Oleh Dr. Drs. Anak Agung Gede Raka, M.Si.
Sejak diperkenalkan istilah desa pakraman tahun 2001 silam sebagai padanan kata untuk menyebut desa adat, maka nama lembaga yang mulanya disebut desa adat kemudian menjadi desa adat/pakraman. Walaupun awalnya agak sulit membiasakan untuk mengatakan desa pakraman, namun dalam perjalanan waktu 17 tahun, warga masyarakat sudah terbiasa menyebutnya.
Selanjutnya, di tengah-tengah semangatnya Gubernur Bali mengajak seluruh warga masyarakat untuk melestarikan kearifan budaya lokal Bali (bahasa Bali), dengan tiba-tiba muncul ke permukaan permasalahan tentang istilah desa adat dan desa pakraman. Munculnya fenomena tersebut tentu mengundang pertanyaan. Yang mana sesungguhnya di antara kedua istilah tersebut tepat untuk menyebut nama organisasi sosial yang memiliki peran penting sebagai penopang agama, adat, dan kebudayaan Bali?
Untuk menjawab persolan tersebut, dicoba menelusuri etimologi kata dari kedua istilah dimaksud, yakni sebagai berikut. (1) Desa Adat berasal dari dua kata, yaitu: desa dan adat. Desa, berarti: tempat, tanah, lapangan (bahasa Jawa kuna); dan Adat berarti kebiasaan (bahasa Arab). (2) Desa Pakraman, berasal dari dua kata, yaitu desa dan pakraman. Desa, berarti: tempat, tanah, lapangan (bahasa Jawa Kuna), dan Pakraman, berasal dari kata krama (bahas Bali Kuna), yang berarti: cara hidup, tingkah laku. Dalam perkembangannya, kata krama tidak hanya berarti sikap hidup dan tingkah laku, tetapi juga berarti warga masyarakat (karaman) dengan berbagai aktivitasnya.
Bila dibandingkan antara kedua istilah tersebut, jelas pengertian desa pakraman jauh lebih luas daripada desa adat. Desa Adat, bila kembali kepada asal-usul katanya, ruang lingkupnya terbatas pada urusan adat (kebiasaan). Sedangkan Desa Pakraman, ruang lingkupnya sangat luas, meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Artinya, Desa Pakraman tidak hanya berkenaan dengan kebiasaan (tradisi), tetapi juga masyarakat dengan lembaga yang mendukung; struktur masyarakat; sistem tata kelola pemerintahan; regulasi; kependudukan, dan lain-lain.
Kearifan Lokal Bali
Desa Pakraman merupakan salah satu lembaga tradisional yang namanya digali dari nilai kearifan lokal Bali. Sebagaimana diketahui, baik bahasa Bali Kuna maupun Bahasa Jawa Kuna merupakan bagian dari kebudayaan Bali, sehingga perlu dilestarikan agar tidak ditelan oleh arus budaya global. Desa Pakraman cakupannya sangat luas, tidak hanya mengurus soal adat (kebiasaan), tetapi juga persoalan sosial religius, sosial budaya, sosial ekonomi, sosial politik, hukum, lingkungan, dan lain-lain.
Dalam berbagai aktivitas yang dilakukan Desa Pakraman, secara tidak langsung telah mempraktikkan filosofis tri hita karana. Hal itu dengan jelas disinggung dalam prasasti-prasasti Bali Kuna, seperti: penyebutan Batara Datonta (Trunyan), Batara Tranganan (Tenganan) (Parhyangan); karaman i wingkang ranu Bwahan, Kedisan, Air Tabar dll; (pawongan); dan penyebutan batas-batas desa (palemahan).
Walaupun kehadiran istilah karaman untuk menyebut Desa Pakraman belakangan, namun keberadaannya jauh lebih tua dari adat (bahasa Arab) untuk menyebut Desa Adat (zaman Kolonial Belanda). Istilah banjar, desa, krama, dan karaman, sudah dikenal sejak zaman Bali Kuna. Sedangkan Adat istilah untuk menyebut kebiasaan yang diadopsi dari bahasa Arab.
Suatu hal yang patut dicatat, bahwa ketika zaman Bali Kuna telah dikenal sistem birokrasi pemerintahan yang ideal dan dikendalikan oleh para senapati sebagai pembantu raja. Salah satu di antaranya Senapati Kuturan (Mpu Kuturan), yang namanya sampai saat ini dikenal sebagai pencetus kahyangan tiga dengan organisasi Desa Pakramannya. Beliau dikenal sebagai purohito (Pendeta Istana) raja Udayana Warmadewa (abad 11 Masehi).
Bertolak dari paparan singkat di atas, bahwa sangat bijak untuk mempertahankan Desa Pakraman sebagai nama sebuah lembaga yang memiliki peran menopang agama, adat, dan budaya Bali. Kebijakan tersebut sejalan dengan program Gubernur dalam melestarikan budaya Bali. Suatu hal yang patut diapresiasi, di satu sisi diangkatnya kata Desa Pakraman sebagai nama lembaga tradisional merupakan wujud nyata dari pelestarian Bahasa Bali pada khususnya dan kebudayaan Bali pada umumnya; dan di sisi lain, sejalan dengan amanat UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, bab I, pasal 1, ayat 1, yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Desa adalah Desa dan Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya di sebut Desa. Dengan adanya kata “nama lain” berarti tidak harus menggunakan nama Desa Adat, dan boleh menggunakan nama Desa Pakraman, atau menetapkan seperti sebelumnya dengan nama Desa Adat/Pakraman.
Bertolak dari paparan singkat di depan, kami merekomendasikan nomenklatur yang diberikan kepada Ranperda serta alasannya, adalah sebagai berikut (1) Desa Adat: dengan alasan, walaupun adat merupakan kata serapan (diadopsi) dari istilah (kata) dalam bahasa Arab, karena masyarakat Bali telah terbiasa menggunakan kata tersebut dan dalam bentangan waktu yang cukup panjang, menyebabkan istilah adat (tingkah laku) tersebut sudah merupakan bagian dari budaya Bali.
Perlu dicatat, bahwa tidak hanya kata adat (Arab) yang diadopsi, tetapi juga budaya lain (Cina) yaitu uang kepeng, yang saat ini sudah menjadi budaya (kearifan lokal) Bali. Bahkan yang paling kuat pengaruhnya dalam “Sastra Kakawin” adalah “Bahasa Jawa Kuna”; (2). Desa Pakraman: istilah ini memang merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Bali Kuna, tetapi istilah ini belakangan muncul, yaitu setelah sebuah organisasi penting di Bali tersebut telah diberi nama Desa Adat, tepatnya ketika masa pemerintahan Kolonial Belanda, untuk membedakannya dengan Desa Dinas. Namun upaya mengembalikan dengan istilah pakraman adalah sangat tepat, sebagai langkah tepat mendukung program Pemprov Bali dalam Pelestarian Bahasa Bali.
(3). Desa Adat/Pakraman: Suatu hal yang menarik adalah pemberian nama yang menggabungkan antara adat dan pakraman untuk menyebut nama lembaga tersebut, sehingga melahirkan sebuah nama Desa Adat/Pakraman. Pemberian nama yang terakhir, sudah penuh pertimbangan dengan memanfaatkan kedua istilah tersebut, yakni istilah adat yang sudah membudaya di Bali walaupun serapan dari kata Arab dan Pakraman yang memang betul berasal dari Bahasa Bali Kuna.
Penulis, Kaprodi Magister Administrasi Publik Program Pascasarjana Universitas Warmadewa