DENPASAR, BALIPOST.com – Struktur perekonomian Bali selama ini ditopang oleh pariwisata. Sektor tersier ini paling banyak berkontribusi dalam pembentukan PDRB, khususnya dari penyediaan akomodasi, makan, dan minum.
Dalam kurun waktu 2005 hingga 2017, sektor tersier menyumbang 69,36 persen PDRB Bali. Jauh meninggalkan sektor primer yang hanya 15,32 persen dan sektor sekunder sebesar 15,30 persen. “Sekarang kan kita sangat tergantung dengan pariwisata. Ketika pariwisata terancam gunung agung meletus, bencana alam lain atau keamanan, teroris, itu kan langsung pariwisata anjlok. Ekonomi masyarakat anjlok, kemudian pendapatan anjlok itu kan berdampak pada kesejahteraan,” ujar Kepala Bappeda Litbang Provinsi Bali, I Wayan Wiasthana Ika Putra, Senin (21/1).
Menurut Ika Putra, pemerintah kini mengupayakan agar Bali tidak hanya tergantung dengan pariwisata. Dalam hal ini, pariwisata terus didorong agar naik, berkualitas, dan menghasilkan lewat kontribusi wisatawan.
Namun, sektor primer dan sekunder yakni pertanian dan industry kecil harus bisa mengejar kemajuan pariwisata. Dengan begitu, kontribusi sektor primer, sekunder, dan tersier dalam pembentukan PDRB menjadi lebih seimbang. “Kalau pertanian, industry kecil kuat, pariwisata nanti turun, ini kan aman ekonomi Bali. Jadi, bukan pariwisata diturunkan. Tapi kontribusi PDRB Bali supaya tidak tergantung dari pariwisata saja,” jelasnya.
Ika Putra menambahkan, pertanian Bali tertinggal ketika pariwisata berkembang di Bali didukung dengan kondisi global yang memungkinkan. Semua calon petani beralih ke pariwisata. Begitu juga lahan-lahan pertanian menjadi lahan akomodasi pariwisata. Kendati pemerintah sudah berupaya membuat kebijakan yang berpihak kepada pertanian, tapi ternyata tak kuasa membendung cepatnya laju pariwisata. “Sekarang gubernur membawa pemberdayaan petani, pemberdayaan industry kecil dan menengah, pemberdayaan komunitas adat. Pariwisata tetap maju terus, tapi ini harus bisa mengejar. Itu tertuang dalam RPJMD,” imbuhnya.
Program-program pemberdayaan, lanjut Ika Putra, sekaligus menjadi upaya untuk mengentaskan angka kemiskinan, di samping memberikan bantuan yang langsung menyentuh rakyat miskin, berupa bedah rumah dan lainnya. “Dengan pendirian lembaga ekonomi, pengelolaan koperasi adat, pariwisata digenjot terus, pendapatan diangkat, dan sebagainya, kalau itu dapat ya sudah (kemiskinan dapat diturunkan, red). Jadi, beliau (gubernur, red) sudah konsisten dengan itu, optimis kita capai. Tapi tentu saja sinergi dengan kabupaten/kota,” tandasnya. (Rindra Devita/balipost)
Selama ini PDRB yg terus meningkat adalah pertanda baik mengenai perekonomian Bali, dari semua sektor (primer/pertanian,sekunder/industri kecil, dan tertier/pariwisata). Ketika kontribusi pariwisata terhadap PDRB disadari semakin besar (secara kuantitas dan tentu saja secara prosentase), kemudian disadari sektor ini rentan terhadap gangguan. Apabila ini terjadi, berkurangnya “pendapatan” dari sektor ini tentu tidak bisa serta merta tergantikan oleh kontribusi pertanian dan usaha kecil. Namun bila dilihat secara keseluruhan, semuanya ini terjadi dalam satu ruang, yakni pulau Bali itu sendiri. Bukankah selama mengembangkan pariwisata, telah merubah peruntukan lahan yg notabene mengurangi kegiatan pertanian? Dan menyedot generasi muda menggeluti pariwisata dan menjauhi pertanian yg kurang menjanjikan secara ekonomi dan prestise. Sekarang tidak usah koar-koar mau bantu petani, kalau di satu sisi secara masif mengeluarkan ijin untuk pembangunan hotel, villa, home stay, bungalow. Ingat luas pulau Bali tidak bertambah, kalau untuk yg satu dikembangkan, sisa lahan untuk yg lain akan semakin ciut. Hukum alam ya begitu itu. Sekarang bagaimana mengelola pariwisata dengan segala potensi gangguannya, dengan antisipasi yang tepat sehingga resiko sekecil mungkin.