Desa adat/pakraman merupakan organisasi atau lembaga yang sangat strategis di Bali. Karenanya, lembaga tradisional ini dibuatkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang kemudian diubah menjadi Perda No. 3 Tahun 2003.
Namun, perda tersebut dinilai Gubernur Bali Wayan Koster sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum, sehingga perlu diganti dengan menetapkan Perda tentang Desa Adat. Ranperda tentang Desa Adat ini diharapkan sudah rampung dan disahkan menjadi perda, Februari 2019 mendatang.
Semua perda yang disusun, entah itu namanya Perda Desa Pakraman atau pun Perda Desa Adat, tujuannya bermuara pada penguatan desa adat yang ada. Karenanya, pengaturan kesatuan masyarakat hukum adat di Bali harus mampu mengembalikan kedudukan dan fungsi desa adat sebagai pusat kebudayaan dan pusat mentalitas keagamaan.
Desa adat agar kembali dapat memerankan fungsi secara baik sebagai pemilik kebudayaan Bali yang telah memberikan kontribusi sangat besar terhadap pembangunan sosial ekonomi. Untuk mencapai tujuan ini, tentu tidak bisa hanya dengan menelurkan perda.
Saat ini, desa adat/pakraman tidak hanya menghadapi gempuran budaya global (milenial). Terjangan dan empasan ekonomi global turut memengaruhi perubahan sosiokultutural krama (masyarakat) adat. Karena itu, penguatan ekonomi krama tidaklah bisa dikesampingkan dalam penguatan desa adat/pakraman ini.
Ide mulia pembentukan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) merupakan salah satu solusi yang ditawarkan beberapa tokoh Bali, salah satunya mantan Gubernur Bali Prof. I.B. Mantra. Meski dalam perjalanannya lembaga pemberdayaan perekonomian masyarakat desa (adat) di Bali harus menghadapi berbagai cobaan. Toh lembaga perekonomian milik desa adat ini tetap eksis dan terbukti mampu menjadi penggerak perekonomian masyarakat perdesaan di Bali. Termasuk, jika nama LPD ini akan diubah menjadi Lembaga Pacingkreman Desa.
Keberadaan LPD ini diharapkan mampu memperkuat desa adat/pakraman secara ekonomi. Segala beban ekonomi desa adat/pakraman diharapkan dapat teratasi dan dicarikan solusi di LPD. Karenanya, dana krama yang dikelola LPD harus benar-benar mampu memutar dan memajukan perekonomian masyarakat di desa bersangkutan.
Jangan sampai, dana yang terhimpun malah diparkir di bank umum apalagi kemudian dipinjamkan ke investor luar. Sangat ironis, dana pinjaman tersebut lalu diinvestasikan untuk mengeruk keuntungan di desa adat/pakraman. Bahkan sangat tragis, dana tersebut dipakai membeli tanah desa adat karena desa/krama tidak mampu membiayai beban ekonomi yang ditanggung. Misalnya untuk biaya berbagai upacara, membangun tempat suci/ibadah dan sejenisnya.
Revisi Perda tentang Desa Adat maupun perubahan nama LPD, haruslah tetap pada garis tujuan memperkuat eksistensi desa adat/pakraman. Memperkuat budayanya, mentalitas dan spiritualitas krama yang menjadi pendukung (SDM) desa adat/pakraman, juga ekonominya.
Karena bagaimanapun, perekonomian desa yang kurang kokoh akan memengaruhi mental spiritual krama pendukungnya yang berlanjut pada budayanya. Semoga semua pemikiran tentang desa adat/pakraman muaranya memang untuk memperkuat dan memberdayakan desa adat secara holistik, bukan karena alasan politik.
Semua bertujuan agar desa adat/pakraman kembali dapat memerankan fungsi sebagai pemilik kebudayaan Bali. Agar desa adat/pakraman benar-benar menjadi tempat nyaman dan damai bagi krama/masyarakat pendukung kebudayaan Bali.