MANGUPURA, BALIPOST.com – Rencana perubahan batas ketinggian bangunan di Bali, memantik reaksi Bupati Badung, Nyoman Giri Prasta. Dihadapan Pansus Perda RTRW, Giri Prasta menegaskan pihaknya menolak rencana tersebut.
Ia menilai hal itu melabrak bhisama Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang saat ini maksimal hanya 15 meter atau sama dengan pohon kelapa. “Kalau kami tidak sepakat (revisi ketinggian bangunan, red), karena paksakan naik melebihi batas ketinggian sama artinya kita melakukan pengingkaran terhadap warisan,” tegas Giri Prasta saat menerima kunjungan kerja (Kunja) Pansus RTRW DPRD Bali yang melaksanakan kunjungan kerja di Puspem Badung, Selasa (29/1).
Menurutnya, rencana revisi ketinggian bangunan dengan dalil fasilitas umum tidak mungkin dikembangkan melebar. Seperti pelayanan rumah sakit, fasilitas umum pemerintah, sekolah, perguruan tinggi, kurang tepat. “Dengan program semesta berencana, one island one management setiap kabupaten harus memiliki rumah sakit yang hebat, sehingga kalau ada yang emergency sekali baru ke RS Sanglah. Jadi kami harap warisan ini (bhisama, red) dijaga,” katanya.
Dikatakan, pengembangan RS Sanglah yang dijadikan alasan dapat ditanggulangi dengan tiap kabupaten membangun rumah sakit dengan fasilitas yang lengkap. Sehingga pasien dapat tertangani di Kabupaten, kecuali pasien yang kondisinya sangat darurat. “Hanya hotel Inna Grand Bali Beach Sanur ketinggiannya melebihi aturan, karena dibangun sebelum Perda disusun,” ucapnya.
Melebihi batas maksimal ketinggian, lanjut Bupati Giri Prasta, bisa diberikan dispensasi untuk kebutuhan darurat negara. “Kalau misalnya dibutuhkan oleh negara, untuk keadaan darurat silahkan. Itu akan diberikan pengecualian,” tegasnya.
Pejabat asal Desa Plaga, Badung itu juga dengan tegas menolak adanya pembangunan apartemen di wilayahnya, karena tidak sesuai dengan aspek adat dan budaya di Bali. “Kami juga berharap di Bali tidak ada apartemen, kalau kami di Badung jelas tidak (menolak, red), karena aspek ke-Tuhan-an niskala jadi tolong jaga dengan baik warisan ini,” tegasnya.
Seperti diketahui, usulan merevisi batas ketinggian bangunan yang mengemuka pada pembahasan revisi Perda Nomer 16 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali. Ketua Pansus Kariyasa Adnyana mengungkapkan dari kunjungan kerja yang dilakukan muncul usulan agar merevisi batas ketinggian, melebihi ketentuan yang diatur saat ini yaitu maksimal 15 meter.
“Di Klungkung misalnya diusulkan kenaikan bangunan bisa dua kali lipat dari aturan sekarang. Di tempat-tempat tertentu seperti bangunan instansi pemerintah, fasilitas kesehatan bangunannya juga dapat dinaikan,” pungkasnya. (Parwata/balipost)
Inilah hukum “kekekalan ruangan”, misalnya apabila “ruangan” RS Sanglah tidak diijinkan untuk bertambah secara vertikal (ke atas), maka untuk menampung pasien dari seantero Bali, diperlukan pembangunan rumah sakit dengan fasilitas lengkap di setiap kabupaten. Begitulah usulan pak bupati, untuk mengatasi ketinggian bangunan. Memang gampang diucapkan, tetapi pasti sulit diwujudkan. Disamping kemampuan finansial tiap kabupaten berbeda, tentu diperlukan alihfungsi lahan, minimal seluas rumah sakit tersebut, belum terhitung fasilitas pendukung lainnya. Pak bupati hanya fokus ke satu problem saja, kurang bahkan mungkin tidak memikirkan problem yg akan menimpa kabupaten lain seperti efek domino, hanya karena mempertahankan pendapat sendiri secara berlebihan. Ini adalah hukum “kekekalan ruangan” yg mustahil diingkari. Seperti mainan balon anak-anak “kokek-kokek”. apabila ditekan di satu balon, maka balon yg lain bertambah besar bahkan meledak, karena udara didalamnya berpindah. Sebagai pimpinan daerah, tentu bapak melihat kajian ke depan, tidak seperti “kaca mata kuda” yg hanya fokus melihat jalan yg ada di depan hidungnya saja.