Oleh Dr. I Wayan Jondra
Satu orang wangsa Bali golput sama artinya memberi satu suara kepada calon yang tidak peduli Bali. Orang Bali “Hindu” yang berjalan di jalan dharma tidak boleh golput.
Wangsa Bali harus memilih pada tanggal 17 April 2019, pilihlah calon-calon anggota DPD, DPR, DPRD, dan presiden yang memahami, cinta dan melindungi Bali. Jangan alergi politik. Politik adalah langkah awal untuk menjalankan dharma.
Dengan memegang teguh prinsip vasudeva kutumbhakam (semua orang sesungguhnya bersaudara) orang yang memahami, cinta dan melindungi Bali pasti akan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbineka ini. Satu orang wangsa Bali golput (tidak memberikan suara pada saat Pemilu) artinya memberikan satu suara kepada orang yang tidak peduli Bali.
Sebagai ilustrasi jika terdapat calon si A dan si B, dengan pemilih 10 orang. Jika 6 orang memilih si A dan 4 orang memilih si B, maka selisih si A dikurangi si B adalah 2 suara. Jika si B ingin menang dari si A maka dia butuh 3 suara.
Jika pada hari pemungutan suara terdapat 3 orang yang semestinya pemilih si A ternyata golput, maka si A memperoleh 3 suara, sedangkan si B memperoleh 4 suara. Maka si B menang 1 suara dari si A.
Artinya, 3 pemilih yang golput secara tidak langsung memberikan 3 suara kepada si B. Dengan demikian, tanpa banyak berbuat si B dapat dengan mudah mengalahkan si A. Dengan demikian, golput bukan berarti tidak memberi suara kepada siapa-siapa, tetapi secara tidak langsung memberi suara kepada yang semestinya tidak dipilih.
Bagi wangsa Bali harus memilih dalam Pemilu bahkan bila perlu menjadi calon dalam Pemilu. Dari pemilulah keputusan politik diambil, dan menjadi cikal bakal dari tindakan lainnya. Dalam nasihatnya Bhisma kepada Yudhistira yang tertuang kitab Santi Parwa menyampaikan sebagai berikut: ”Manakala politik telah sirna, Weda pun sirna pula, semua aturan hidup hilang musnah, dan semua kewajiban manusia akan terabaikan. Ketika tujuan hidup manusia antara lain: dharma, artha, kama (semakin menjauh), dan ketika pembagian tugas masyarakat semakin kacau, maka politiklah tempat kita berlindung; Politiklah sebagai awal semua tindakan; berdasarkan hasil keputusan politiklah semua kegiatan agama dan yajna diikatkan; Dalam politiklah semua pengetahuan dipersatukan; dan dalam politiklah semua dunia terpusatkan”.
Dalam Kautilya Arthasastra juga dapat ditemukan hasil akhir politik yaitu pemerintah bertujuan untuk melaksanakan dharma, di mana: memperbaiki tempat suci, memberi punia kepada guru-guru kerohanian, dan membangun tempat-tempat pertapaan adalah kewajiban pemerintah. Betapa penting posisi politik bagi para Dharmika.
Wangsa Bali harus ingat pada tujuan hidup yaitu: mokshartam jagad hita ya ca iti dharma. Agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan batin (moksa). Dalam melaksanakan Pemilu/pemilihan di dalamnya sekaligus wangsa Bali melaksanakan dharma agama dan dharma negara.
Memberikan suara dan berpolitik merupakan salah satu wujud dharma negara. Dharma negara merupakan kewajiban umat Hindu untuk patuh pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak dan kewajiban warga negara. Dari pemilihan inilah akan terbentuk pemerintah yang sah dan dipilih secara demokratis. Pemerintah yang sah ini akan membuat keputusan-keputusan yang yang mengatur tata kehidupan warganya secara teratur.
Tata kehidupan masyarakat yang teratur akan mendorong berfungsinya masyarakat sesuai pembagian tugas masing-masing. Kesesuaian tugas masing-masing warga akan mengantarkan wangsa Bali pada penjabaran tujuan hidup dalam catur purusha artha. Catur purusa artha terdiri atas dharma, artha, kama, dan moksa. Untuk pencapaian mokshartam jagadhita maka tahapan pencapaian tujuan hidup catur purusa artha adalah suatu keniscayaan.
Berdasarkan pemahaman dharma, masayarakat mencari artha atau kesejahteraan, berdasarkan dharma dan artha yang dimiliki wangsa Bali akan memenuhi kebutuhan hidupnya, jika ketiga hal tersebut berjalan dengan baik maka astungkara moksa pun akan tercapai. Sehingga pencapaian tujuan hidup wangsa Bali dimulai dari politik. Sebagai pemilih yang cerdas, pilihlah calon pemimpin Bali dan pusat yang memahami dan ngelakoni, menjaga, memelihara, serta membela adat, serta budaya Bali.
Dengan memilih secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, maka Pemilu akan berjalan damai. Pemilu bukanlah penyebab masyarakat pilu tetapi pemicu masyarakat Indonesia lebih unggul. Tindakan masyarakat yang golput/tidak memberikan suaranya pada saat Pemilu dapat diduga tindakan yang tidak sesuai dengan jalan dharma. Pastikan diri tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap, amati track record calon, amati elektabilitas calon, akhirnya pilih dengan hati nurani.
Penulis adalah Ketua Harian Pengurus Pusat Persadha Nusantara, dan dosen Politeknik Negeri Bali