang tidak mencerminkan Bali, itulah orang Bali yang ‘’Gaya’’ (Gagal Budaya) karena tidak mencerminkan adat dan budaya Bali. Pergub 79 Tahun 2018 goal-nya meminimalisir kegengsian menggunakan bahasa Bali. Di samping itu, agar tercipta persatuan di kalangan masyarakat Bali karena dengan menggunakan bahasa Bali standar (alus/madya) akan tercipta kesamaan dalam komunikasi.
Bahasa Bali dengan penutur orang Bali masih memunculkan dialek-dialek, seperti ada dialek bahasa Bali Buleleng, bahasa Bali dialek Badung, Negara dan sebagainya. Masing-masing dialek memiliki ciri bahasa yang sudah barang tentu ada ciri pembeda fonologi. Pergub ini adalah bagian alat pemersatu masyarakat Bali dalam penggunaan bahasa karena bahasa Bali stadar (alus/madya) hanya ada satu, yaitu bahasa Bali standar.
Bahasa daerah adalah aset bangsa maka hindari dan jangan sampai punah. Bahasa Bali jangan menjadi sarang tempat impralisme bahasa. Disadari atau pun tidak disadari Bali sudah kena dampak impralisme bahasa karena ‘’seakan-akan’’ bahasa asing (Inggris) sebagai penentu masa depan generasi Bali, bahasa asing (Inggris) sebagai penentu kue pariwisata Bali.
Padahal, sejatinya pariwisata Bali sangat ditopang oleh tradisi budaya, adat, dan kesopansantunan dari orang Bali dan bukan ditentukan oleh penguasaan bahasa asing. Bahasa apampun penting untuk dikuasai tetapi bahasa Bali merupakan bagian yang melekat dalam tradisi adat dan budaya Bali.
Apalagi Bali merupakan tujuan pariwisata dunia tidak mungkin lepas dari gerusan budaya Barat dan terkadang juga bahasa kena dampak negatifnya. Kue pariwisata memang dinikmati masyarakat Bali tetapi dampak dari itu pun tidak bisa dihindari. Mari dilihat tulisan-tulisan yang ada selalu berbahasa asing, sehingga orang Bali tinggal di tanah Bali serasa bukan berada di tanah leluhur Bali.
Mari buka kesadaran kita sebelum kita terlambat, sebelum Bali tenggelam karena gerusan kesejagatan teknologi dan keterbukaan terhadap dunia luar. ‘’Berpikir global bertindak lokal’’ itu jargon yang cocok direnungkan oleh masyarakat Bali. Pakaian adat Bali sudah mengalami pergeseran nilai dan penampilan penggunaan. Pakaian adat Bali sudah banyak dimodifikasi yang agak modern.
Ada pakaian adat dengan baju kebaya dengan tangan pendek. Dan di sisi lain, bahasa Bali sudah terkena dampak juga, bahasa Bali di kalangan brahmana ada sebutan aji untuk bapak, ada sebutan biang untuk ibu sekarang lebih banyak panggilan menggunakan pilihan kata nasional papa dan mama atau ibu dan bapak (ayah), kata beli (untuk kakak laki), mbok (kakak perempuan), we (paman), ada kata dadong, pekak mulai ditinggalkan menjadi kakek-nenek.
Kata-kata itu lama-kelamaan hilang karena kepasifan penggunaannya. Akankah pilihan kata-kata ini akan tenggelam begitu saja karena dianggap tidak menasional?
Adat bagian dari budaya dan bahasa salah satu unsur budaya sebagai alat pelestari. Terkikisnya kosa kata bahasa Bali bergesernya budaya pakaian adat Bali, Pergub 79 salah satu penyelamatnya.
Jargon Badan Bahasa ‘’utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing’’ adalah satu hal yang patut dikontemplasikan. Menggunakan bahasa Indonesia di negeri sendiri merupakan suatu keharusan sebagai identitas bangsa tanpa harus mematikan bahasa daerah dan tidak ada larangan menguasai bahasa asing. Pelestarian budaya adat dan bahasa Bali satu hal yang menyentuh jiwa masyarakat Bali yang diperkuat dengan Pergub Nomor 79 Tahun 2018.
Melestarikan bahasa Bali dengan pakaian adat dengan payung hukum pergub satu usaha pemerintah daerah Bali (Pemda Bali) pemertahanan atau pelertarian budaya dan bahasa Bali sebagai salah satu aset bangsa di bidang kebudayaan. Pergub 79 Tahun 2018 ini bukan mengurangi bentuk nasionalisme anak Bali. Pemertahanan tradisi budaya, adat, dan penggunaan bahasa Bali memang patut dilestarikan dengan tetap dan mengutamakan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa.
Bahasa menunjukkan jati diri karena bahasa bisa mencirikan martabat seseorang. Aturan yang mengharuskan instansi pemerintah dan swasta untuk menggunakan pakaian adat Bali dan berbahasa Bali setiap Kamis merupakan satu bentuk usaha pemerintah melestarikan budaya dan bahasa Bali. Satu bentuk kewajiban dengan diperkuat dengan pergub akan membawa implikasi positif sebagai efek pengiring kesantunan berbahasa.
Bahasa turun dari pikiran, dari pikiran lahir bahasa dan bahasa menentukan tindakan dan tindakan seseorang mencerminkan karakter. Jadi pikiran seseorang adalah karakternya. Pakaian adat Bali identik dengan bahasa Bali. Hal ini bisa dirasakan sebelum keluar Pergub 79 Tahun 2018 setiap purnama tilem juga menggunakan pakaian adat hanya tidak diikuti dengan penggunaaan bahasa Bali. Ketika dengan keluar pergub setiap Kamis instansi pemerintah dan swasta selalu menggunakan bahasa Bali.
Sudah ‘’seharusnya’’ orang Bali saat mengenakan busana adat Bali disesuaikan dengan perilaku apalagi dibarengi dengan penggunaan bahasa Bali. Etika, sopan santun, pakaian adat, dan bahasa Bali sudah menjadi satu-kesatuan dalam berperilaku yang bermartabat bagi masyarakat Bali. Ketika menggunakan bahasa Bali (alus/madya) komunikator jarang (semestinya tidak boleh) melakukan dengan kemarahan karena membahasakan kemarahan dengan bahasa Bali halus madya/alus akan menjadi kaku dan akan menimbulkan kegelian. Bahasa Bali halus akan menjadi satu kegelian dan terasa aneh nyeleneh jika digunakan saat orang marah.
Jika orang Bali marah pasti akan beralih menggunakan bahasa Bali kasar. Pergub 79 Tahun 2018 bentuk pengajaran kedamaian dan Kamis adalah salah satu hari tanpa kemarahan jika pergub dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten. Pakaian adat adalah bagian pelestarian budaya dan bahasa Bali membingkai bentuk komunikasi kedamaian.
Jika semua instansi pemerintah dan swasta menggunakan pakaian adat dan berbahasa Bali alus maka Kamis adalah hari tanpa kemarahan karena bahasa Bali alus jarang digunakan untuk komunikasi kemarahan. Kamis satu hari yang spesial sebagai hari pencipta kedamaian atau hari kesantunan berbahasa ibu. Maka Kamis adalah hari penuh dengan budaya kedamaian sebagai hari kedamaian Bali.
Bahasa tidak bisa dipandang sebelah mata, apalagi dianggap sebagai pelengkap kehidupan. Bahasa memang memiliki energi yang luar biasa untuk membentuk dan mengubah karakter seseorang. Energi berbahasa mampu mengubah perilaku dan kaarakter seseorang.
Ibarat segelas air bisa dibentuk dan membentuk kristal air yang indah karena diberikan energi bahasa yang penuh kedamaian. Ibarat segelas air yang diberikan japa mantra oleh seorang pendeta akan menjadi tirta sanjiwani dan diberikan japa mantra oleh seorang dukun akan menjadi obat. Bahasa memiliki energi positif jika digunakan secara positif dan memiliki energi negatif jika digunakan secara negatif.
Penulis, Guru SMAN 1 Rendang dan SMK Giri Pendawa