Oleh GPB Suka Arjawa
Kebebasan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) setelah dihukum dua tahun dari penjara, merupakan berita yang menjadi penyela dari segala hiruk-pikuk politik yang ada. Di tempat tahanannya di Mako Brimob, Jakarta, beberapa Ahoker menunggu karena ingin menyaksikan secara langsung kebebasan mantan Gubernur Jakarta ini.
Di beberapa tempat, secara jujur harus dikatakan banyak yang menunggu kebebasan ini, seolah merayakan kemenangan. Menerima hukuman dan kemudian menjalaninya sebagai sebuah bagian dari pendidikan, maka kebebasannya itu adalah sebuah kemenangan.
Dalam hal Ahok, hukuman itu kontroversial. Banyak yang mengatakan kalau ia tidak bersalah. Tetapi demi tidak terjadinya keributan yang lebih besar lagi, ia menerima hukuman itu.
Bahkan, di tengah hukuman itu, ia mengalami masalah keluarga lagi. Maka tidak salahlah apabila usainya ia menjalani hukuman itu disebut sebagai sebuah kemenangan.
Apakah kemudian fenomena ini bernilai politis? Dan apakah itu kemudian dapat dimanfaatkan untuk keuntungan dan kepentingan politik.
Membandingkan dengan Nelson Mandela di Afrika Selatan mungkin jauh. Mandela menjalani hukumannya selama 26 tahun, boleh dikatakan satu generasi. Mandela juga menjalaninya dengan siksaan. Sedangkan Ahok kurang dari dua tahun dan kemungkinan tanpa siksaan fisik.
Akan tetapi, keduanya menjalani hukuman secara rela. Para pendukungnya terlihat sedih tetapi kemudian terbawa dalam semangat yang sama, yaitu sama-sama paham apa artinya tidak melawan atau apa artinya melawan secara diam, atau menggalang kekuatan secara diam: dibantu oleh “angin” dan kesadaran.
Dilihat dari pemahaman bahwa politik tersebut adalah upaya untuk mencapai stabilitas sosial, maka penerimaan hukuman dan menjalaninya secara sukarela, merupakan politik praktis yang mempunyai tujuan positif. Dalam gaduh kontroversial tuduhan yang ditimpakan kepada Ahok di masa lalu, bukan tidak mungkin ada kelompok masyarakat yang bersedia menjadi tameng untuk berdebat dan menghalangi terhukumnya Ahok.
Tetapi bisa dibayangkan bagaimana gaduhnya ibu kota kalau itu terjadi dan bagaimana inspirasi gerakan tersebut dapat menjalar ke seluruh negeri. Ketika pemilihan Gubernur DKI Jakarta waktu itu, kurang lebih 40 persen masyarakat Jakarta memilihnya menjadi gubernur pada pilihan pertama. Dan angka tersebut konsisten pada putaran kedua. Empat puluh persen pemilih jumlahnya jutaan dari warga Jakarta.
Jika saja satu persen dari pendukung itu bersedia menjadi dieharder dalam pengertian mampu menjelaskan duduk perkara Ahok yang sesungguhnya, maka kegaduhan bukan tidak mungkin akan lebih tercipta lagi. Kegaduhan karena akan muncul perlawanan macam-macam.
Jadi, fenomena ini boleh dikatakan sebagai politik untuk mencegah distorsi sosial yang lebih luas. Mungkin ini dapat juga dikatakan sebagian model yang merupakan sumbangan praksis politik baru pada zaman Indonesia modern. Pada masa lalu, sebelum Indonesia merdeka banyak raja yang menentang penguasa kolonial menerima hukuman dibuang semata-mata agar kegaduhan tidak tercipta. Demikian juga Soekarno yang menerima pembuangannya ke Digul, Ende, sampai Bengkulu.
Dilihat dari sisi pemahaman bahwa politik tersebut merupakan strategi pemenangan, maka hukuman ini bukan tidak mungkin juga mengarah kepada itu. Setelah menjalani waktu hukuman sekitar setahun dan kemudian saat bebas, banyak yang berkomentar bahwa sikap Ahok jauh dari gejolak seperti saat menjadi pejabat dan politisi.
Kelemahan Ahok yang paling kelihatan adalah pembawaannya yang meledak-ledak terutama ketika membela kebijakannya, di ruang publik. Juga kerap marah kepada warga yang dipandang melanggar kebijakannya.
Dapat dipahami sikap ini apabila masyarakat mempunyai pemahaman luas terutama apabila dilihat dari latar belakang lingkungan sosial dan budayanya. Tetapi mereka yang tidak melihat dari sisi itu, akan sulit menerima kepribadiannya itu. Dan justru hal inilah akan mudah digoreng menjadi adonan politik oleh lawan-lawannya.
Tetapi setelah menjalani hukuman ini, menurut rekan-rekan dekat dan pengagumnya, Ahok sudah banyak berubah dalam penataan emosi. Pada titik inilah dapat dikatakan bahwa ini merupakan sebuah kemenangan bagi dirinya sendiri. Dan kemenangan itu secara tidak langsung dapat dipakai sebagai strategi politik jangka panjang.
Kebanyakan politisi yang mapan di dunia ini, memulai “karier” politiknya dari penjara. Dari situlah kemudian mereka menyusun strategi jangka panjang. Siapa tahu ini yang kelak dilakukan Ahok.
Pernyataannya menjelang masuk penjara dan menjelang keluar dari penjara bisa saja ditafsirkan secara politis. Sebelum masuk penjara ia “memerintahkan” kepada pendukungnya untuk tidak ribut-ribut. Dan pendukungnya bersedia tidak ribut.
Menjelang keluar penjara, ia juga ingin agar dijemput oleh keluarga dan rekan-rekan dekatnya saja. Para pendukungnya juga bersedia menerima. Ketika ia keluar lewat pintu belakang saat dibebaskan dari tahanan Brimob, Ahoker yang menginap menunggu pembebasannya, juga tidak bikin gaduh.
Semua fenomena itu dapat dikatakan sebagai politik karena mampu memengaruhi pihak lain untuk berbuat sesuai dengan apa yang diinginkan Ahok. Maka, fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah tabungan politik yang dapat dipakai strategi untuk berpolitik pada masa mendatang.
Hukuman dan keberhasilan untuk menjalaninya dengan sukarela di tengah kontroversi hukumannya itu, dapat menambah karisma Ahok, yang lagi-lagi menjadi tabungan politiknya pada masa depan. Dengan demikian, hipotesisnya adalah bahwa pernyataan-pernyataannya yang mengatakan akan konsentrasi berbisnis setelah lepas dari penjara, hanyalah pernyataan sementara yang berguna untuk stabilitas sosial menjelang pemilihan umum serentak 2019 ini.
Ke depan, pernyataan itu kemungkinan besar akan berubah lagi. Itu adalah pernyataan politis, yang seperti maknanya, pernyataan tersebut akan dapat berubah pada masa depan.
Dilihat dari sumber daya, maka sumber daya politik yang melekat pada dirinya sekarang, menjadi bertambah komplet. Ia mempunyai pengalaman jabatan politik yang tersistematis, mulai dari anggota DPRD, bupati, wakil gubernur, dan gubernur. Tidak tanggung-tanggung menjadi gubernur ibu kota dari negara besar, Indonesia. Ia juga mempunyai pengalaman sebagai korban politik.
Hukuman dan prosesnya ini boleh dikatakan menjadi korban. Dan ini justru menjadi sumber daya baru baginya sebagai politisi karena telah menjalaninya, bahkan dengan rela. Hukumannya itu malah menambah karismanya sebagai politisi. Karisma juga adalah sumber daya politik. Seperti yang sudah diketahui banyak orang, ia juga mempunyai pengikut, yang dipercayai dapat diatur dan mempunyai kemampuan intelektual lebih baik. Bukankah pengikut seperti ini yang diperlukan untuk membangun negara yang multiras ini?
Dengan konteks demikian, pada masa depan, kiranya Ahok akan kembali ke dunia politik. Lalu, siapa yang akan memanfaatkannya? Dua bulan jelang pemilihan presiden ini, Ahok mungkin menyepi karena ada potensi akan “digoreng” lagi kalau berdekatan dengan salah satu kandidat.
Tetapi bukan tidak mungkin ia akan melakukan kunjungan sembunyi-sembunyi. Begitu ketahuan ia berkunjung maka sebagian pendukung akan mengikuti. Tetapi jika pemilu ini sudah tuntas, akan terlihat ke mana ia akan pergi. Partai politiklah yang akan mencoba mendekat ke dirinya. Ahok mungkin tipe politisi yang setia.
Penulis, staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana