MANGUPURA, BALIPOST.com – Pembuangan sampah menuju TPA Suwung yang kerap bermasalah, membuat pihak dinas lingkungan hidup dan kebersihan (DLHK) Badung harus putar otak. Pasalnya, truk pengangkut sampah tidak bisa masuk untuk membawa sampah.
Hal ini juga diperparah dengan datangnya sampah kiriman pantai dalam volume yang fantastis. Bahkan pihak DLHK terpaksa membiarkan sampah kiriman ini menumpuk di sejumlah stop over yang ada.
Selain itu, untuk yang ada di Kuta Selatan, permasalahan jarak juga sering membuat pihak jasa pengangkut sampah enggan membawa ke TPA suwung dan membuang sampah tersebut di tempat pembuangan sampah ilegal terdekat Untuk menyiasati permasalahan pengangkutan sampah, terutama di wilayah Kuta Selatan, DLHK kabupaten Badung menawarkan pembentukan Tempat Pengelolaan Sampah Bersama (TPSB) di wilayah Kelurahan Benoa, Kuta Selatan.
TPSB rencananya akan menggunakan lahan milik Desa Adat Bualu dan Kampial yang berada di dekat kuburan. Nantinya TPSB akan berbasis zero waste atau tanpa limbah. “Ini adalah inovasi dari DLHK, bersama Desa adat dan Lurah. Kami hanya memfasilitasi, kita harap ini menjadi TPS bersama berbasis kecamatan dengan zero waste,” kata Kepala Dinas LHK Badung, I Putu Eka Merthawan saat dikonfirmasi, Minggu (27/1).
Pihaknya mengatakan sudah sempat melakukan pertemuan dengan warga terkait di kantor lurah Benoa belum lama ini. Dari pertemuan tersebut, dirinya menyebutkan bahwa TPS bersama ini nanti dikelola mandiri dan akan dijadikan pilot project percontohan di Indonesia.
Lahan tersebut memang berada di sebelah setra adat Bualu dan Kampial, dengan luasan 6 hektar. Lokasi lahan tersebut dikatakannya sangat representatif, karena jauh dari permukiman warga.
Ia menjelaskan dari 6 hektare lahan tersebut, hanya diperlukan luasan 1,5 hektare. Riciannya 1 hektare akan dipakai TPS bersama dengan dikerjasamakan dengan pihak ketiga dan sisanya akan dikontrak pihaknya untuk tempat pangkalan armada DLHK di wilayah Kutsel. “Jadi TPS ini nanti lahannya dari desa adat, bangunan, peralatan dan operator itu dari pihak ketiga yang mampu mengelola sampah secara zero waste. Jika ini disetujui maka ini yang akan dijajaki ke depan,” pungkasnya.
Untuk itu, pihak Desa Adat Bualu dan Kampial diharapkan untuk membahas terlebih dahulu secara internal menyangkut pendapatan. Selain itu upaya itu dinilainya harus didukung adanya pararem dan kesepakatan formal dari lurah dan prajuru.
Diharapkan, awal Februari ini, sudah ada kesepakatan tertulis antara kedua desa adat terkait. Jika itu lancar, diperlukan waktu 2 minggu konsolidasi dengan pihak ketiga dan dalam kurun 6 bulan TPSB itu maksimal sudah bisa beroperasi.
Namun sembari menunggu proses tersebut, untuk sementara waktu pihaknya menyarankan agar lahan tersebut dijadikan Tempat Pengumpulan Sampah. Hal tersebut diambil sebagai langkah darurat penanganan sampah di wilayah Bualu, Kampial dan Peminge. Sehingga tidak ada penumpukan sampah yang bisa menimbulkan citra negatif bagi kawasan pariwisata Kutsel. (Yudi Karnaedi/balipost)