DENPASAR, BALIPOST.com – Gubernur Bali Wayan Koster sebelumnya memaparkan bila cakupan usaha LPD jika bernama Labda Pacingkreman Desa lebih luas ketimbang Lembaga Perkreditan Desa. Selain itu, Labda Pacingkreman Desa juga lebih berorientasi pada labda atau kemanfaatan sosial, ekonomi, budaya, dan agama (benefit), daripada orientasi usaha Lembaga Perkreditan Desa yang hanya keuntungan finansial (profit).
Oleh karena itu, rakyat Bali diharapkan mendukung apa yang diusulkan gubernur tersebut dalam Ranperda tentang Desa Adat. “Sesungguhnya tidak ada perubahan nama itu. Itu namanya tetap LPD koq. Perjalanannya sama, cuma perbedaannya adalah, kalau Labda Pacingkreman itu yang kita lakoni jauh lebih luas. Sedangkan Lembaga Perkreditan memang agak sempit, simpan pinjam dan itu terkesan perbankan murni,” ujar Mantan Senator Provinsi Bali Periode 2009-2014, I Nengah Wiratha di Denpasar, Jumat (25/1).
Menurut Wiratha, ide gubernur untuk mengubah nama LPD menjadi Labda Pacingkreman Desa itu luar biasa dan patut didukung. Jangan sampai hal ini dipolitisir, karena sangat jelas tidak ada substansi yang diubah.
Perubahan nama ini justru yang sesungguhnya diharapkan Undang-undang No.1 Tahun 2013 tentang LKM terkait pengecualian LPD. Nama Labda Pacingkreman Desa nantinya akan memperkuat pengecualian LPD dalam UU LKM. “Artinya lembaga ini harus utuh diatur oleh hukum adat. Ketika diatur utuh oleh hukum adat, kearifan-kearifan lokal yang ada di adat itu mestinya harus diungkap,” jelasnya.
Dalam adat Bali, lanjut Wiratha, hal-hal yang diatur terkait dengan Panca Yadnya yang Panca Kertha. Itulah yang menjadi tujuan LPD.
Hubungan manusia dengan Tuhan diwujudkan dengan Panca Yadnya, sedangkan hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan lewat Panca Kertha. Harus disadari bila praktek-praktek LPD selama ini masih bersifat komersial.
Dengan nama Labda Pacingkreman Desa, LPD tidak lagi ambigu dan jelas sebagai milik desa adat. “Dengan adanya kebijakan dan keputusan seperti ini, mestinya didukung oleh rakyat Bali. Ini sebuah kebijakan yang sangat strategis, dan sangat cerdas. Ini yang saya lihat dan rasakan,” imbuh pria yang mencalonkan diri lagi sebagai anggota DPD RI ini.
Sebelumnya, Gubernur Bali Wayan Koster menjelaskan soal rencana perubahan nama Lembaga Perkreditan Desa (LPD) menjadi Labda Pacingkreman Desa yang disebut telah didasari pertimbangan obyektif. Ketua DPD PDIP Bali ini beralasan, cakupan kegiatan usaha Labda Pacingkreman Desa Adat jauh lebih luas daripada cakupan kegiatan usaha LPD yang hanya terbatas pada kegiatan usaha simpan pinjam (perkreditan).
“Labda Pacingkreman Desa Adat mencangkup 3 bidang usaha, yaitu bidang usaha pengelolaan Padruwen Desa Adat, pengelolaan Dana Punia Krama, dan kegiatan sosial ekonomi Krama Desa Adat,” imbuhnya.
Di samping itu, lanjut Koster, orientasi usaha Labda Pacingkreman Desa Adat lebih mengutamakan Labda atau kemanfaatan sosial, ekonomi, budaya dan agama (benefit) daripada semata-mata keuntungan finansial (profit), sebagaimana halnya orientasi usaha Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Sementara itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menegaskan melalui media massa bahwa perubahan nama dari Lembaga Perkreditan Desa (LPD) menjadi Labda Pacingkreman Desa (LPD) tidak mengakibatkan LPD berubah menjadi lembaga keuangan yang diawasi oleh OJK.
Dengan demikian Labda Pacingkreman Desa (LPD) tetap termasuk dikecualikan dari pengaturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. “Saya sama sekali tidak ada maksud sedikitpun untuk menghilangkan jejak sejarah yang telah dirintis oleh Gubernur Bali terdahulu Prof. I B Mantra, sebaliknya justru untuk lebih memperkuat serta menumbuhkembangkan peran dan fungsi LPD secara holistik dalam penguatan dan pembangunan perekonomian Desa Adat serta pelestarian adat, tradisi, seni dan budaya serta kearifan lokal Bali,” jelasnya. (Rindra Devita/balipost)
Apapun jenis usaha itu, pengelolanya harus jujur, berintegritas tentu saja tidak korup, tapi sebaliknya berjiwa militan untuk memajukan usaha. Meluasnya cakupan usaha ini setelah berubah nama, akan menambah pula personel pengelolanya karena cakupannya meluas. Bisa saja di satu unit usaha berkembang, sebaliknya unit yang lain menggerogoti modal yang ada. Karena diberikan kebebasan mengelola sendiri kepada pengurusnya, tanpa audit dari auditor independen, besar kemungkinan Labda Pacingkreman ini akan “dicengkeram” oleh pengurusnya sendiri. Ditambah stereotif masyarakat yg “ngekoh ngomong”, bukan tidak mungkin hal ini dimanfaatkan para pengurusnya karena yakin bila rugi bahkan bangkrut, kecil kemungkinan akan dikenai sangsi hukum, karena yg dirugikan adalah rakyat kecil, bukan pengurusnya yg kebanyakan tokoh di desanya masing-masing. Semoga saja tidak demikian, karena tentu saja tidak ada seorang gubernur yg ingin gagasannya gagal, karena akan merusak imagenya sendiri.