DENPASAR, BALIPOST.com – Tahun 2019 merupakan siklus tiga tahunan, pasca ledakan kasus Demam Berdarah (DB) tahun 2016 lalu. Ledakan kasus diprediksi akan terjadi di empat kabupaten di Bali yaitu Tabanan, Gianyar, Klungkung, dan Singaraja.
Karena di empat kabupaten tersebut setelah dilakukan penelitian masih terdapat banyak jentik. Bali merupakan tolok ukur kasus DB di Indonesia karena Bali masuk 5 besar kasus DB tertinggi.
Demikian diungkapkan Akademisi Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) Universitas Udayana Sang Gede Purnama, SKM.,M.Sc. Kamis (31/1). Diperkirakan bulan Februari dan Maret akan terjadi ledakan kasus DB. “Mulai bulan Februari itu kan musim hujan deras, justru bulan itu lebih diwaspadai kalau mau mencegah agar demam berdarah engga meledak,” bebernya.
Tahun ini potensinya besar untuk meledak. Terutama di bulan Februari yang diperkirakan menjadi puncaknya. “Kemungkinan besar akan tinggi kasusnya kalau tidak ada upaya yang masif,” imbuhnya.
Maka dari itu, ia mengimbau masyarakat dan pemerintah dari sekarang untuk melakukan upaya pencegahan. Seminggu sampai dua minggu musim hujan pasti akan terjadi peningkatan kasus.
Karena dalam waktu 7 -14 hari, jumlah jentik akan menjadi banyak. Sehingga jika nyamuk Aedes Aegypti mendapat virus, akan dengan cepat menyebar.
Prediksi ini ia peroleh berdasarkan penelitian dengan menggunakan Maya Index. Dengan Maya Index, kita bisa memprediksi daerah mana yang akan terjadi wabah. “Dengan Maya Index kita akan tahu tempat potensial breeding place (tempat perkembangbiakan nyamuk). Kalau breeding place banyak ditemukan di suatu tempat, kemudian ada jentik, maka akan ada ledakan kasus di tempat-tempat itu,” ungkapnya.
Dengan adanya jumantik di Kota Denpasar ia memprediksi jumlah kasusnya stagnan. Namun untuk Kabupaten Gianyar, Tabanan, Klungkung, Singaraja rawan ledakan kasus DB. “Karena di kabupaten tersebut, setelah ada kasus baru melakukan pemeriksaan. Karena anggaran untuk jumantik tidak ada. Kalau tidak ada KLB dia tidak akan menganggarkan untuk pencegahan DB,” ungkapnya.
Dalam penelitiannya, ada dua indikator yang digunakan untuk menentukan breeding place, yaitu hygiene risk index dan breeding risk index. Dengan hygiene risk index dapat diketahui jumlah kontainer yang potensial menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk.
Sedangkan breeding risk index, mengkaji tentang seberapa banyak kontainer di dalam ruangan. “Kalau semakin banyak kontainer yang potensial, maka daerah tersebut akan menjadi high risk untuk ledakan kasus. Sebelum ada kasus, dengan maya index kita bisa prediksi,” pungkas peneliti nyamuk ini.
Seperti di Klungkung dan Gianyar bisa ia tebak. Di sana banyak jentik, namun tidak ada kasus. Tapi begitu ada virus di daerah tersebut, akan terjadi ledakan kasus.
Hampir tiga tahun terakhir, empat kabupaten tersebut menguasai data DB yang rawan, dibandingkan Kota Denpasar. Tahun 2018 memang kasus DB tidak terlalu tinggi, bahkan di seluruh Indonesia juga demikian.
Tahun 2019 merupakan siklus tiga tahunan sehingga akan terjadi ledakan kasus. Sementara siklus lima tahunan, yaitu tahun 2021 diprediksi terjadi ledakan kasus lebih besar lagi.
Bali pun dikatakan masuk jajaran teratas kasus DBD. ”Kalau Bali engga ada kasus, Indonesia turun kasusnya,” tandasnya.
Sementara dari sisi virus, Di Denpasar kasus DB terbanyak disebabkan oleh virus Dengue 3. Virus Dengue 3 ini sifatnya jika sekali masuk ke dalam tubuh nyamuk Aedes Aegypti akan cepat merebak dan menyebabkan wabah. (Citta Maya/balipost)