SINGARAJA, BALIPOST.com – Warga Desa Nagasepaha, Kecamatan Buleleng hingga sekarang mewarisi tradisi unik sebelum akan merayakan Nyepi di setiap tahun. Tradisi itu dikenal dengan nama medungdung dan ngutang reged (membuang kotoran secara niskala-red).
Sekilas Medungdung mirip dengan tradisi megibung (makan bersama-red). Yang membedakan adalah sarana yang dipergunakan berupa seperti sapi, babi, anjing belang bumkem, ayam hitam dan bebek hitam. Prosesi Medungdung Senin (4/2) yang lalu itu diawali dengan pecaruan Panca Sanak Medurga Dewi di Pura Dalem.
Dilanjutkan dengan mebersihkan semua sarana upakara sebelum diolah untuk sarana upakara yang dipersembahkan kepada Ida Bhatara dan Bhuta Kala. Semua sarana tersebut dipersiapkan oleh warga yang ditunjuk sebagai saye. Sarana tersebut dibedakan jenisnya yakni hewan berkaki empat dan hewan berkaki dua.
Untuk dungdungan dari sapi dan babi dijadikan masing-masing satu kelompok. Di mana dalam satu kelompok jumlahnya harus 18 bungkus (tekor dari daun pisang-red). 8 tekor terdiri di samping kanan dan 8 tekor samping kiri. Sementara 2 tekor lainnya harus berada di depan dan belakang. 18 tekor tersebut kemudian direbutkan oleh warga untuk dibawa pulang dan dikonsumsi semua anggota keluarga. Ini diyakini karena satu hari sebelum tradisi digelar, warga desa negak, desa saye dan desa mirak wajib nunas dungdungan berupa daging, lawar dan sate di pura Dalem Desa Nagasepaha yang diyaini sebagai bahkti atas merta di pura dasar.
Kelian Desa Pakraman Nagasepaha, Kecamatan Buleleng I gusti Ngurah Supena mengatakan, tradisi sebagai bentuk syukur atas berkah yang diberikan dan sukacita sebelum menyambut dan merayakan Hari Nyepi. Selain pecaruan melalui tradisi Medungdung, warga juga melaksanakan ritual unik Ngutang Reged. Tradisi ini digelar dengan mengahnyutkan pedau atau perahu. Uniknya, bukan menggunakan perahu sebanrnya, namun warga membuat pedau batang pisang. Pedau tersebut diisi berbagai beragam jenis sesajen, seperti ayam hitam dan bebek hitam. Sarana itu kemudian dihayutkan di aliran sungai yang tidak jauh dari areal pura dalem. Ritual ini semakin meriah dengan terikan semua warga dan tabuh beleganjur.
Warga meyakini setiap pecaruan menjelang penyepian dan menghanyutkan pedau selalu dibarengi hujan. Ketika pelaksanaan upacara keseluruhan selesai dilaksanakan, hujan otomastis akan reda. “Dua tradisi ini rangkaian sebelum kita merayakan Nyepi. Ini warisan pendahulu kami dan pantang untuk tidak melaksanakan demi mendapatkan kerahayuan di desa kami,” katanya.
Senada diungkapkan Perbekel Desa Nagasepaha I Wayan Sumeken. Dia mengakatan, tradisi ini adaah local religus yang ada sejak beberapa tahun silam. Sebagai generasi penerus, dirinya mengajak semua lapisan masyarakat menjaga dan melestarikan adat dan tradisi. (mudiarta/balipost)