DENPASAR, BALIPOST.com – Bali memiliki kekayaan tidak hanya budaya tapi juga makanan dan minuman, termasuk minuman beralkohol. Di Jepang, minuman beralkoholnya yakni sake sangat mendunia. Kondisi serupa juga terjadi di Korea yang dikenal memiliki mikol tradisional bernama soju.
Bali sebenarnya juga memiliki mikol tradisional, arak, namun belum dikembangkan dengan baik. Padahal jika dikelola dengan baik, potensi kearifan lokal Bali ini bisa menjadi nilai tambah bagi pariwisata Bali.
Founder dan Inisiator Balabec (Bali Local Alcoholic Beverage Control) Ketut Darmayasa bersama temannya Putu Eka Agusyasha, Nyoman Gede Suasta, Nyoman Gede Dewa Rucika ingin mengangkat potensi arak Bali ini ke kancah mancanegara. “Kami ingin arak Bali ini menjadi spirit ketujuh. Di dunia sekarang ada 6 spirit yaitu, wisky, vodka, rum, gin, brandy, dan tequila. Kenapa Bali, yang merupakan destinasi dunia tidak memiliki maskot minuman?” ucapnya.
Ada 6 juta wisatawan yang datang ke Bali per tahunnya. Selain itu ada 24.000 wisatawan yang datang ke Bali per harinya.
Jika mereka membawa oleh-oleh arak satu botol ke negaranya, potensi arak Bali bisa terjual sebanyak 24.000 botol. Jika hotel di Bali yang jumlah kamarnya mencapai 130.000 kamar, menggunakan arak sebagai bahan dasar membuat cocktail, permintaan arak semakin meningkat.
Belum lagi kebutuhan arak untuk upacara agama serta arak untuk jamuan adat di Bali. Juga untuk dijual ke toko retail atau toko modern dan toko konvensional.
Jika didata kebutuhan arak di Bali, potensi arak Bali sangat besar untuk berkembang. Melihat peluang pasar itu, ia yakin arak Bali akan semakin berjaya di daerahnya sendiri.
Ia menilai arak Bali bisa masuk hotel dan restaurant dengan bekerjasama dengan PHRI. Hotel dan restaurant di Bali agar diwajibkan menggunakan produk beralkohol lokal yaitu arak yang memiliki standar kualitas yang baik. “Toh juga dari segi rasa dikatakan tidak kalah dengan minuman beralkohol dari luar negeri,” ujarnya.
Dengan demikian, petani arak tradisional ini akan sejahtera. Melalui Pergub No. 99 tahun 2018, ia berharap arak menjadi kearifan lokal yang masuk dalam Pergub itu.
Ke depannya, ia melihat perlu ada lembaga atau laboratorium yang menguji kualitas dan kelayakan arak yang dihasilkan petani arak di Bali. Jika memenuhi kualitas, bisa dilabeli dan dipasarkan ke hotel dan restaurant di Bali.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali I Putu Astawa mengatakan, minuman beralkohol asal Bali yang sudah eksis dan masuk ke hotel- hotel adalah Hatten Wines dan brem. Ia mengutarakan Gubernur Bali juga akan mengembangkan minuman beralkohol arak untuk mengangkat produk lokal.
Namun pengembangannya terganjal dengan adanya Perpres No.39 tahun 2018 yang menyebutkan industri minuman beralkohol masuk kategori DNI (daftar negatif investasi). “Jadi secara regulasi dibekukan untuk izin-izin baru memproduksi barang-barang yang mengandung alkohol, seperti arak, kecuali yang sudah eksis, teruskan atau ada yang mau merelokasi dari Provinsi lain ke Provinsi Bali, bisa,” jelasnya.
Rencana pengembangan miras, lanjutnya, merupakan upaya Gubernur memberikan perlindungan terhadap produsen arak tradisional, seperti di Sidemen, Karangasem. Itu merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat di sana. Masyarakat Bali pun membutuhkan untuk sarana tetabuhan dalam ritual keagamaan.
Ke depan Astawa mendorong arak bisa dilegalkan. Ia berharap agar Bali dikecualikan oleh Perpres tersebut, karena arak ini masuk konteks budaya. (Citta Maya/balipost)