DENPASAR, BALIPOST.com – Korban sekaligus pelapor kasus kompensasi Jalan Mina Utama, Jalan By Pass Ngurah Rai, Suwung, Denpasar, I Gusti Made Aryawan, Rabu (30/1) akhirnya menjadi saksi di PN Denpasar. Duduk sebagai terdakwa dalam kasus OTT itu adalah Hartono (45) dan I Gusti Arya Dirawan (67).
Di hadapan majelis hakim pimpinan Bambang Ekaputra, saksi korban mengaku ikut ke Warung Mina pada 5 Agustus 2018 saat membawa uang Rp 100 juta dan dua buah BG. Hanya saja yang menyerahkan PH (Penasehat Hukum), Made Dwi Yoga Satria.
Penyerahan uang adalah bagian kompensasi pembangunan perumahan tahap dua milik saksi. Namun sebelum penyerahan uang, JPU Lovi Pusnawan terlebih dahulu menggali soal kompensasi dan perjanjian lainya pada 2009 silam.
Dari sana saksi mengaku sudah memberi kompensasi Rp 200 juta. Dan disepakati, salah satu oleh anak kandung terdakwa, Gusti Arya Dirawan dan pemakaian jalan selama-lamanya.
Namun setelah menggarap proyek kedua, saksi Gusti Made Aryawan mengaku mendapatkan laporan dari staffnya bahwa ada pihak yang melarang. Majelis hakim mencoba menanyakan kaitan dengan terdakwa.
Saksi korban mengatakan ada pihak yang meminta kompensasi Rp 35 miliar. Kompensasi itu untuk penggunaan jalan. “Kalu tidak, dilarang,” jawab saksi.
Pun saat disinggung bentuk larangan, disebut bahwa kendaraan proyek distop. Majelis hakim mengejar tanggapan saksi saat diminta Rp 35 miliar.
Saksi Gusti Made Aryawan mengatakan sangat keberatan atas permintaan Rp 35 miliar itu. Setelah beberapa kali terjadi perundingan, akhirnya ada kesepakatan Rp 10 miliar.
Sebelum menyerahkan uang itu, korban melapor ke polisi. Dan pada 5 Agustus 2018, korban datang bersama PH membawa dua buah BG dan uang tunai Rp 100 juta.
Jaksa kemudian menunjukkan bukti BG di depan persidangan. Dan sebelum ditangkap polisi, Gusti Made Aryawan, terlebih dulu meninggalkan Warung Mina dan akhirnya kedua terdakwa ditangkap.
Keterangan saksi korban banyak dibantah terdakwa. Gusti Dirawan menyatakan ada beberapa hal yang menjadi keberadan kesaksian korban.
Pertama perjanjian 2009 tidak ada perjanjian pengembangan proyek. Kedua tidak ada pernah minta kompensasi Rp 35 miliar.
Dan terdakwa juga tidak permah menyetop kendaraan proyek korban. Setelah pemeriksaan saksi korban, majelis hakim melanjutkan dengan pemeriksaan terdakwa.
Dalam sidang yang berlangsung hingga malam, terdakwa membantah melakukan pemerasan. Namun kompensasi itu adalah bentuk kesepakatan warga dan berdasarkan atas rapat.
Bahkan warga yang hadir dalam rapat itu membubuhkan tanda tangan dan daftar hadir. Bukan atas dasar permintaan personal. Hanya saja yang mewakili menerima kompensasi itu adalah humas dan perwakilan ketua yang ditunjuk oleh warga. (Miasa/balipost)