Aksi bersih sampah plastik di Pura Lempuyang. (BP/dok)

Pemerintah di Bali kini perang terhadap sampah plastik. Tak hanya sebatas aksi bersih-bersih, juga lewat peraturan gubernur. Peraturan yang dikeluarkan Gubernur Koster itu membatasi penggunaan kantong plastik di swalayan dan toko modern. Semua itu ditujukan untuk menciptakan Bali bersih dan hijau.

Selain aksi dan regulasi, falsafah Tri Hita Karana harus tetap dijadikan dasar pijakan terutama dalam edukasi kepada masyarakat. Sebab, konsep tersebut telah membumi dan diakui oleh seluruh pemangku kepentingan di Bali.

Ini perlu digarisbawahi karena beberapa tahun terakhir ini kualitas lingkungan Bali makin berkurang, hutan makin menciut, bahkan rusak. Sungai makin kotor, ditambah lagi banjir mudah sekali terjadi. Wajah lingkungan makin muram, dan tampaknya makin susah untuk kembali ke masa silam, yang udaranya begitu bersih dan air begitu sehat.

Tri Hita Karana, sebuah landasan yang utuh dan tidak boleh diabaikan dalam pembangunan berkelanjutan di Bali. Konsep apa pun, realitas pembangunan di Bali, kabupaten maupun kota harus didasari kebijakan Tri Hita Karana yang sudah diakui dunia.

Baca juga:  Menginventarisasi Lahan Milik Pemerintah secara Valid

Bali mestinya dilihat secara makro dengan memahami esensinya yang dapat menjamin hak hidup setiap orang. Sehingga setiap orang memiliki harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh. Bisa hidup, bertempat tinggal, bekerja dengan baik, dan sebagainya. Ada rasa aman dan nyaman dalam menjalani semua itu.

Sampah plastik harus menjadi fokus utama. Sebab, penggunaannya semakin masif dan dibuang secara sembarangan. Kita bisa lihat sampah plastik berserakan di objek wisata. Bahkan, Pantai Kuta yang dikenal dunia juga tak luput dari sampah plastik. Tentu ini harus menjadi perhatian kita bersama.

Demikian pula bidikan kamera wisatawan asing terhadap tumpukan sampah di Pantai Kusamba, Klungkung beberapa tahun lalu menorehkan ‘’luka’’ yang dalam bagi pariwisata Bali. Ini juga merupakan promosi buruk bagi citra destinasi Bali.

Baca juga:  Hujan Angin Kembali Landa Buleleng, Akses Jalan Tertutup Pohon Tumbang

Ini menunjukkan pemerintah maupun masyarakat kurang memberikan perhatian terhadap program mewujudkan Bali yang bersih dan hijau. Padahal program ini diluncurkan mengingat terbatasnya sumber daya alam di Bali.

Misalnya, alih fungsi lahan yang mencapai rata-rata 800 hektare per tahun, menurunnya kualitas dan kuantitas sumber daya air, pendangkalan sungai dan danau, abrasi pantai, kerusakan terumbu karang, dan kerusakan hutan. Abrasi pantai telah terjadi hampir di seluruh pantai di Bali di sepanjang 67,1 kilometer atau sekitar 15,6 persen dari panjang pantai Bali.

Untuk mewujudkan Bali Clean and Green perlu dukungan desa pakraman, pemerintah, pengusaha dan lembaga swadaya masyarakat lainnya. Keterlibatan ini dapat menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan hidup untuk generasi sekarang maupun yang akan datang. Bali yang bersih dan hijau harus mampu terbebas dari pencemaran dan kerusakan sumber daya alam. Kearifan lokal Tri Hita Karana merupakan landasan dasar yang harus dipedomani oleh pemerintah, lembaga tradisional desa pakraman dan subak dalam melaksanakan berbagai aktivitasnya.

Baca juga:  Bangkai Ogoh-ogoh Agar Dipralina Usai Diarak

Membangun Bali Clean and Green adalah aktualisasi dari Tri Hita Karana yaitu mewujudkan alam atau lingkungan yang bersih dan hijau. Pola hidup bersih pun agar semakin ditingkatkan, mulai dari rumah-rumah, pekarangan rumah maupun di luar rumah, dan jangan membuang sampah sembarangan.

Bila desa pakraman atau lembaga subak dapat mengaktualisasikan pembangunan jiwa bersih dan hijau dalam pararem awig-awig-nya ini merupakan langkah mulia dan maju membangun peradaban Bali ke depan.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *