Sosialisasi Ranperda Desa Adat, Senin (21/1) di Tabanan. (BP/dok)

Oleh I Gde Parimartha

Paruman agung krama Bali tentang Perda Desa Adat telah dilakukan pada 12 Desember 2018 di Wantilan Pura Samuan Tiga, Desa Bedulu, Gianyar. Hasilnya sangat menggembirakan, karena harapan masyarakat Bali agar terjadi sinergi antara desa adat dan dinas di Bali berhasil dirumuskan.

Rumusan ranperda sinergis itu tidak lepas dari peran yang besar dari Gubernur Wayan Koster meski masih harus disampaikan kepada DPRD Bali, untuk dibicarakan dan mendapatkan rekomendasi agar dapat disahkan. Masyarakat Bali angayubagia atas keberhasilan itu.

Konsep apa yang sesungguhnya diperlukan dalam mengemban desa adat di Bali, dapat kiranya digambarkan sebagai berikut. Desa adat seperti yang sudah dikenal luas adalah merupakan suatu kelompok masyarakat hukum (adat) yang mengatur kelompoknya sendiri dan tinggal di wilayah tertentu. Dalam UUD disebut “mempunyai susunan asli dan karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa” (Penjelasan Pasal 18 UUD 1945). Dengan kutipan demikian dapat dimengerti, bagaimana pemerintah Republik Indonesia mengakui, menghormati, menghargai keberadaan desa asli tersebut.

Artinya pula bahwa desa asli sebagai bentukan lama masyarakat Indonesia patut dihargai, tetapi harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman setelah masa kemerdekaan. Desa-desa asli itu disebut secara beragam di seluruh kepulauan (seperti: nagari, kampung, dasan).

Di Bali, jenis desa itu disebut ‘’desa adat’’ atau ‘’desa pakraman’’. Desa adat di Bali, seperti yang kuat dipahami telah terbangun dalam karakternya yang otonom, desa mawacara, tidak langsung berada di bawah kekuasaan supradesa. Oleh karena itu, ketika masyarakat Bali mengatakan ingin menguatkan eksistensi desa adat sebagai benteng terdepan membela nilai-nilai budaya Bali, maka apa pun bentuk Perda Desa Adat itu, patut mewujudkan semangat yang tetap otonom, independen, tidak terstruktur di bawah kekuasaan lain.

Agar terjadi interaksi yang membangun satu sama lain dan dengan pemerintah, di sini perlu dibentuk satu forum desa adat, yang berfungsi membina, membantu memecahkan masalah-masalah desa adat. Itu bisa dalam bentuk Paruman Desa Adat atau Majelis Desa Adat. Dengan begitu, desa adat dapat berfungsi sebagai pasangan (mitra) pemerintah dalam tugas-tugas membangun desa.

Peraturan Daerah tentang Desa Adat yang akan dibangun harus dapat mewujudkan semangat yang dimiliki desa adat. Sebagai perspektif ke depan, apa pun bentuk negara Indonesia yang dibangun, desa adat tetap eksis, desa mawacara.

Pada zaman kolonial, desa-desa semacam itu banyak yang tidak dapat meneruskan hidupnya, karena pengaruh tekanan kolonial. Tetapi desa adat (di Bali) dan nagari (di Sumatera Barat) tetap hidup bertahan sampai di zaman kemerdekaan. Di sini masyarakat Bali boleh bangga dengan keadaan seperti itu. Karena itu, di Bali pemerintah kolonial membentuk desa tersendiri, yang disebut desa dinas (asalnya dari kata diens – Belanda), yang kemudian hidup berdampingan dengan desa adat.

Baca juga:  Jimbaran Gelar Sidak Besar-Besaran

Selama perjalanan sejarahnya, desa adat dan dinas di Bali berjalan baik, bagaikan pasangan suami dan istri, hidup saling melengkapi satu sama lain. Kalaupun di desa terjadi konflik, itu bukan karena masalah antara desa adat dan desa dinas. Itulah gambaran konsep dan perspektif mengenai desa adat, sebagai wujud masyarakat hukum adat di Bali.

Kini muncul pula rencana pemerintah pusat merumuskan Rancangan Undang-undang tentang Masyarakat Hukum Adat di Indonesia. Karena itu, perlulah pula rencana pemerintah pusat itu menjadi perhatian dari terutama para anggota dewan di Bali, yang kini sedang mencermati Ranperda tentang Desa Adat, agar nantinya dapat nyambung dengan apa yang diharapkan dari eksisensi desa adat.

Intinya, Pemerintah Daerah Bali juga mesti berupaya, rela memberikan ruang yang nyaman bagi desa adat, agar dapat berfungsi sesuai yang diharapkan, yakni menjaga marwah nilai-nilai budaya Bali yang dilandasi filosofi Tri Hita Karana, dan kearifan lokal ‘’Sat Kerti Loka Bali’’, seperti digagas Pemerintah Provinsi Bali. Dengan begitu, nilai keberagaman, multikultur masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila, terpenuhi di dalamnya.

Bahwa ke depan model sistem desa ganda di Bali, dapat menjadi contoh membangun konsep desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan mengangkat, menggali nilai-nilai kearifan dari masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia. Istilah susunan kata ‘’Masyarakat Hukum Adat’’ dapat menjadi payung dari bentuk-bentuk desa/masyarakat adat yang berserakan di Kepulauan Indonesia.

Kebangkitan masyarakat hukum adat di Indonesia, kini tampak merupakan satu keniscayaan. Undang-undang RI No.6 Tahun 2014 tentang Desa, tampak memberi petunjuk ke arah itu. Disebut di pasal 95 antara lain, ‘’Pemerintah Desa dan masyarakat desa dapat membentuk lembaga adat desa’’. ‘’Lembaga adat desa, sebagaimana dimaksud, bertugas membantu pemerintah, desa, dan sebagai mitra dalam memberdayakan, melestarikan, dan membangun adat istiadat, sebagai wujud pengakuan’’.

Oleh karena itu, Ranperda Desa Adat Bali yang membangun sinergi antara masyarakat adat dan dinas (sebagai mitra) akan menjadi contoh yang baik dan maju dalam menata kehidupan berbangsa, bernegara, dengan menjunjung nilai-nilai filosofi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Ranperda Desa Adat Bali

Mencermati Ranperda Desa Adat, dapat disampaikan acak demikian. Berbagai masukan, kritik telah muncul. Hal itu dapat dibaca dari koran-koran terbitan Bali yang meliput masalah itu.

Semoga dengan itu, Ranperda Desa Adat yang sedang digodok akan semakin sempurna hasilnya. Sebuah perda – menurut penulis – haruslah mampu menjadi jembatan penghubung antara peraturan pemerintah dan peraturan desa adat. Apabila tidak, maka itu akan menemukan gap, tidak nyambung antara keduanya.

Karena itu pula, perda tidak perlu menjadi eksklusif, sehingga tidak dapat dijalankan oleh masyarakat. Di sini, saya sampaikan secara acak, sesuai apa yang dapat saya pikirkan.

Apabila diperhatikan secara keseluruhan dapat dikatakan Ranperda Desa Adat ini sudah bagus, banyak hal baru masuk, bila dibandingkan dengan Perda Desa Pakraman No.3 Tahun 2001, terutama terkait dengan sinergi desa adat dan dinas. Visi ‘’Nangun Sat Kerti Loka Bali’’ – menarik, bagus. T

Baca juga:  Desa Adat Diminta Awasi Zona Larangan Bermain Layang-layang

etapi kalau boleh penulis sampaikan usul, kata-kata, ‘’Prinsip Tri Sakti Bung Karno’’ diganti dengan prinsip filosofi Tri Hita Karana. Karena Tri Hita Karana merupakan landasan filosofi kehidupan yang mendasar bagi masyarakat Bali Hindu. Kalau filosofi Tri Hita Karana dipegang, apa yang dimaksud dalam Tri Sakti Bung Karno sudah termasuk di dalamnya.

Misi, sebanyak 22 sudah cukup komprehensif, tidak perlu penulis komentari. Hanya mungkin perlu dikategori atau kelompokkan sesuai karakter, substansinya. Sedangkan tabel sandingan apa penting? Menurut penulis, kurang penting. Kalau diperlukan dapat dibuat berupa lampiran di belakang untuk pengenalan Perda Desa Pakraman sebelumnya.

Disebutkan, ‘’Desa adat yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah, diurus oleh perangkat daerah pemerintah provinsi yang khusus membidangi adat, tradisi, dan kearifan lokal masyarakat Bali. Apa arti kata ‘’diurus oleh perangkat daerah’’ di sini? Perlu dijelaskan lebih jauh, agar para prajuru desa adat jangan merasa diterobos wewenangnya. Tidak tahu, mungkin dapat diganti dengan kata ‘’dikoordinasi’’ oleh perangkat daerah.

Sementara dalam Bab V, Unsur Pokok Desa Adat ditulis Tri Hita Karana, tiga bidang, unsur pokok yang menjadi urusan desa adat, cocok. Tetapi mengenai pengelompokan krama. (1) Krama desa adat, yaitu penduduk beragama Hindu yang mipil dan tercatat di desa adat setempat. (2) Krama tamiu, penduduk beragama Hindu yang tidak mipil, tetapi tercatat di desa adat setempat, (3) Tamiu, yaitu orang selain krama desa adat dan krama tamiu yang berada di wewidangan untuk sementara, atau bertempat tinggal dan tercatat di desa adat setempat.

Untuk No.2, krama tamiu adalah penduduk beragama Hindu, tidak mipil (artinya tidak menjadi krama desa adat), tatapi tercatat di desa adat. Pertanyaannya, apa perlunya prajuru desa adat mencatat, mereka bukan krama desa adat. Di mana peran perbekel atau kepala dusun ditempatkan? Karena pencatatan penduduk pendatag sebelumnya dicatat oleh perangkat desa dinas.

Kalau perangkat dinas tidak diberikan tugas, di mana sinerginya? Tugas prajuru adat menjadi sangat berat. Bila mau sinergi, tentu pekerjaan dapat dibagi. Catatan, atau pengetahuan mengenai duktang (Hindu atau non-Hindu) dapat diketahui dari catatan petugas desa dinas.

Di sini juga konsep sinergi adat dan dinas dari ranperda perlu ditunjukkan. Dalam hubungan ini, penulis setuju, kalau krama Bali yang tinggal di wilayah desa adat lain, tidak otomatis menjadi krama adat setempat. Itu tergantung niatnya/kesepakatannya, bisa ikut atau tidak, terkait keadaannya di desa adat asalnya, jangan sampai memberatkan.

Juga urusan penduduk pendatang sudah biasa menjadi urusan desa dinas. Sebelumnya sudah sinergis. Kenapa harus berubah, yang bisa menimbulkan ketidakseimbangan? Yang penting terjadi sinergis, maka kesalahpahaman dihindarkan.

Baca juga:  Memahami dan Mengembangkan Kekuatan

No.3 Tamiu, di sini dimengerti sebagai orang/penduduk non-Hindu yang tinggal sementara atau tetap dan tercatat di desa adat setempat. Pertanyaannya, apabila itu tercatat di desa adat, bagaimana dengan desa dinas? Apa perannya mengenai penduduk pendatang (tamiu) itu? Bagaimana dengan pendatang yang sudah tinggal lama/menetap di wilayah desa adat? (orang Desa Tenganan menyebut yang demikian, sebagai wong angendok jenek).

Di sini belum nampak sinergi adat dan dinas dalam menangani penduduk pendatang (tamiu). Tugas desa adat menjadi berat. Juga ketika tidak sinergis, mungkin terjadi salah paham, sehingga memunculkan tuduhan pungli. Ini harus diwaspadai.

Dalam Bab IX tentang Sistematika Ranperda Desa Adat (ada 18 bab). Salah satu bab adalah Desa Tua (Bab IX). Apa perlu menaruh desa tua secara utuh/tersendiri di sini? Menurut penulis, desa tua itu juga sudah tercakup di dalam konsep desa adat, hanya dia berbeda dengan desa-desa dataran dalam karakteristiknya. Karena itu sudah patut dimengerti dalam satu konsep ‘’desa adat’’ dalam sifatnya yang desa mawacara. Menurut penulis, bab tentang desa tua itu, kurang perlu.

Sedangkan Bab X, soal Tugas dan Wewenang Desa Adat, menurut penulis  dalam merumuskan tentang tugas dan wewenang desa adat, di sini muncul ‘’penyelenggaraan pendidikan’’ (No.5). Menyelenggarakan pendidikan formal di sini, meski berbasis Hindu, sepertinya melulu tugas desa adat saja.  Di sini juga penting peranan petugas dinas (hubungan dengan desa dinas).

Kenapa di sini tidak muncul sinergi itu? Perlu mendapat perhatian, agar semangat sinergi itu selalu muncul. Sebab, membangun desa itu, berarti membangun desa secara keseluruhan, lebih-lebih program yang bersifat umum, seperti pendidikan, kesehatan, urusan air, sarana transportasi, dan sebagainya, mesti kerja sama adat dan dinas selalu dimunculkan. Jangan adat saja yang berperan.

Sedangkan dalam Bab XIII dibahas Majelis Desa Adat. Di sini ditulis, ‘’Majelis Desa Adat Bali mempunyai wewenang’’. Di awal, uraiannya tampak belum memberi penjelasan tentang Majelis itu. Apa yang dimaksud dengan Majelis Desa Adat, perlu dijelaskan, bagaimana itu dibentuk, apa unsur-unsurnya, apa tugasnya, dan bagaimana hubungannya dengan desa adat itu sendiri?

Hal itu perlu, jangan sampai desa adat yang merasa otonom, desa mawacara, menjadi tidak berkutik karena hubungan hierarki yang mengikat. Pendapat penulis, baik kalau Majelis Desa Adat mempunyai fungsi sebagai forum pengayom, pembina, atau penasihat, membantu memecahkan masalah-masalah yang muncul di desa adat. Dalam hubungan ini, Majelis Desa Adat berhubungan dengan pemerintah daerah di tingkat masing-masing. Butir-butir wewenang yang tertulis di sini, dapat merupakan bagian dari tugas besar (umum) Majelis Desa Adat.

Penulis, Guru Besar Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *