AMLAPURA, BALIPOST.com – Belakangan ini Gunung Agung semakin sering mengalami erupsi. Bahkan Senin (21/1), Gunung tertinggi di Bali itu kembali mengalami erupsi sebanyak dua kai. Ini menandakan aktivitas Gunung Agung masih cukup tinggi dan masih berpotensi terjadinya letusan susulan.
Berdasarkan pembuat laporan Magmavar dari PVMBG, Nurul Husaeni mengatakan, untuk erupsi pertama terjadi pada pukul 16:45 Wita. Akan tetapi tinggi kolom abu tidak teramati karena tertutup kabut tebal. Erupsi ini terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 22 mm dan durasi ± 1 menit 52 detik.
Sementara untuk erupsi kedua berselang beberapa menit yakni pada pukul 17:00 Wita. Tinggi kolom abu juga tidak teramati. Erupsi kedua terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 23 mm dan durasi ± 1 menit 17 detik.
“Sebelum Gunung Agung mengalami erupai dua kali yang jaraknya berselang bebetapa menit, lebih dulu sempat terjadi beberapa kali hembusan dengan ketinggian kolom 100 -300 meter di puncak,”katanya.
Kepala Sub Bidang Mitigasi Pengamatan Gunung Berapi Wilayah Timur, PVMBG, Devy Kamil Syahbana menjelaskan, kalau erupsi terjadi secara berdekatan itu karena overpressure atau kelebihan tekanan di dalam perut gunung.
Kata dia, tekanan ini bisa bersumber dari material magma yang naik secara masif maupun berupa gas-gas magmatik yang naik sedikit-sedikit untuk kemudian terakumulasi di kedalaman tertentu. “Pada kondisi dimana lapisan penutup/atas tidak mampu menahan tekanan dari bawah, maka erupsi ini terjadi,” ujarnya.
Devy Kamil menambahkan, hujan merupakan salah satu faktor eksternal yg bisa mempengaruhi aktivitas gunung api. Jelas dia, faktor eksternal lain yang bisa mempengaruhi aktivitas gunung api bisa juga gempa tektonik, efek tidak dan pengaruh yang lainnya.
Karena hujan dapat menyebabkan destabilisasi kubah lava. Air hujan, jika masuk ke dalam sistem vulkanik dan berinteraksi dengan uap magma yg panas, bisa juga memicu terjadinya hembusan bahkan letusan. Namun demikian, perlu diingat bahwa bukan hujan yang menyebabkan erupsinya, tapi memang karena ada kelebihan tekanan di dalam tubuh gunungnya sehingga erupsi terjadi.
“Dimana hujan hanya menjadi faktor trigger dari luar, hanya jika gunung apinya sedang kelebihan tekanan. Jika memang hujan yang menyebabkan erupsi, kenapa hanya Gunung Agung erupsi sementara gunungapi lainnya tidak. Jadi, tidak semua gunung api langsung reaktif meletus karena hujan,”tegas Devy Syahbana.
Disinggung apakah dengan adanya erupsi secara berdekatan ini, bakal memicu lebih sering terjadi erupsi, Devy Syahbana menegaskan, kalau pihaknya tidak berani memastikan hal itu. Erupsi yang terjadi tergantung aktivitas gunungnya. “Kita tidak bisa memprediksi persis kelakuan suatu gunung api ke depan. Kita hanya bisa mengikuti aktivitasnya dan melakukan respon yang sesuai dengan data-data yang ditunjukannya. Dan data saat ini menunjukkan bahwa erupsi masih berpotensi terjadi. Namun dengan eksplosivitas yang masih rendah, oleh karena itu kenapa statusnya masih Level III (Siaga). Kalau data mengindikasikan bahwa potensi ancaman bahayanya dapat meluas melebihi 4 km maka rekomendasi akan diperluas. Namun sampai saat ini belum ada indikasi ke arah sana,”tegas Devy Syahbana.
Atas erupsi yang kembali terjadi ini, pihaknya PVMBG tetap menghimbau kepada masyarakat di sekitar Gunung Agung tidak melakukan aktivitas maupun pendakian ke puncak Gunung Agung. Zona Perkiraan Bahaya sifatnya dinamis dan terus di evaluasi dan dapat diubah sewaktu-waktu mengikuti perkembangan data pengamatan Gunung Agung yang paling aktual/terbaru.
Begitu juga bagi warga yang bermukim dan beraktivitas di sekitar aliran-aliran sungai yang berhulu di Gunung Agung agar mewaspadai potensi ancaman bahaya sekunder berupa aliran lahar hujan yang dapat terjadi terutama pada musim hujan dan jika material erupsi masih terpapar di area puncak. Area landaan aliran lahar hujan mengikuti aliran-aliran sungai yang berhulu di Gunung Agung. (eka prananda/balipost)