Ratusan fans sepak bola perwakilan dari 14 klub sepk bola di Indonesia, menggelar aksi damai di depan pintu masuk Hotel Sofitel tempat berlangsungnya kongres Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Minggu (20/1). (BP/dok)

Oleh Ngurah Adnyana

Kongres PSSI di Nusa Dua beberapa waktu lalu menghasilkan keputusan mundurnya ketua umum yang sekarang Edy Rahmayadi. Salah satu tuntutan masyarakat penggemar bola adalah mundurnya ketua umum ini karena dipandang gagal dalam mengelola PSSI, terutama dalam hal merebaknya kasus pengaturan skor.

Seperti gayung bersambut, Edy akhirnya mundur dengan alasan gagal dalam pengelolaannya itu, terkait juga dengan pengaturan skor. Akan tetapi, dalam kongres ini dipandang juga mengalami kegagalan karena tidak berhasil merancang kongres luar biasa, di mana dalam kongres tersebut nantinya akan dilakukan perombakan besar-besaran terhadap kepengurusan yang sekarang. Perombakan ini diharapkan kelak akan mampu mengubah wajah PSSI menjadi lebih baik.

Bagaimana harus melihat kondisi ini? Yang pertama, mundurnya ketua umum sekarang dapat dipandang sebagai hal positif. Dalam arti, bukan melihat kepemimpinannya jelek atau gagal tetapi lebih pada tuntutan masyarakat dan kondisi sepak bola Indonesia. Barangkali soal mundur ini dapat diidentikkan dengan mundurnya berbagai pelatih klub atau timnas di Eropa, yang kalau tidak dipecat, akan mengundurkan diri jika gagal melatih klubnya.

Bukan berarti mereka itu jelek, karena terbukti terpakai lagi dan berhasil di klub lain. Begitu juga dengan Edy Rahmayadi ini. Ada alasan psikologi sosial di dalamnya, sehingga kalau mundur, paling tidak rasa percaya diri sosial akan muncul. Atau tersedianya ruang dan suasana baru sehingga dapat memulai sesuatu dengan cara-cara yang lebih baru.

Momen untuk mundur dari ketua umum ini juga bagus. Dalam arti, ia mundur tidak terlalu lama ketika masyarakat bola menghendakinya. Artinya, ada respons positif terhadap tuntutan masyarakat, dan mundurnya itu dengan damai tanpa ada gerakan macam-macam, dan dilakukan pada kongres PSSI.

Baca juga:  Menjaga Peradaban Bali

Langkah ini dapat menjadi pembelajaran luas bagi masyarakat Indonesia: tuntutan mundur dan proses mundurnya sang Ketua Umum PSSI terjadi tanpa gejolak. Ini merupakan sebuah pembelajaran di tengah iklim  politik kita yang gaduh.

Di sini, PSSI justru memberikan pelajaran yang bagus kepada para politisi. Fenomena yang ada di PSSI adalah adanya tuntutan mundur (tidak dilakukan secara gaduh) dan proses mundurnya juga tidak dihiasi dengan berbagai sikap yang berisik.

Bandingkanlah dengan sikap politisi Indonesia dengan antek-anteknya. Mereka berisik sekali, mengokupansi jalan raya sampai dengan meneror lawan politik. Alangkah purbanya sikap-sikap mereka. Tidak gaduh di ruang kelembagaan, gaduh juga di jalan, gaduh di televisi, bikin jengkel di media sosial.

Sesungguhnya potensi kegaduhan baik internal maupun eksternal PSSI ini besar karena ia boleh dikatakan simbol nasional yang bahkan langsung menyentuh rakyat. Sepak bola Indonesia yang berprestasi akan memperkuat kebanggaan nasional, memperkuat nasionalisme, bahkan dapat memperkuat identitas nasional. Misalnya, Indonesia adalah negara yang sepak bolanya disegani di Asia. Dengan prestasi sepak bola, rasa persaudaraan antarsuku akan bertambah kuat.

Akan tetapi, dengan begitu pentingnya posisi sepak bola dalam kancah nasional, tetap para pendukung maupun pengurusnya tidak gaduh hanya untuk menuntut pengunduran diri ketuanya. Sedangkan politik yang skopnya demikian kecil, sebatas partai politik, justru kegaduhannya dapat merusak lembaga. Jelas, dari titik ini kegaduhan politik itu disetir oleh orang atau kelompok tertentu. Sedangkan di sepak bola, kegaduhan pengurus itu dapat dikendalikan.

Baca juga:  Potensi Politisasi Vaksin COVID-19

Bagaimana dengan kekerasan yang terjadi antara suporternya? Persolan kekerasan antarsuporter, lebih banyak tergantung kepada kemampuan pihak keamanan untuk melakukan pengendalian wilayah. Artinya, masing-masing kelompok suporter telah mempunyai komandan, dan di setiap wilayah tersebut juga ada pihak keamanan (petugas kepolisian). Misalnya di daerah Paneleh Surabaya, ada kelompok suporter dan di wilayah itu pun ada petugas kepolisian.

Koordinasi antara kepolisian dan komandan suporter akan lebih mampu menekan kekerasan suporter.  Sedangkan pendukung politik atau massa politik bergerak terus-menerus tanpa ada batasan wilayah. Suporter Persebaya dapat dikatakan terkonsentrasi paling besar di Surabaya, sedangkan suporter politik konsentrasinya sama di mana-mana. Ini yang membuat sepak bola sesungguhnya lebih mudah diatur dibanding dengan massa politik.

Hal kedua yang harus dilihat dari kongres yang digelar di Bali ini adalah bahwa ada keuntungan kalau kongres luar biasa itu tidak dilaksanakan secepat yang diinginkan. Atau katakanlah pergantian kepengurusan secara besar-besaran tidak dilakukan secara mendadak. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa pergantian besar-besaran itu akan dilakukan pada tahun 2020 saat periode akhir pengurusan ini selesai.

Pilihan ini boleh dikatakan bagus, dan lagi-lagi apabila dikaitkan dengan politik Indonesia. Mungkin benar jika ada pengurus PSSI yang mempunyai agenda politik pada Pemilihan Umum 2019 ini. Apa boleh buat, itulah yang menjadi identitas kepolitikan Indonesia. Justru karena kita ingin melihat perkembangan sepak bola Indonesia yang maju kelak, pergantian menjelang pemilihan umum ini tidak baik dilakukan. Potensi ributnya pengurus akan lebih besar lagi dan demikian juga potensi pecahnya organisasi. Para penggemar sepak bola harus sabar dengan hal ini.

Baca juga:  Wagub Cok Ace Berharap Perkembangan Sepak Bola di Bali Berjaya

Waktu sampai tahun 2020 untuk mengganti kepengurusan itu merupakan rentang yang bagus untuk membuat berbagai pertimbangan, melihat perkembangan organisasi yang ada. Dari situlah akan terlihat tokoh-tokoh yang benar-benar mencintai sepak bola, netral dari posisi politik dan tidak membawa organisasi ke dalam kancah politik.

Akan tepat waktunya untuk memilih pengurus tahun 2020, apabila kita mampu melihat berbagai perkembangan sejak sekarang. Apabila terlalu bernafsu untuk melakukan pemilihan dan memaksakan kehendak untuk mereformasi, akan membikin kesalahan langkah dan kembali merusak organisasi.

Pelajaran Indonesia dalam menempuh reformasi harus dipelajari secara mendalam. Juga reformasi yang terjadi di Mesir dan Suriah. Penggantian pengurus PSSI adalah sebuah reformasi. Indonesia tahun 1998 terlalu mendesak dan grasa-grusu melakukan reformasi. Hasilnya hingga sekarang tidak jelas arahnya: korupsi masih merajalela, politisi mempunyai akar tidak jelas (ada dari preman), pembangunan belum terlalu beranjak maju.

Ketika tahun 1998 diberikan jeda melalui pemerintahan B.J. Habibie, kita juga tidak tahu apa arti jeda tersebut. Mesir dan Suriah lebih parah lagi. Untuk itulah, mari tunggu waktu sampai 2020 untuk memilih pengurus terbaik PSSI. Pergunakan waktu sebaik-baiknya untuk berpikir dan melakukan pengamatan.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *