pengungsi
Siswa sedang mengikuti proses belajar mengajar. (BP/dok)

Mencerdaskan kehidupan bangsa. Itulah salah satu cita-cita luhur para pendiri negara ini. Cita-cita luhur ini tertuang pada Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Untuk mencerdaskan bangsa ini, masalah pendidikan pun menjadi prioritas pembangunan.

Bahkan, masyarakat cenderung mengartikan mencerdaskan ini sebagai mengejar nilai akademis. Padahal, mencerdaskan kehidupan bangsa seperti termaktub dalam UUD 1945 cakupannya jauh lebih luas.

Mencerdaskan kehidupan bangsa seperti cita-cita para pendiri negara ini, lebih dari sekadar melahirkan manusia cerdas seperti para ahli. Kehidupan yang cerdas menyangkut kesadaran akan harga diri, harkat, dan martabat, kemandirian, kejujuran dan sejenisnya. Bukan cerdas hanya pintar dalam akademis.

Cerdas dalam hal ini mampu menciptakan solusi bagi masalah yang dihadapi dalam kehidupan nyata. Cerdas dalam arti mampu mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dari pendidikan untuk dirinya dan lingkungan serta kondisi yang dihadapi.

Kekeliruan mengartikan cerdas terfokus pada akademis, berdampak pada antusiasme masyarakat mengejar prestasi akademik anak-anak mereka. Bahkan, ini telah menjadi semacam gengsi di masyarakat. Antusiasme dan gengsi para orangtua ini melahirkan peluang berdirinya berbagai tempat bimbingan belajar (bimbel), les dan sejenisnya.

Baca juga:  Inovasi Pembelajaran dan Aspirasi Guru

Bahkan, para guru ikut membuat bimbel, memberikan les pada murid-muridnya. Hanya sangat disayangkan, banyak oknum guru menjalankan tujuan mulia ini dengan menyimpang. Di antaranya, sengaja mengurangi materi pelajaran yang diberikan di dalam kelas agar bisa diberikan pada bimbel atau les yang dibukanya. Parahnya lagi, ada yang sampai melakukan ‘’intimidasi’’ pada peserta didik yang berani tidak ikut di tempat bimbel atau les guru bersangkutan.

Misalnya, dengan memberikan nilai jelek meski sebenarnya si anak itu lebih pintar dari anak-anak asuhnya di bimbel atau les yang dimiliki sang guru. Mirisnya lagi, banyak oknum guru pemilik bimbel atau les yang membocorkan soal, memberi kunci jawaban pada anak-anak yang ikut di bimbel atau les miliknya. Ini tentu tidak adil dan sangat merugikan anak-anak yang tidak ikut belajar di bimbel atau tempat les guru yang bersangkutan.

Baca juga:  Menjadi Teladan Gerakan Membaca

Sebagai orangtua, semestinya harus berpikir smart terhadap fenomena ini. Dalam arti, mereka seharusnya merasa telah dibodohi oleh tempat bimbel atau les dan oknum guru seperti itu. Bagaimana tidak, tujuan para orangtua mengikutkan anak-anak mereka bimbel atau les adalah untuk menjadikan lebih cerdas.

Sementara dengan praktik yang dilakukan bimbel dan tempat les maupun oknum guru seperti itu, mereka sebenarnya telah dibodohi dan dibohongi. Anak-anak malah akan dibuat menjadi manja dan malas belajar. Karena, mereka sudah tahu bakalan mendapat jawaban, bocoran soal, bahkan nilai bagus tanpa harus belajar keras atau meski bodoh sekalipun. Cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa pun berbalik jadi pembodohan kehidupan bangsa.

Baca juga:  PTM Terbatas, Sekolah Diwajibkan Memiliki Gugus Tugas

Untuk menekan praktik seperti ini, perlu sebuah regulasi dan tindakan tegas dari pemerintah. Guru-guru tidak boleh membuka bimbel, memberikan les di rumah dan sejenisnya. Ini sebenarnya sudah dilakukan pemerintah dengan memberlakukan full day school.

Para guru bisa memberikan bimbingan belajar dan pelajaran tambahan pada jam sekolah di sekolah bersangkutan. Jikapun ada orangtua yang merasa anak-anak mereka masih perlu tambahan pelajaran lagi, bisa mengikutkan di bimbel atau les yang diselenggarakan pihak swasta. Termasuk, bimbel online yang kini berkembang.

Dengan begitu, guru-guru bisa lebih fokus mengajar di kelas, lebih independen, berintegritas dan lebih dipercaya masyarakat. Yang utama, jangan sampai cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa malah berbalik menjadi pembodohan bangsa hanya demi mengejar nilai akademis dan mengejar gengsi.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *