DENPASAR, BALIPOST.com – Pemprov Bali mengklaim sudah mengantongi dukungan dari 5 kementerian terkait rencana pengenaan kontribusi wisatawan. Kementerian itu adalah Perhubungan RI, Koordinator Bidang Kemaritiman RI, Pariwisata RI, Keuangan RI, dan Dalam Negeri RI.
Kelima kementerian itu sebelumnya diundang oleh Gubernur Bali, Wayan Koster, Jumat (26/1). “Kalau saya melihat secara substansi, hampir semua kementrian yang diundang kemarin itu sepakat dan melihat ini adalah gagasan yang luar biasa ketika kita berbicara membangun pariwisata Bali yang berkelanjutan,” ujar Kepala Badan Pendapatan Daerah Provinsi Bali, I Made Santha usai mengikuti rapat dengan Pansus Ranperda tentang Kontribusi Wisatawan untuk Pelestarian Lingkungan Alam dan Budaya Bali di DPRD Bali, Selasa (29/1).
Menurut Santha, perwakilan kementerian yang hadir atas undangan gubernur tersebut memang baru menyerap ide dan gagasan Pemprov Bali terkait kontribusi wisatawan. Termasuk melihat bagaimana menuangkan ide itu dalam peraturan.
Setelah itu, barulah pihak kementerian akan mencarikan solusi agar rencana pengenaan kontribusi wisatawan bisa diterapkan dan memiliki payung hukum tepat. Mengingat, pariwisata selama ini telah menjadi berkah bagi Bali.
Berkah tersebut tentunya harus dijaga agar tidak terdegradasi. Sementara sekarang, Bali sudah dihadapkan pada persoalan sampah, pencemaran lingkungan, hingga upaya-upaya untuk melestarikan alam, manusia, dan budaya Bali ke depan.
Di sisi lain, Bali juga memiliki beban untuk mendatangkan 40 persen dari keseluruhan target kunjungan wisatawan yang dicanangkan secara nasional. “Ketika kita berbicara pembangunan pariwisata Bali berkelanjutan, berarti kan perlu ada pembenahan-pembenahan. Kalau pembenahan itu perlu ada pembiayaan,” imbuhnya.
Namun, lanjut Santha, kekuatan fiskal Bali saat ini masih terbatas hanya mengandalkan Pajak Kendaraan. Pendapatan asli daerah hanya di kisaran Rp 3,5 triliun.
Itu sebabnya, muncul pemikiran untuk menarik kontribusi dari wisatawan mancanegara sebesar 10 dolar. Apalagi, kebijakan semacam ini di dunia internasional sudah diberlakukan oleh 48 negara. “Ada yang menyebut city tax, ada yang menyebut tourism tax di negara-negara lain. Saya tidak tahu (apakah semuanya ditarik lewat tiket pesawat, red), itu yang akan kita lihat. Ini perlu koordinasi dengan IATA (The International Air Transport Association, red), kemudian dari penguasa bandara itu sendiri,” jelas mantan Kadishub dan Infokom Provinsi Bali ini.
Santha menambahkan, tiket pesawat merupakan salah satu solusi untuk menarik kontribusi wisatawan, khususnya wisatawan mancanegara. Namun, hal tersebut belum menjadi sebuah keputusan karena rancangan perda masih dalam pembahasan dan terus disempurnakan sebelum ketok palu.
Surat IATA
Baru-baru ini di media sosial beredar surat dari IATA kepada Gubernur Bali Wayan Koster. Surat berlogo IATA tertanggal 24 Januari 2019 itu ditandatangani langsung oleh Regional Vice President Asia-Pacific, Conrad Clifford.
IATA merupakan asosiasi dagang global untuk maskapai penerbangan yang beranggotakan lebih dari 290 maskapai dan mencakup 82 persen dari total lalu lintas udara global. Pada intinya, IATA sampai saat ini belum melihat salinan resmi dari usulan Pemprov Bali terkait retribusi wisatawan asing.
Usulan itu diketahui dari salah satu artikel di media massa. IATA dalam suratnya menyebut usulan tersebut bertentangan dengan kebijakan perpajakan yang telah diterima dan dipublikasikan oleh ICAO di bawah naungan PBB.
Dalam hal ini, Indonesia turut menandatangani Konvensi Chicago yang di pasal 15 berbunyi “Negara Peserta Perjanjian tidak boleh mengenakan biaya, iuran, ataupun pungutan lainnya sehubungan dengan hak untuk transit di atau masuk ke atau keluar dari wilayah negara yang bersangkutan yang dimiliki oleh suatu pesawat udara ataupun penumpang atau properti di dalamnya.”
Selanjutnya tertulis, penumpang internasional yang berangkat dari bandara Denpasar, Bali saat ini membayar Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara sebesar Rp 225 ribu. Dari analisa IATA, pengenaan retribusi 10 dolar per penumpang asing yang berangkat berpotensi menurunkan jumlah penumpang yang berangkat dari Bali sebanyak 190 ribu penumpang per tahun.
Di akhir suratnya, IATA juga menulis akan sangat senang apabila dapat bertemuu langsung dengan gubernur atau perwakilan gubernur guna berdiskusi lebih lanjut.
Ketika ditanya mengenai surat ini, Kepala Badan Pendapatan Daerah Provinsi Bali, I Made Santha mengaku tidak tahu. “Saya tidak tahu itu,” ujarnya singkat.
Hal senada juga disampaikan Ketua Pansus Ranperda Kontribusi Wisatawan di DPRD Bali, Ketut Suwandhi. Politisi gaek Partai Golkar ini bahkan mengaku belum bertemu dengan IATA karena akan menemui Board of Airlines Representatif Indonesia (BAR Indo) terlebih dulu.
Setelah itu baru bertemu IATA, INACA, Otoritas Bandara, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Dalam Negeri. Terlebih, IATA sendiri berkantor pusat di Singapura. “Siapa bilang (ada surat dari IATA, red)? Orang kita belum konsultasi, kirim surat belum, sampai saat sekarang belum,” ujarnya.
Suwandhi menambahkan, pertemuan antara Pansus dengan BAR Indo nantinya membahas soal kontribusi wisatawan lewat tiket pesawat. Sebab secara payung hukum belum memungkinkan untuk menarik kontribusi dalam bentuk pajak (tax). “Nilainya digabung (dengan tiket pesawat, red), tapi item-itemnya lain. Sama dengan airport tax, itu kan lain, bandara yang punya. Artinya juga ini cukup panjang tahapan-tahapan yang akan kita lakukan,” jelasnya.
Suwandhi mengharapkan kementrian yang mendukung rencana kontribusi wisatawan dapat segera memperjelas soal payung hukum kontribusi lewat Undang-undang yang ada. Kemudian masalah pemungut kontribusi itu dan masalah badan yang akan mengelola kontribusi.
Co. GM Commercial Angkasa Pura, Rahadian Yogi mendukung adanya rencana kontribusi wisatawan. Namun, pihaknya tidak menyarankan kontribusi itu dipungut lewat konter khusus di bandara karena hal itu akan mengurangi nilai pelayanan. “Kalau lewat tiket, itu bukan kewenangan kita. Kami pun dengan airlines business to business,” ujarnya. (Rindra Devita/balipost)