Warga melakukan ritual ngerebeg pada Selasa (5/2) sore. (BP/istimewa)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Warga Desa Adat Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan menggelar upacara Ngerebeg, Selasa (5/2) sore. Upacara yang ditujukan untuk para bhuta kala ini digelar setiap lima tahun sekali.

Tradisi yang menggunakan sarana utama berupa godel luwe (anak sapi betina) untuk menetralisir pengaruh negatif bhuta kala sehingga terhindar dari bencana alam dan penyakit. Prosesi upacara diawali dengan berkumpulnya warga di Pura Dalem Purwa Desa Kubutambahan sejak pukul 13.00 Wita.

Sebelum upacara inti dimulai, seluruh krama wajib melaksanakan persembahyangan di Pura Dalem Purwa untuk memohon keselamatan. Setiap warga laki-laki membawa tombak, bambung runcing, dan keris. Sarana ini sebagai simbol senjata yang nantinya digunakan untuk menusuk godel luwe yang disimbolkan sebagai Bhuta Kala sebelum dilarung ke laut.

Baca juga:  Umat Pakelem di Puncak Gunung Agung, Ratusan Kera Ikut Naik

Seusai sembahyang, sekira pukul 15.30 Wita, krama langsung bergerak dengan berjalan kaki menuju Pura Segara, Desa Pakraman Kubutambahan. Krama berjalan secara beriringan sembari membawa sudukan.

Sesampai di depan Pura Segara, krama kembali mengikuti persembahyangan sebelum melakukan bhakti ngerebeg. Persembahyangan persis dilangsungkan di tepi pantai Dusun Kubuanyar, Desa Kubutambahan dengan sejumlah sarana upakara.

Seusai sembahyang, krama laki-laki yang membawa sudukan, tombak, dan keris berkumpul mengelilingi godel luwe. Setelah Pemangku Pura Dalem mendahului menusuk godel luwe dengan keris di Pura Dalem, selanjutnya langsung diikuti oleh seluruh krama.

Mereka secara bergiliran menusukkan sudukan, keris dan tombak ke godel luwe tersebut. Warga percaya darah dari sarana godel luwe itu sebagai penolak bala dan bencana.

Baca juga:  Berdalih Ini, Desainer Tanam Ganja

Seorang krama Desa Kubutambahan, Ketut Wijasa mengaku sudah lima kali melewati tradisi ini diikutinya. Seperti biasa, seusai ngerebeg, tombak yang ujungnya berisi darah godel tersebut akan disimpan di kamar suci rumahnya. “Tombaknya tidak boleh dicuci, karena bisa dipakai untuk obat pemalinan. Kalau sakit perut, akibat pemalinan, ujung tombak bisa dibasuh, lalu airnya bisa diminum. Nah kami sangat meyakini karena memang sudah terbukti,” katanya

Kelian Desa Adat Kubutambahan, Jro Ketut Warkadea mengatakan tradisi yang digelar ini merujuk dari Lontar Roga Sanggara Bumi. Menurutnya, dalam situasi alam yang tidak menentu, seperti adanya bencana seperti air laut naik, banjir, gempa, tsunami, angin puting beliung, kebakaran, gunung meletus, gagal panen hingga penyakit yang membuat masyarakat meninggal akibat ulah pati dan salah pati menjadi penanda agar tradisi ini dilaksanakan.

Baca juga:  WFB Disebut Jadi Pemicu Lonjakan Kasus COVID-19, Ini Reaksi Pemprov Bali

Bahkan, tradisi ini diyakini sudah ada sejak tahun 1.700 Masehi. Terlebih, Desa Kubutambahan dulu dikenal sebagai bentengnya Pulau Bali.
Setelah tradisi ngerebeg, godel tersebut langsung dilarung ke laut. Dengan harapan segala mara bahaya, penyakit dan kekuatan negatif dari Bhuta Kala segera dimusnahkan sehingga tidak mengganggu kehidupan manusia. “Rangkaiannya dari tilem kenem, kepitu dan tilem kawulu. Sekarang saat sehari setelah tilem Kawulu inilah kami menggelar tradisi ngerebeg. Mudah-mudahan tidak lagi dikhawatirkan oleh berbagai jenis mara bahaya yang disebabkan oleh unsur panca mahabhuta seperti angin, api, air, tanah dan gas,” katanya. (Mudiarta/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *